HUMANIORA
06 May 2019 13:35
915
Kucumbu Filmmu dengan Petisiku

Penakota.id - Beberapa hari sebelum masuk bulan Ramadan, di suatu sore hari yang cerah, Sir Pentoel tengah memakan sepotong roti bagel dan bersamaan dengan itu ia tiba-tiba tersedak akibat berita yang wara-wiri di media sosial. Ia sungguh kelaparan akibat terlalu banyak pekerjaan di kantornya yang menyebabkan ia harus menunda makan siangnya hingga petang menjelang. Namun, rasa lapar Sir Pentoel tiba-tiba mereda dan terganti dengan rasa penasaran saat berita di media sosial memberitahukan bahwa ada sebuah film yang dipetisikan karena isu LGBT—saat film itu bahkan baru naik layar selama dua hari. Sedengarnya tadi jika tidak salah, judul dari film tersebut adalah Kucumbu Tubuh Indahku. 

Sir Pentoel lalu mencari lebih tentang film yang menarik perhatiannya itu. Setelah beberapa menit mencari tahu, Sir Pentoel akhirnya menggeleng-geleng tak mengerti. Dia masih belum paham tentang bagaimana jalan film tersebut dan bagaimana film itu bisa menuai kritik. Ternyata film Kucumbu Tubuh Indahku ini jelas bukanlah karya stensil. Film tersebut mengangkat tentang budaya tari lengger lanang yang merupakan salah satu tarian tradisional khas Indonesia. 

“Lho, kok dilarang ya?” ucap Sir Pentoel penasaran dan langsung melakukan penelusuran isu tersebut secara lebih lanjut. 

Kucumbu Tubuh Indahku merupakan film garapan Garin Nugroho yang menuai banyak kontroversi di kalangan netizen. Film ini mengangkat cerita tentang perjalanan Juno, seorang penari lengger lanang yang memiliki konflik identitas dan menjadi seorang korban kekerasan. Tarian lengger lanang ini merupakan sebuah tarian tradisional yang tidak dilakukan oleh seorang wanita. Dan seperti sebuah tarian pada umumnya, tubuh sebagai perangkat performa, kerap bergerak sesuai lekuk dan esensi serta filosofi tari. 

Salah satu alasan itu, banyak orang menentang film yang berjudul inggris Memories of My Body ini untuk tayang. Hal itu dikarenakan adanya asumsi bahwa film ini dapat memunculkan perilaku LGBT yang dirasa akan memberikan dampak negatif pada masyarakat. 

Diawali dengan petisi yang dimulai oleh Rudi Rubantoro, penolakan film Kucumbu Tubuh Indahku ini semakin menjadi-jadi di berbagai kota. Ambil contoh saja Pemkot Kota Depok yang meminta film tersebut untuk tidak tayang lagi di kawasan kota Depok. Pada surat resminya, ditulis bahwa hal tersebut dilakukan untuk menjaga dan memelihara masyarakat dari dampak yang ditimbulkan perilaku penyimpangan seksual.

Atas sikap pemerintah yang seperti itu, ditambah dengan petisi yang sedang berjalan, semakin banyak orang yang merasa cemas akan adanya penyimpangan yang akan terjadi jika Kucumbu Tubuh Indahku ini tetap tayang. Namun, Sir Pentoel juga berpikir, apakah mereka yang membuat petisi ini telah menonton keseluruhan film tersebut? Atau hanya kepanasan saat ada embel-embel LGBT dibawa ke ranah publik? Sir Pentoel tahu betul, banyak orang di negeri ini itu gampang terprovokasi hingga pemerintah selalu mewanti-wanti masyarakat untuk mencari tahu sebuah isu terlebih dahulu sebelum menyebarkannya ke khalayak luas.

Pada akun instagramnya @garin_film, Garin Nugroho memposting sebuah post yang menyatakan keprihatinannya atas petisi sebagai sebuah aksi untuk menjadi penghakiman massal. Garin merasa bahwa petisi via media sosial atas film Kucumbu Tubuh Indahku ini tanpa proses dan ruang dialog. Bahkan telah diviralkan di media sosial tanpa ditonton terlebih dahulu. Dikutip dari postingannya lagi, Garin merasa anarkisme massa tanpa proses dialog ini akan mematikan daya pikir terbuka, memerosotkan daya kerja serta cipta yang penuh penemuan, dan mengancam kehendak atas hidup bersama manusia untuk bebas dari berbagai bentuk diskriminasi serta kekerasan sebagai tiang utama demokrasi.

Tidak hanya Garin, Indonesian Film Directors Club atau IFDC juga menunjukkan kekecewaannya atas respon negatif masyarakat terhadap film Kucumbu Tubuh Indahku yang diunggah pada akun instagram Hanung Bramantyo @hanungbramantyo, salah satu sutradara handal di Indonesia. IFDC berkomentar bahwa kebebasan berekspresi bagi para pembuat film di Indonesia menjadi diskursus belakangan ini. Mereka kecewa atas banyaknya film yang telah lulus sensor tapi mendapatkan penghakiman massal tanpa dialog salah satunya seperti yang terjadi pada film Kucumbu Tubuh Indahku ini.

IFDC, sebagai sebuah asosiasi resmi sutradara film, akhirnya membuat penjelasan bahwa mereka menuntut dilakukannya beberapa hal. Seperti adanya dialog antara pembuat film dengan pihak yang dirugikan sebelum membuat pernyataan, meminta pejabat publik menonton filmya terlebih dahulu sebelum membuat pernyataan, meminta media massa untuk memberitakan secara berimbang, serta meminta untuk masyarakat untuk tidak melakukan penghakiman pada karya sebelum menonton filmnya.

Dari sisi penonton, Raafi (18), sangat menyayangkan film ini dilarang, apalagi yang melarang belum tentu sudah menonton film itu sendiri. Menurutnya, tidak ada alasan untuk melarang toh film ini mengangkat tentang budaya Indonesia sendiri walaupun sensitif. Tambahnya lagi, saat ia menonton film tersebut, ia berkata bahwa bisa dibilang konten LGBT yang orang bilang dan orang lain petisikan tidak sampai 10% dari keseluruhan film tersebut. Ia juga bingung, padahal  Kucumbu Tubuh Indahku ini sudah lulus sensor, aneh saja jika masih banyak yang menolaknya karena konten negatif.

Sir Pentoel menutup laptopnya lalu menghela napas. Ia menyayangkan adanya diskursus yang tak pernah berubah dan tak pernah naik kelas. Memang, mayoritas rakyat Indonesia masih riskan akan hal-hal sensitif seperti isu LGBT. Namun, menghakimi sebuah karya dapat berdampak negatif hanya melihat dari judulnya sama saja melanggengkan pola pikir yang keliru. Menghakimi sebuah film, tanpa menonton dan mendiskusikannya terlebih dulu sama saja dengan mengaku pintar, bodoh saja tak punya—meminjam istilah Rusdi Mathari.

Editor: Destriyadi Imam Nuryaddin