HUMANIORA
19 Oct 2019 23:34
1652
Nasrul: "Sastra Indonesia di Mata Dunia Semakin Oke, di Negeri Sendiri Kehilangan Posisi"

Penakota.id - Karya-karya hasil dari Sayembara Novel DKJ 2018 telah menemui para pembacanya. Dialektika terus berlanjut untuk membicarakan novel-novel  pemenang tersebut di berbagai kanal kebudayaan: kedai kopi, toko buku alternatif, kampus-kampus, media daring dan hal-hal yang mungkin luput dari perbincangan. Kami mewawancarai Mochamad Nasrullah, salah satu pemenang di sayembara tersebut dengan naskahnya berjudul Balada Supri.

Apa kabar Nasrul? Sedang sibuk apa saja belakangan ini?

Sibuk ngajar dan mendamai-damaikan hati karena kedapatan tempat kerja di dalam hutan lindung. Waktu lagi memilih formasi enggak survey dulu soalnya. Jadi SM-3T (Sarjana Mendidik di daerah Terluar, Terdepan dan Tertinggal) jilid 2. Pasca Supri terbit, kesibukan di dunia tulis mengalami penurunan yang signifikan.

Nasrul, mari kita mulai dari yang klise namun begitulah terkadang dunia bekerja. Bagaimana perasaanmu setelah tahu Balada Supri menang Sayembara Novel DKJ 2018?

Begini. Aku menganggap pemenang ketiga adalah kekalahan yang menyenangkan. Sebenarnya begini sih, pertama: bisa menyelesaikan tulisan (entah jenis apapun) adalah kesenangan tersendiri. Kedua: mendapatkan pembaca di luar diri sendiri adalah kesenangan lainnya. ketiga: mendapatkan penghargaan dari DKJ juga merupakan kesenangan. Intinya sih senang aja.

Oh iya, kebetulan aku cukup mengidolakan ketiga juri dan juga Mas Yusi (Yusi Avianto Pareanom). Sempat bersalaman dengan mereka juga kesenangan-kesenangan di luar kesenangan yang sudah-sudah.

Novel Balada Supri itu berapa lama pengerjaannya? Dari mulai riset sampai selesai ditulis dan dikirimkan ke sayembara?

Sebelum mendapatkan judul skripsi pada semester sembilan di tahun 2015, aku mencoba untuk pemanasan menulis skripsi dengan menulis novel. Pengetikan kurang lebih sekitar 2 minggu. Setelah selesai, naskah itu aku lempar ke temanku, Reza Deni Saputra. Seusai membaca ia menawarkan diri menjadi editor sukarela. Aku iyakan saja. Selanjutnya, pasca naskah disunting Deni, aku lempar ke grup diskusi sastra: UKA APAIS. Yang bersedia membaca saat itu ialah: Doni Ahmadi, Sukindar Putera dan Joni. Sebelum aku pindah ke Jember pada pertengahan 2016, mereka bertiga—ditambah Deni dan Mussab (yang belum membaca naskah) aku ajak ke rumah untuk memberikan kritik dan saran pada naskah itu.

Aku enggak sempat ikut lomba DKJ 2016 karena pusing beradaptasi akibat kepindahan sehingga tidak sempat mengedit lagi. Saati itu Balada Supri kekurangan kata sekitar 12 ribu karakter. Jumlah yang cukup banyak menurutku saat itu (saat ini juga rasanya sama saja). Akhirnya aku abaikan si Supri dan memilih ikut SM-3T. Kemudian 2018, ketika sedang PPG (Pendidikan Profesi Guru) dan mendapatkan libur lebaran kurang lebih tiga minggu, aku memutuskan untuk mengedit Balada Supri dengan target memenuhi syarat jumlah kata.

Dari proses ini, Kalau ditanya berapa lama pengerjaanku di depan laptop itu kurang lebih lima minggu. Tetapi kalau masalah risetnya berapa lama, ini aku juga bingung. Data-data yang kubutuhkan di Balada Supri lebih banyak kudapatkan dari riset yang tidak disengaja tinimbang sengaja. Kira-kira begitu.

Pendapatmu sendiri soal sayembara-sayembara sastra? Apa ada kritik yang perlu disampaikan?

Kalau kritik sepertinya tidak ada. Tinggal kita mau ikut apa enggak. Yang namanya lomba kan ya begitu aja. Kita diadu (berkompetisi). Selama kita paham bahwa setiap lomba atau sayembara itu melulu selera penyelenggara dan juri, apapun hasil dan prosesnya ya harus terima. Kalau aku pribadi itu jadi ajang nyari wadah aja sih. Enggak bisa dipungkiri itu menjadi stimulus untuk berkarya lebih bagus lagi. Meski ya beberapa kali kalah dalam sayembara, ya nyesek juga. Tetapi ya balik lagi. Lomba ya melulu begitu.

Naskahmu dikatakan dewan juri bernapaskan Seratus Tahun Kesunyian, Gabo. Bagaimana perasaanmu? Apa ada beban moral tersendiri?

Waktu Sulak membacakan pertanggungjawaban dewan juri terus dia bilang kelemahan satu-satunya Balada Supri adalah mencoba menjadi Seratus Tahun Kesunyian yang lain itu aku senang betul. Dalam karyaku, intertekstual tidak kulakukan secara vulgar—termasuk terpengaruhnya pada Gabo. Ketika ada yang bisa mendeteksi keterpengaruhanku dengan tepat, ya aku cukup senang dan aku memang mengakuinya.

Kalau beban moral itu enggak ada kayanya. Seratus tahun kesunyian adalah mahakarya atau kanon dan aku mencoba menggunakan permainan Gabo untuk karyaku sendiri. Enggak ada rasa ingin lebih bagus, dan memang hampir mustahil. Menurutku enggak ada yang salah dari keterpengaruhan. Hanya plagiasi yang berdosa. Aku termasuk orang yang merayakan dan mengakui keterpengaruhanku terhadap sesuatu (dan sadar kalau yang memengaruhiku selalu lebih bagus).  Jadi, semuanya baik-baik saja.

Penulis kerap kali menjadikan karya perdananya sebagai "gayung untuk menyambut sesuatu" atau dominannya suara dari diri penulis. Apa yang sebenarnya ingin kamu sampaikan di Balada Supri? 

Bahwa negara (termasuk rumusan tradisi setempat dari masyarakat) bisa merepotkan banyak orang (terutama minoritas dan mereka yang enggak mampu mengikuti). Dan ini seringkali terjadi. Begitu kali gambaran umumnya.

Berbicara balada, aku teringat dengan karya penyair Indonesia, Rendra yang memakai kata balada di puisi-puisinya. Apakah ada inspirasi dari situ?

Aku enggak banyak baca Rendra. Sedikit sekali malah. Bisa jadi penggunaan kata balada terinspirasi dari beliau. Tetapi kalaupun itu iya, sepertinya merupakan keterpengaruhan yang tidak disengaja. Memilih kata balada aku rasa lebih ke ini kayanya cocok nih. Begitu aja. Aku cek di KBBI ya cocok juga artinya.

Dengar-dengar naskahmu pernah "diincar" oleh salah satu kelompok penerbit. Namun, kamu tidak memilih penerbit tersebut? Boleh diceritakan soal kisah itu?

Ini hanya masalah tidak ingin terbit di penerbit mayor saja. Alasanku begini juga tidak jelas sebenernya. Malah bisa dibilang tidak begitu beralasan. Ada dua penerbit mayor saat itu. Aku tolak dengan halus lantaran kadung harus konsisten dengan keinginan. Padahal sampai sekarang aku juga enggak ngerti kenapa harus memiliki keinginan begitu. Bahkan, buku-buku yang aku beli juga banyak yang dari penerbit mayor.

 Foto: Eva Tobing/ DKJ
 Foto: Eva Tobing/ DKJ

 

Boleh dijelaskan lebih lanjut tentang maksud dari lantaran kadung harus konsisten dengan keinginan?

Aku merasa kalau penerbit-penerbit mayor itu seperti berjarak denganku. Mereka terlalu mewah. Meski secara pemasaran jangkauannya luas, aku merasa kalau banyak dari para pembacanya nanti pasti bukan dari kalangan yang dekat denganku. Entah benar atau tidak, aku merasa kalau penerbit indie memiliki pembaca yang bisa kujangkau. Atas dasar itu, aku lebih ingin untuk tidak terbit di penerbit mayor. Keinginan ini yang aku jaga (meski kelak di masa depan aku melanggarnya, aku tidak peduli juga). Aku tidak tahu kenyataan ini benar atau tidak, dan kalaupun ini sebuah pikiran yang sesat, itu tidak apa-apa.

Eka Kurniawan kemarin menolak Anugerah Kebudayaan 2019. Boleh minta sedikit pendapatmu tentang penulis-penulis yang menolak penghargaan atau anugerah? Baik dalam negeri atau luar?

Mantap sih mereka punya kemampuan untuk bisa seperti itu. Aku sih kagum. Kejadian Eka memang masih hangat dan kalau kita telisik alasannya sangat masuk akal. Males juga ditunggangi sama pemerintah yang seolah-olah mau memberikan penghargaan tetapi banyak PR yang belum dikerjakan.

Alasan Sartre waktu menolak nobel sastra juga aku rasa cukup logis—kalau pembelaannya mengenai kebebasannya akan terganggu atau berkurang. Tetapi ada versi kalau penolakan itu karena Camus pernah mendapatkan nobel terus dia tidak mau—kan agak aneh aja. Contoh lainnya, semisal Mochtar Lubis waktu mengembalikan sebuah penghargaan ketika Pram juga mendapatkannya. Model penolakan yang seperti itu aku rasa kurang bisa berterima. Apa ya… mengapa harus seperti itu? Penolakan-penolakan itu aku lihat dari alasannya. Ketika alasannya cerdas aku senang betul. Ketika alasannya hanya masalah sentimentil, ayolah… biasa aja kali senior.

Sebenarnya apa sih yang kamu harapkan dari sastra Indonesia?

Sastra Indonesia di mata dunia aku rasa semakin oke, tetapi di negeri sendiri malah kehilangan posisi. Aku ingin (tidak sampai berharap) mayoritas warga Indonesia kelak bisa menikmati sastra Indonesia seperti menikmati hiburan-hiburan kekinian. Jangan melulu harus mencari amanat dalam sastra. Itu otomatis kok. Masalahnya, bisa apa tidak, kini sastra (kegiatan baca-tulis) kembali menjadi hal yang membudaya (kembali?) di negeri ini?

Aku pikir itu poinnya. Kita harus cari cara agar sastra yang berat dan serius sekalipun, memiliki pembaca yang luas. Aku membayangkan kita  seperti di negara asal Gabo, yang setiap kita mengucapkan nama Gabo kepada petani atau kalangan masyarakat lainnya, mereka akan menyebut “Macondo”.