HUMANIORA
28 Mar 2020 23:30
1556
Down the Rabbit Hole: Kehidupan Gembong Narkoba dari Kacamata Seorang Bocah

Penulis: Juan Pablo Villalobos
Judul: Down The Rabbit Hole
Penerbit: & Other Stories
Tahun: 2010
Tebal : xxi +76 halaman
Bahasa: Inggris

Pada tahun-tahun ke belakang, nama Juan Pablo Villalobos menjadi tidak asing di telinga saya. Penulis asal Meksiko mencuat berkat novela debutnya yang berjudul Fiesta en la Madriguera (yang dalam versi inggrisnya dikenal dengan judul Down the Rabbit Hole). Hal yang bikin penasaran inilah yang membawa saya pada buku debut Villalobos tersebut. Sebuah novela yang konon menawarkan konteks penceritaan baru dalam skena sastra berbahasa Spanyol—kisah gembong narkoba atau dikenal dengan nama narcoliteratura—meski Villalobos sendiri kurang suka dengan pengklasifikasian tersebut. Mari memulainya.

Novela ini berkisah tentang seorang bocah pecinta topi, samurai, gilotin, dan kuda nil kerdil yang sekaligus anak dari bandar narkoba terkenal di Meksiko bernama Tochtli. Lewat Tochtli, Villalobos akan membawa kita menyaksikan kehidupan gila gembong narkoba yang karib dengan pembunuhan, negosiasi dengan politisi culas, hingga penghianatan. Dari sudut pandang ini, kita akan dibawa ke kehidupan yang dilematis: menyenangkan sekaligus tidak.

Sejak halaman awal, Villalobos mengenalkan kita pada narator tunggal dalam keseleruhan cerita ini, Tochtli, dengan segala keganjilannya. Di mana bocah cerewet pewaris istana megah ini memiliki banyak uang namun hanya memiliki sedikit teman. Tokoh ini juga tidak bisa bersekolah di sekolah umum karena status ayahnya yang merupakan gembong narkoba dan sebagai gantinya, ia memilih untuk mendatangkan guru pribadi untuk si anak.

“The thing is we have a lot of money. A huge amount. We have pesos, which is the money of Mexico. We also have dollars […] That’s why I don’t know very many people, maybe thirteen or fourteen. Because if I knew more people they’d steal our money or they scum us like they did to Mazatzin. Yolcaut says we have to protect ourselves. Gangs are about this, too.” (hlm. 9)

Dengan status sebagai anak gembong narkoba ini pula, harapan Tochtli untuk sekadar pergi ke kebun binatang saja tidak bisa dikabulkan, Untuk menyiasati hal itu, ayah malah melakukan hal yang tak masuk akal, yakni dengan mendatangkan berbagai hewan dan membuat kebun binatang sendiri di rumahnya.

Hal inilah yang membuat Tochtli tidak seperti kebanyakan anak-anak pada umumnya, dan bisa dikatakan dewasa sebelum waktunya. Baginya, ini menjadi masuk akal, toh sedari awal ia memang sudah dipaksa menerima kehidupan yang jauh di luar kehidupan anak-anak pada umumnya—hal yang tak umum lainnya, mayat manusia hadir sebagai lelucon bagi Tochtli.

Pada akhirnya, mencari kesenangan lain bagi Tochtli adalah suatu keniscayaan. Dan alasan-alasan mengapa ia pada akhirnya memilih hobi membaca kamus dan menghapal kata-kata yang digunakan orang dewasa, mengumpulkan topi demi topi yang hanya ia kenakan sekali, hingga hasratnya yang meluap akan kuda nil kerdil yang hampir punah—yang pada akhirnya membuat Tochtli melakukan perjalanan jauh demi menjemput hewan impiannya—menjadi masuk akal.

Meskipun banyak dari harapannya yang dipenuhi, namun sejatinya kehidupan Tochtli bisa dibilang tak pernah jauh-jauh dari sesuatu yang dilematis, sebuah konsekuensi yang harus diterimanya karena status si ayah. Dan Villalobos berhasil menggambarkannya dengan baik dalam paragraf ini.

“The next day is the same. Saturdays and Sundays are the worst, because I spend the whole day waiting to see what I can think of to do: going to see our animal, watching films, talking about secret things with Miztli, playing on the Playstation, cleaning my hats, watching TV, making list of the things I want so Miztli can buy them for me… sometimes it’s fun, but also sometimes it’s disastrous. Because of Yolcaut’s paranoia I haven’t been out of the palace for quite a few days.” (hlm 22)

Ulasan Down the Rabbit Hole

Down the Rabbit Hole bisa dikatakan sebagai novela yang segar karena pemilihan sudut pandang. Dengan penggunaan sudut pandang bocah innocent, Villalobos berhasil menghantarkan kita pada kehidupan gembong narkoba yang tidak melulu sadis dan keji, namun juga komikal dan bisa ditertawakan karena pelbagai kegilaannya.

Lewat tokoh-tokohnya, hal-hal semacam ini menjadi mungkin. Dari tokoh Tochtli yang selalu mencari alternatif kesenangan sebagai korban dari kehidupan gila bandar narkoba; Maztzin si guru tutor yang menyedihkan karena gagal menjadi penulis dan menggemari film-film samurai; hingga Yolcaut, ayahnya, yang merupakan penjahat sekaligus digambarkan sebagai santo maha baik bagi Tochtli yang sudah tidak memiliki ibu.

Selain itu, relasi ayah-anak antara Tochtli dan Yolcaut juga menjadi salah satu yang cukup menarik perhatian. Di mana Tochtli yang memiliki keinginan dan harapan-harapan absurd tak masuk akal, adalah dunia yang jauh mengawang dan jarang digambarkan dalam kisah-kisah semacam ini. Dan tokoh Yolcaut, yang diposisikan bak penyelamat, membuat angan-angan anaknya yang tadinya jauh mengawang itu menjadi sedemikian dekat dan sangat mungkin.

Kita tentu saja bisa berbaik sangka pada tokoh Yolcaut karena sikapnya kepada Tochtli. Dan itu tentu berhasil menarik simpati pembaca dan menjadikan hal ini sebagai pemakluman saat kita menutup novela ini. Terlebih hadiah penutup bagi si anak yang dirundung galau berat karena perburuannya di Afrika tak sesuai rencana. Tapi, Villalobos tentu saja bukan ingin berkisah soal para penjahat baik macam Robin Hood yang bisa kita maafkan di akhir cerita.

Dari penggambaran dunia model begini, kita sudah sepatutnya sadar akan sikap Villalobos, dan menyadari pukulan yang lumayan telak itu. Pukulan itu berupa penggambaraan realis tentang bagaimana kehidupan anak-anak yang tercerabut jauh dari yang semestinya, sebuah masa kanak-kanak yang dirusak karena harus menjalani kehidupan gila para gembong narkoba di Meksiko.

Villalobos sadar bahwa hal tersebut adalah kekeliruan yang tak bisa dimaklumi. Dan kita sudah seharusnya meyakini hal tersebut sejak awal, saat Tochtli mengatakan. “I think at the moment my life is a little bit sordid. Or pathetic.” (hlm 5). Begitu.