HUMANIORA
01 Aug 2020 13:56
1185
Pak, kalau suatu hari nanti saya mengkritik bapak boleh, nggak...

Penakota.id - “Hey, kamu, sontoloyo! Ke mana saja?” Kalimat ini yang selalu Sapardi Djoko Damono (SDD) katakan ketika bertemu saya di mana saja. Yang SDD selalu ingat, saya tinggal di rumah kost di sekitar Ciputat, Tangerang Selatan. Karena SDD tinggal di kompleks perumahan dosen UI Ciputat—ketika kami bertemu di mana saja—SDD sering kali menawarkan tumpangan untuk pulang: “Kamu pulang sama siapa? Ayo bareng saya pulangnya.” 

Pertanyaan dan ajakan itu juga yang sering SDD lontarkan ketika kami bertemu. Walaupun sudah lama saya tidak lagi tinggal di rumah kost di sekitar Ciputat. Pertemuan pertama kali dengan SDD adalah ketika saya menjadi muridnya di Program Ilmu Susastra, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Di sana pula saya tidak hanya mengenal SDD sebagai seorang penyair, tetapi juga seorang akademisi. Gaya mengajar yang santai membuat orang seperti saya lebih bisa menikmati suasana belajar. 

Bagi siapa saja yang pernah menjadi muridnya, rasanya akan setuju jika SDD disebut seorang guru yang ramah. Hubungan guru-murid yang hangat tidak hanya berhenti di ruang kelas; SDD tidak akan menolak bila para murid ingin bertandang ke rumahnya. Ketika di rumahnya ini pula para murid bebas untuk berbincang soal sastra dan segala tetek bengeknya. 

Selain obrolan yang mengasyikkan, daya tarik lain untuk bertandang ke rumah SDD adalah buku. Koleksi buku dengan tema sastra yang dimiliki SDD sangat menarik. Tidak jarang, kami yang sering bertandang ke rumahnya, menemukan berbagai buku yang sudah sulit untuk ditemukan hari ini. Bahkan di perpustakaan universitas sekalipun. Untuk saya sendiri, meminjam beberapa buku dari koleksi perpustakaannya adalah motivasi kedua setelah silaturahmi. Entah dengan murid-murid SDD lain yang juga sering bertandang ke rumahnya. 

Karakter SDD memang santai sekaligus tidak bisa 'diatur'. Dalam sebuah obrolan santai, SDD pernah bercerita saat dia menjadi seorang saksi ahli di sebuah persidangan. Sebelum masuk ke ruang sidang, SDD di-briefing oleh seorang pengacara dengan tujuan untuk mengatur argumen yang harus disampaikan. Namun SDD menolak. “Saya yang ahli, kok dia yang ngatur!” Ucapnya dengan nada kesal.   

Saya melihat SDD sebagai pribadi yang sering kali straight to the point dalam mengemukakan pendapat. Sering kali saat mengajar di depan kelas dia akan berkata terus terang jika mengkritik sesuatu. Tidak menggunakan berbagai gaya bahasa yang sering kali ditemukan dalam karya-karyanya. Gaya bicara seperti ini pula yang dapat dengan mudah kita temukan pada diri SDD saat menjawab pertanyaan; baik dalam perbincangan santai maupun dalam sebuah diskusi. 

Di kesusastraan Indonesia, SDD adalah sosok yang “lengkap.” Dia adalah sastrawan sekaligus akademisi sastra. Tidak banyak orang seperti SDD. Mungkin hal ini juga yang menjadikan SDD berkawan dekat dengan Budi Darma—yang juga seorang sastrawan cum akademisi. Pernah suatu kali SDD bercerita kepada saya soal seberapa dekat dirinya dengan Budi Darma. Berkirim surat dan pesan melalui telepon selular sudah dilakukan SDD sejak lama dengan Budi Darma. Bahkan ketika saat saya sedang asyik memilah-milah buku yang akan saya pinjam di perpustakaannya, saya pernah melihat sendiri surat yang dikirimkan oleh Budi Darma kepada SDD yang terselip dalam sebuah buku; sebuah surat lama yang masih ditulis dengan menggunakan mesin tik. Dari kalimat dan bahasa yang ada dalam surat itu saya tahu bahwa mereka memang sangat dekat. 

Selain seorang penyair dan akademisi, SDD juga adalah seorang penerjemah. Ini yang sering kali dilupakan oleh orang lain dalam melihat SDD. Jika boleh jujur, perkenalan pertama saya dengan karya Ernest Hemingway adalah Lelaki Tua dan Laut yang merupakan karya terjemahan SDD dari novel The Old Man and the Sea. Dan tentu masih banyak lagi karya-karya sastra dunia yang dihantarkan oleh SDD kepada publik pembaca di Indonesia melalui hasil terjemahannya. Ketika menjadi muridnya pula saya dapat melihat wawasan SDD yang luas tentang sastra dunia. 

Saya masih ingat ketika di kelas SDD selalu meminta kami untuk membaca karya sastra, baik prosa maupun puisi, dari berbagai negara. Tidak jarang nama karya dan penulis yang direkomendasikan SDD masih sangat asing di telinga kami, dan bahkan jarang diperbincangkan oleh orang lain pada saat itu. Bagi saya hal ini menunjukkan wawasannya yang luas terhadap literatur sastra dunia. 

Sampai akhir masa hidupnya, SDD tetap menjadi orang yang hangat terhadap siapa saja. Sebagai salah satu seorang penyair “senior” dia selalu mau meladeni anak-anak muda yang berkunjung ke rumahnya. Seorang kawan penyair muda, Imam Budiman, dapat dengan leluasa dan santai mengobrol di rumahnya yang sederhana. Menurut pengakuan Imam, SDD mau menjawab semua pertanyaan dan selalu memotivasinya untuk terus menulis. Padahal perkenalan awal Imam dan SDD hanya melalui pesan di media sosial. “Menulis ya menulis aja, ndak usah mikirin apa kata orang. Soal nanti orang mau komentar apa saja soal tulisan kita, ya biarin aja,” ini yang sering kali saya dengar dari SDD. Dan sangat mungkin dikatakan juga kepada para penulis muda yang berkunjung ke rumahnya. 

Sebagai seorang akademisi, SDD selalu punya kritik terhadap sistem pendidikan di Indonesia. “Kampus seharusnya memang kaya zaman dulu. Yang mau kuliah teknik, ya ke Bandung. Yang mau kuliah pertanian, ya ke Bogor. Biar jelas kuliah bidang ini dan itu tempatnya di mana. Kalau sekarang, kan, nggak.” 

Pernyataannya mungkin sederhana. Tetapi, saya kira, muatan kritiknya sangat tajam; ada ketidakpercayaan diri dalam institusi pendidikan untuk hanya berfokus pada satu bidang. “Belajar sastra yang harus banyak dibaca ya karya sastra, bukan teori sastra. Kalau kebanyakan baca teori sastra, ya ganti aja namanya jadi jurusan teori sastra.” Di lain waktu kritiknya seperti itu. 

Kritik itu disampaikan, mungkin saja, karena mahasiswa jurusan sastra pada saat itu kurang membaca karya sastra. Dan secara pribadi SDD melihat mahasiswa sastra terlalu disibukkan untuk membaca berbagai macam teori sastra sehingga melupakan pentingnya membaca banyak karya sastra. Entah untuk mahasiswa sastra hari ini. Kritik SDD yang menyoal teori sastra dan membaca karya sastra tersebut tidak berarti bahwa dia anti teori sastra. 

Sebagai contoh, di warsa 1970-an SDD menulis sebuah buku tipis berjudul Sosiologi Sastra. Buku itu dengan jelas membicarakan semesta sosiologi sastra dalam kajian sastra. Sebuah kumpulan tulisan, yang kemudian diterbitkan pada tahun 1999, dalam sebuah buku yang berjudul Politik Ideologi dan Sastra Hibrida, SDD dengan jelas menggunakan perspektif teoritis dalam tulisannya. Salah satunya terlihat ketika dia mengkritik dunia akademis yang hanya memperbolehkan sastra kanon untuk di bahas dalam ruang kelas sambil menafikan keberadaan sastra populer.   

Kritik dari SDD tidak hanya tertuju pada dunia akademis. Soal dunia penerbitan dan toko buku tidak lepas dari sasaran kritiknya. “Coba kamu lihat itu di toko buku (dengan menyebutkan sebuah jaringan toko buku besar di Indonesia), ada nggak buku yang harganya 40.000 rupiah. Walaupun ada paling buku cara memasak,” dan sambil tertawa ia melanjutkan: “Masa toko buku jualan alat musik sama mesin printer. Yang saya lihat di luar negeri toko buku ya jualan buku, nggak jualan yang lain.” Dan tentu saja kritiknya ini diakhiri dengan sebuah kalimat pamungkas yang sangat saya sukai: “dasar sontoloyo!” Dari kritiknya ini kemudian saya memahami mengapa SDD, sekali waktu, pernah menerbitkan buku-bukunya secara mandiri dengan menggunakan nama penerbit Editum.

Beberapa kritik di atas memang sangat keras. Namun, SDD sendiri adalah orang yang terbuka untuk menerima kritik. “Pak, kalau suatu hari nanti saya mengkritik bapak boleh, nggak?” Suatu kali saya bertanya kepadanya. “Oh, ya, tentu boleh. Harus itu!” Dia menjawab dengan penuh semangat. Saya sudah membayangkan bila suatu hari saya mengkritiknya, dia akan merespon dengan tawa tanpa sedikit pun merasa tersinggung. Seperti yang biasa saya saksikan. 

Sosok “lengkap” di dunia sastra Indonesia hari ini berkurang satu. Tidak ada lagi yang menyapa saya “Hey, kamu, sontoloyo! Ke mana saja?” Mulai hari ini kita hanya membaca ulang tanpa bisa lagi menunggu karya barunya. SDD mungkin tidak abadi, tetapi karya dan idenya juga tidak fana. Selamat jalan, Pak Guru!