HUMANIORA
28 Feb 2018 12:00
1148
Menunggu Bangkitnya B. M. Syamsuddin

Penakota.id - Saya selalu terngiang-ngiang dalam sepatah pikir, apa saja yang telah terjadi saat B. M. Syamsuddin alias Bujang Mat Syamsuddin menjadi seorang tokoh sastrawan dan budayawan baik di Natuna dan di Riau. Ini hasil dari kemelitan (kepo) saya mencari data dan fakta B. M. Syamsuddin.

Kalau tidak salah setahun yang lalu saya menemukan gambar bangunan kayu dengan plang kusam hampir hitam bertuliskan “Perpustakaan B.M. Syamsuddin” (kalau tak salah). Tentu saya mengetahui gambar itu bermastautin di Sedanau, tempat kelahiran beliau. Saat saya menanyakan perihal B. M. Syamsuddin di berbagai grup media, akhirnya hasil terang saya dapatkan ketika salah satu masyarakat Sedanau mengakui pernah menjadi penjaga perpustakaan tersebut—ternyata orang itu adalah kakak pembina pramuka (praja muda karana) saya sendiri.

Ia menjelaskan kalau perpustakaan B.M. Syamsuddin menggunakan bangunan Yayasan Pendidikan Islam (Yaspi). Namun karena tidak ada respon pemerintah, tempat itu beralih menjadi PAUD (Pendidikan anak usia dini ) dan tak lama perpustakaan itu tutup total. Bang Anis mengakui kalau lokasi bangunan tersebut berada di depan rumahnya, dan ia bersedia menjaga perpustakaan tanpa gaji.

Bangunan perpustakaan B. M. Syamsuddin tersebut—kalau tidak salah—mulai berdiri pada bulan Februari tahun 2002 dan langsung diresmikan wakil bupati Alm. Izhar. Diakui perpustakaan tersebut mulai tidak aktif sejak tahun 2006/2007. Dengan singkatnya keberadaan perpustakaan ini, wajar kalau hanya Anis Kurniawan sendiri yang menjadi penjaga perpustakaan.

Rak-rak buku tersebut menyimpan cetakan-cetakan buku lama dan karya B. M. Syamsuddin. Kegiatan yang dilakukan di perpustakaan tersebut seperti pada umumnya seperti meminjam dan membaca. Informasi yang didapatkan bahwa setelah beberapa tahun perpustakaan diambil alih oleh pihak pemerintah setempat.

B-M-Natuna

Alasan utama bangunan Perpustakaan B. M. Syamsuddin berdiri karena di Sedanau sendiri pada masa itu belum memiliki perpustakaan daerah dan banyak donatur yang ingin menyumbangkan buku. Oleh beberapa tokoh masyarakat sepakat membuat perpustakaan dan dipilihnya B. M. Syamsuddin sebagai bentuk penghargaan untuk beliau yang telah mencatatkan namanya sebagai seorang sastrawan yang dikenal di daerah Riau, begitu pula sudah banyak menyumbangkan hasil karya lewat buku-buku dongengnya. 

Kondisi saat ini perpustakaan B.M. Syamsuddin sudah bisa dibilang tak diperhatikan, sebab penjelasannya sendiri memang sudah tak memiliki fungsi yang seharusnya. Buku-buku yang dulu tersedia saat dulu, kini entah ke mana perginya. Buku yang kusam serta dimakan rayap itu bersampur dengan alat-alat mainan PAUD. Saya yakin sekali kondisi halaman perhalaman mengalami hal yang sama. Di makan rayap, sudah menempel antara satu halaman dengan halaman yang lain, kuyak, dan lain hal yang bisa dibayangkan.

Mendiamkan buku sama seperti membuang ilmu. Jangan berpikir buku-buku yang dimakan rayap tersebut sudah tidak bisa digunakan atau dibaca lagi. sebagian buku yang terkena debu menumpuk masih bisa dibersihkan dan yang hilang dimakan rayap masih bisa dirapikan.

Untung saja ada niat baik yang dilakukan oleh Anis Kurniawan—Mungkin karena sudah sehati dengan perpustakaan. Akhirnya buku-buku yang masih tersisa itu dibersihkan dan dipajang di warung rumahnya, dia mengatakan kalau banyak anak-anak bermain kala sore hari. Terlebih banyak buku-buku komik dan cerita-cerita anak tentu antusias mereka besar.

Kondisi yang terlihat saat itu hanya tersisa dua rak buku dengan sangat memprihatinkan dari sekitar 4 rak buku. Berarti banyak buku yang hilang kalau tidak diambil ya dimakan binatang penyuka buku.

Menurut saya biarkan saja buku itu berada di tangan Pak Anis. Ruang yang bebas dan tempatnya ramai pula dan yang mengurusnya sudah sangat dekat dengan buku-buku yang berada di bekas perpustakaan tersebut. Bukan perihal saya tidak menyetujui kalau ditaruh di perpustakaan kecamatan, tetapi biarkan kegiatan literasi yang baru dirintis olehnya ini sebagai bagian dari mitra antara pihak kecamatan dengan masyarakat dalam mengembangkan kegiatan baca membaca dan nanti bukan hal mustahil kalau berlanjut menjadi tulis menulis. Selain dengan jadwal yang ditentukan jam kerja yang terbatas, juga bisa saja suasana dan kurang pendukung kegiatan lainnya di perpustakaan umumnya.

(Penakota.id - din/fdm)