HUMANIORA
12 Jul 2018 11:00
607
Berbicara dengan Orang Asing [Paul Auster]

Penakota.id - Saya tidak tahu mengapa saya melakukan apa yang saya lakukan. Jika saya mengetahuinya, saya mungkin tidak akan merasa ingin untuk melakukan hal itu. Semuanya akan saya katakan, dan saya mengatakan dengan penuh keyakinan, ini (hasrat, keinginan, rasa membutuhkan) adalah apa yang saya rasakan sejak awal-awal masa remaja saya.

Saya berbicara tentang menulis, khususnya menulis sebagai sebuah kendaraan untuk mengisahkan cerita, cerita-cerita imajiner yang tidak pernah terjadi pada apa yang kita sebut dengan dunia nyata. Sesungguhnya itu adalah sebuah jalan yang garib untuk menghabiskan hidup Anda—duduk sendirian di sebuah ruangan dengan sebuah pena di tangan, jam demi jam, hari demi hari, tahun demi tahun, berjuang untuk menulis kata demi kata pada lembaran kertas untuk melahirkan sesuatu yang tidak nyata (bagi orang lain), yang hanya menjadi realitas di kepala sendiri.

Mengapa di bumi terdapat mahluk yang mau melakukan hal-hal seperti itu? hanya ada sebuah jawaban yang telah dan bisa saya pastikan: karena Anda membutuhkan itu, karena Anda tidak punya pilihan. Kebutuhan untuk membuat, untuk menciptakan, untuk menemukan, tanpa keraguan, merupakan sebuah hasrat mendasar bagi manusia. Tetapi pada akhirnya untuk apakah semua itu? apakah kegunaan seni, terutama seni dari sebuah fiksi, mengacu kepada apa yang kita sebut dunia nyata?

Tidak ada jawaban untuk itu—setidaknya tidak dalam arti praktis. Sebuah buku tidak pernah bisa mengenyangkan perut anak kecil yang kelaparan. Sebuah buku tidak pernah bisa menghentikan sebuah peluru yang akan bersarang ke dalam tubuh calon korban pembunuhan. Sebuah buku tidak akan pernah bisa mencegah sebuah bom yang akan jatuh menimpa warga sipil yang tidak bersalah di tengah-tengah perang.

Beberapa orang berpikir bahwa kegitan mengapresiasi sebuah seni dapat benar-benar menjadikan kita sebagai masyarakat yang lebih baik—lebih adil, lebih bermoral, lebih peka, lebih pengertian. Mungkin itu ada benarnya—dalam beberapa kasus tertentu, yang tertutup. Tetapi, mari kita berusaha untuk tidak melupakan bahwa dahulu Hitler (seorang diktator termahsyur) memulai karirnya sebagai seorang seniman. Para Tiran dan para diktator pun membaca novel. Para pembunuh di dalam penjara juga membaca novel. Dan siapa yang mengatakan mereka tidak memperoleh kepuasan yang sama dari buku-buku seperti orang lain kebanyakan?

Dengan kata lain, seni itu tidak berguna, setidaknya bila dibandingan, misal, menjadi tukang pipa, atau dokter, atau masinis kereta api. Tetapi apakah yang tidak berguna itu merupakan hal yang buruk? Apakah dengan kurangnya kegunaan yang dimaksud, praktis menjadikan buku dan lukisan dan instrumen biola (musik), hanya akan membuang-buang waktu kita yang paling berharga? Banyak orang berpikir begitu. Tetapi saya akan membantah, meskipun itu adalah yang paling tidak berguna (menurut kebanyakan orang), seni itu tetap memberikan sebuah nilai dan bahwa para pencipta seni itu berbeda dengan mahluk lain yang mendiami planet ini, itulah, hal yang sangat utama, esensi, apa yang mendefinisikan kita sebagai manusia (yang berkesenian).

Untuk melakukan suatu kesenangan yang hakiki dan menjadikannya keindahan dalam melakoni hal itu. Berpikir untuk terlibat di dalamnya, berjam-jam latihan serta rasa disiplin tinggi untuk menjadi (misal) pianis atau penari yang mahir. Semua penderitaan dan kerja keras, semua pengorbanan dalam ketekunan untuk meraih sesuatu yang paripurna, yang sempurna . . . (apakah) tidak bermanfaat?

Fiksi, terkadang, sedikit nyata sebagai sebuah dunia dan berbeda dari bentuk seni yang lain. Dengan mediumnya yang tak lain adalah bahasa, (dan bahasa adalah) sesuatu yang dapat kita bagikan dengan orang lain, yang memang karib bagi kita semua. Dari saat kita mulai belajar berbicara, kita mulai berkembang dengan cerita-cerita saat lapar (cerita dari kedua orangtua kita agar kita mau mengunyah sesuatu).

Bagi kita yang dapat mengingat bagaimana masa kecil kita, kita akan teringat kembali bagaimana kita melewati sebuah momen dari waktu yang buruk, lalu ibu atau ayah kita beranjak mendekat, berbaring di sebelah kita dalam keadaan setengah gelap dan mulai membacakan sebuah buku berisi dongeng-dongeng.

Bagi kita yang merupakan orangtua, kita tidak akan kesulitan membuat anak-anak kita menaruh perhatiannya dan mendengarkan dengan keinginan kuat ketika kita membacakan sesuatu untuk mereka. Mengapa terdapat keinginan yang kuat untuk mendengarkan? Dongeng-dongeng terkadang jahat dan kejam, misal adegan pemancungan, kanibalisme, perubahan yang tidak masuk akal, serta pesonanya yang jahat.

Beberapa hal dalam dongeng mungkin memberi kesan yang mengerikan dan menakutkan untuk anak-anak, tetapi apakah cerita-cerita tersebut memungkinkan anak kita untuk mengalaminya (hal buruk tersebut), lalu mereka pun mulai menemukan ketakutan mereka dan merasakan siksaan batin pada tempat yang sepenuhnya aman dan terlindungi (di dalam kamar, misal). Itu adalah sedikit dari beberapa sihir sebuah cerita—cerita-cerita itu mungkin dapat membawa kita tenggelam ke dasar neraka sekalipun, namun pada akhirnya, cerita-cerita itu tidaklah berbahaya.

Kita mungkin bertambah tua, tetapi sebetulnya kita tidaklah berubah. Kita tentu menjadi semakin mutakhir (dengan pengalaman dan hal-hal lainnya), tetapi di bagian dalam diri, kita hanya melanjutkan diri kita di masa muda dahulu, ada hasrat untuk mendengarkan cerita demi cerita baru, lagi dan lagi.

Selama bertahun-tahun, di setiap Negara dari dunia barat, artikel demi artikel telah diterbitkan membicarakan fakta-fakta bahwa semakin lama semakin sedikit orang-orang yang membaca buku, bahwa kita telah memasuki fase yang disebut “post-literate.” Mungkin itu memang benar, tetapi pada saat yang bersamaan, ini tidaklah mengurangi kebutuhan dunia terhadap cerita-cerita.

Novel bukanlah menjadi satu-satunya rujukan, lagipula. Film-film dan siaran televisi dan bahkan komik telah meliputi sebagian besar narasi fiksi, dan khalayak tetap melanjutkan mengunyah (menikmati) hal itu dengan kesungguhan. Ini terjadi karena setiap manusia membutuhkan cerita. manusia membutuhkan cerita seperti mereka membutuhkan makanan, dan terkadang cerita-cerita itu disajikan—baik berupa cetakan berhalaman-halaman atau dari layar televisi—dan akan sulit membayangkan hidup tanpa hal yang demikian itu.

Namun, ketika datang pada kita keadaan sebuah novel, masadepan novel (yang sudah tidak menarik minat pembacanya lagi), saya masih merasa sedikit optimis. Angka tidak dapat menghitung di mana buku-buku diperhatikan, diinginkan. Karena selalu ada satu pembaca, setiap waktu hanya ada satu pembaca. Itulah yang menjelasakan khususnya kekuatan dari sebuah novel dan alasannya, menurut saya, novel tidak akan pernah mati sebagai sebuah bentuk (karya).

Sebuah novel adalah bentuk kolaborasi yang menggambarkan kesetaraan antara penulis dan pembaca, dan ini adalah satu-satunya tempat di dunia di mana dua orang asing dapat bertemu pada keintiman yang mutlak. Saya banyak menghabiskan waktu saya dalam dialog dengan orang-orang yang tidak pernah saya lihat, dengan orang-orang yang tidak pernah saya kenal, dan saya berharap itu akan terus berlanjut sampai saya berhenti bernafas.

Ini adalah satu-satunya pekerjaan yang saya inginkan.

__________

Esai Paul Auster ini diterjemahkan oleh Doni Ahmadi dari salah satu kumpulan esai yang termaktub dalam antologi Burn This Book: Notes on Literature and Engagement (HarperCollins Publisher. 2012) dengan judul asli Talking to Stranger.

Paul Auster lahir di Newman, New Jersey, pada 3 Februari 1947. Ia adalah seorang penulis yang telah menghasilkan beberapa novel, naskah film, dan beberapa karya non-fiksi. Novelnya yang terakhir berjudul Man in The Dark (2008). Ia tinggal di Brooklyn, New York bersama istrinya yang juga seorang penulis, Siri Hustvedt. Esai ini pernah dibacakan sebagai pidato dalam acara Prince of Asturias Prize for Literature pada Oktober 2006.