HUMANIORA
28 Sep 2018 11:00
889
Tiba Sebelum Berangkat: Catatan Ringkas

Penakota.id - Begini, sebelum saya mulai membahas novel Tiba Sebelum Berangkat (selanjutnya akan saya tulis TSB), saya akan lebih dulu bercerita. Awal pertemuan saya dengan Prosa Faisal Oddang adalah cerpen Orang-orang dari Selatan Harus Mati (kompas, 28 Juni 2018). Pertemuan kedua adalah Di Tubuh Tarra, Dalam Rahim Pohon (dalam kumpulan cerpen kompas 2014) dan buku ini adalah yang ketiga (saya belum membaca Puya ke Puya).

Sebelum bertemu pengarangnya langsung, saya sempat mengambil kesimpulan bahwa Faisal ini adalah pengarang yang tendensius dengan unsur ke-lokal-an-nya, dan atas hal itulah ia menulis lokalitas. Saya sadar itu adalah suaranya sebagai orang timur (Makassar khususnya) dan tendensi itu wajar-wajar saja, meskipun begitu, tetap saja ia tidak bisa luput dari cap ‘begitu kental unsur lokalitas dalam karya-karyanya’.

Pada suatu perjumpaan yang sebenarnya, bukan dengan perantara teks sastra, saya pernah menanyakannya langsung ‘mengapa ia menulis lokalitas?’ ia tidak langsung menjawabnya, menunggu beberapa jeda, lalu menjawab, baginya, ia tidak menulis lokalitas, ia hanya menulis yang dekat. Ia juga bercerita bahwa sedari kecil ia sudah karib dengan dongeng-dongeng yang diceritakan oleh orangtuanya, ia besar dan tumbuh dengan kisah-kisah itu, dan saat kuliah, ia baru sadar bahwa cerita-cerita yang didengarnya dulu merupakan sebuah epos super tebal bangsa Bugis. Dan dari sanalah, dari ingatan karib masa kecil itu ia mulai menulis dan mengembangkannya.

Paul Auster menulis dalam esainya yang berjudul Talking to Stranger, “We grow older, but we do not change. We become more sophisticated, but at bottom we continue to resemble our young selves.” Saya meyakini apa yang dikatakan Paul, dan sepertinya Faisal juga mengamininya dengan mengatakan, “Saya menulis apa yang dekat dengan saya,” di penghujung dialog kami.

Pada 2015 lalu, saat mengikuti kelas prosa Trianto Triwikromo di Taman Ismail Marzuki, seingat saya, saya mendapatkan banyak hal menarik untuk menggarap sebuah prosa. Tapi, bagian yang paling saya ingat, dan sering juga saya gunakan, adalah tentang bagaimana paragraf pertama. Menurut Triyanto, sihir prosa sangat mungkin terjadi pada paragraf pertama, ia dapat membuat pembaca memutuskan apakan ia akan melanjutkan pembacaannya sampai akhir atau berhenti di  tengah jalan. Saya sependapat, ia memang betul. Saya juga selalu senang saat bertemu buku dengan sihir pada babak awal.

Dan novel TSB adalah salah satunya. Buku ini dibuka dengan sebuah paragraf berikut:

Saat penisnya ditindih kursi, Mapata teringat kata-kata Sukeri, ada setan perempuan dalam tubuhnya. Ketika lidahnya dijepit tang sebelum dipotong dengan sembilu, satu-satunya yang Mapata sesali adalah bahwa dia tidak bisa lagi memuaskan Batari, istrinya. Batari selalu memuji lidah Mapata, satu-satunya miliknya yang berharga, dan pujian itu selalu ia timpali dengan sombong, dengan lelucon basi bahwa dia bisa mengangkat pinggul istrinya hanya dengan menggunakan lidah. Lalu, mereka akan tertawa sebelum pulas oleh percintaan yang sebenarnya tidak benar-benar memuaskan.

Kau tau? Selain memikat, paragraf ini juga yang akan menuntunmu dari awal cerita hingga akhir, bukan hanya menuntunmu ke babak akhir (atau biasa disebut open ending). Tiap kalimatnya akan membuatmu berjumpa dari satu ke satu dan ke satu yang lain, hingga menjadi satu benang dalam semesta rekaan yang utuh.

Seperti banyak cerita-cerita lain, novel TSB ini sebetulnya tidak jauh berbeda, ia menceritakan cerita-cerita yang karib dalam dunia rekaan, semisal, penghianatan, balas dendam. Tapi apakah yang membuatnya begitu menarik disimak sampai habis? Apa karena cerita ini berlatar sejarah? Tentu saja tidak, sudah banyak penulis yang menggunakan latar sejarah, selain bertendensi dan novel-novel begitu juga kebanyakan membosankan.

Hal pertama yang membuat novel ini begitu menarik adalah dari segi penceritaan dan kausalitas, dua sudut pandang (orang ketiga dan orang pertama) yang digunakan dalam novel ini bukan tanpa sebab, seperti kebanyakan novel pulp fiction, tetapi didahului oleh peristiwa dipotongnya lidah si tokoh utama (Mapata). Hal ini sekaligus membuat penokohan Mapata dalam novel ini menjadi matang. Pengarang betul-betul mafhum bagaimana kausalitas bekerja. Inilah yang menurut saya membuat novel ini sedikit sekali menampilkan tokoh mubazir yang sekadar menjadi cameo, dan hilang begitu saja bagai hantu.

Selanjutnya adalah wacana tentang Bissu (seorang pendeta Bugis) yang diangkat dalam novel ini. Sejujurnya, novel inilah yang membuat saya sedikit mafhum bagaimana Bissu dalam wacana Bugis. Novel ini menjadi jembatan yang pas sebagai penghantar kepada hal yang jauh dan garib buat saya. Sedikit saja, misalnya arti dari simbol-simbol dan wacana lokal seperti gurilla, collong pello, irreba, toboto, dll. Hal itu tentu saja membuat saya mengerutkan dahi, terlebih tidak ada catatan kaki ditambah saya yang buta dengan literatur Bugis.

Tapi kau tidak perlu khawatir. Sebagai gambaran, jika kau pernah membaca novel Sang Pengoceh karya Mario Vargas Llosa, wacana Bissu yang diangkat dalam novel ini mirip-mirip seperti wacana suku machiguenga –suku pedalaman Amazon– yang diuraikan Llosa dalam novel tersebut. Meskipun berjarak, kau akan merasa begitu dekat dan karib sehabis membacanya.

Dan terakhir adalah otokritik. Penjelasan tentang ini akan kau dapatkan setelah dua paragraf pengantar-yang-harus-ada berikut.

Begini, seperti yang saya ceritakan diawal, kita sama-sama tahu bahwa Faisal adalah penulis yang begitu kental dengan nilai lokal muasalnya. Dan itu tergambar dari pelbagai tulisannya (meliputi prosa dan puisi). Dan kali ini, Bissu adalah produk lokal yang diangkatnya. Seperti kebanyakan cerita dengan unsur lokalitas lainnya, hal yang paling menyebalkan adalah tendensinya yang berlebihan dan cenderung menjadi klise.

Contohnya, kau bisa lihat ke paragraf akhir halaman 47 dalam novel ini, di mana seorang Bissu yang tangah ditawan mempertanyakan ketidakadilan Negara terhadap pemeluk agama lokal asli Indonesia (yang pada cerita ini dan pada kisah nyata mengalami pembantaian) dan lebih peduli terhadap agama impor (hanya karena menjadi agama mayoritas negeri ini) dengan begitu verbal (yang memberi kesan ‘betapa tendensiusnya’ Faisal ini). Padahal, hal ini juga ditampilkan dalam cerita (pada paragraf kedua halaman 115). Suara tendensius macam inilah yang sedikit mengganggu.

Meskipun begitu, dibalik suara vokal pengarang tentang ide lokalnya, ia tidak luput melakukan otokritik. Dan ini menjadi sangat penting, dan membuat novel ini terhindar dari tendensius yang berlebihan dan klise.

Di dalam teks, kau akan menemukan bahwa dalam kepercayaan bugis terdapat lima jenis gender (pria, wanita, calabai, calalai dan bissu). Bissu adalah seorang tanpa gender, yang lahir untuk menciptakan keseimbangan di muka bumi. Novel ini (bagi saya) menjadi anti-tesis, ia seperti menanyakan, apakah hal itu (seorang bissu yang juga merupakan manusia, lahir tanpa gender) benar-benar ada?

Belum lagi seorang Bissu yang merupakan penyambung lidah masyarakat Bugis kepada Tuhan dan seharusnya suci, menjadi begitu profan dan menjijikan dalam novel ini (tergambar dalam tokoh Mapata dan Puang Matua Rusmi).

Bagi saya, hal ini menjadi begitu krusial dan penting. Tidak ada kebenaran tunggal yang dipaksakan pengarang. Dan dengan adil ia menutup cerita ini dengan akhir yang tepat dan tidak dipaksakan.