/1/ Tidak. Aku tidak sedang mengeluh. Kau memang tidak ada di sisiku, tapi angin yang membasuh peluh di tubuhku adalah juga angin yang memainkan helai rambutmu.
Ia tundukkan kepala Ke nyala tiga batang dupa Tanda sahaja pada takdir Yang tahir dan sederhana Doa Semerbak cendana di udara Menyaput duka Ia m...
Di matamu kudengar jerit tertahan saat jemarimu yang lentik Gemetar membuka halaman-halaman bisu buku sejarah itu Ingatanmu menjelma ruang yang memantulkan raung Dari bau hangus r...
Setelah larik pertama Aku bertahan menunggu Sebuah pintu terbuka Membawa sabda biru Dan kesuwungan yang samar Dalam pejam mata Menyala di luar cahaya
Panjangkan pandangmu Di jembatan rawa Tegowanu Tunggulah, sunyi akan bergetar Dan bau anyir itu Tercium juga di hidung yang radang Tentu tak ada rumpun kemb...
/1/ Pagi belum jauh dari cangkir kopimu, dan yang terdengar cuma sayup hujan. Minggu seperti ranjang tua terbalut selimut tebal. Patahan sayap laron di...
Kutulis kau ringkas. Jeda di sela-sela kata bukan untuk diterka, dan jejak yang bergeser sekadar isyarat sederhana. Tunggu aku di ambang ambungmu sebelum la...
Ia melepaskan sepatu sebuah rak kecil berderak. Deretan foto di dinding tampak semarak terpapar lampu neon di plafon. Ia melangkah pelan, seolah menghindari
pernahkah kau lewati sebuah jalan pedesaan yang naik-turun juga berkelok-kelok? di kiri-kanannya sawah dan rumpun bambu dengan cabang menyampir
Jalan setapak yang rumpil itu masih mengenalku Sebuah jejak menginjak guguran daun jati. Di ujung Tikungannya sebuah gubuk masih khusyuk menemani Para petani yang sejenak menghind...