SEBELUM gerimis mengemis badai, sebelum gigil tubuhnya gagal menyimpan jantung yang bergantung pada detak dadanya, di rumah kecil dan renta itu, Baron sempat memanggil dan menyebutkan beberapa nama. Tetapi tak satupun nama-nama itu dikenal Wati, istrinya. 

Petir menyambar, perasaan hambar di dada. Terbanting di perut istri Baron yang bunting. Ketakutan hambur di penjuru ruangan. 

“Kau takkan sendirian.” 

Baron menutup mata. Tangan kekar itu mencengkeram pundak istrinya. Tak butuh setengah putaran jarum jam paling panjang, Baron tak lagi bersuara. Wati pun tak sanggup bersuara. Segalanya tertahan di tenggorokan.

Malam itu, Baron akhirnya mati di pelukan Wati. Tidak ada yang siap-siaga sebab memang tidak terduga. Tidak juga Baron, atau istri tercintanya. Tidak ada sesiapapun di rumah, kecuali istrinya dan seseorang — yang mungkin masih tidur di kandungan Wati.

Wati menjerit. Perkabungan suaminya yang dadakan itu menjerat hatinya. Wati sangat mencintai Baron, satu-satunya manusia yang sejak sepuluh tahun lalu, sudah menemaninya — di rumah tua yang hanya bertetangga pepohonan dan hutan itu. 

Cinta Wati melebih cinta pada siapapun. Pada apapun.

Aku mendengarnya. Berkali-kali Wati menyerukan nama Baron, suaminya. Aku ikut menjerit, tapi tentu Wati tak mendengarnya. Aku bergerak sebisaku. Wati tahu aku berontak. Ia ketakutan. Darahnya membeku pelan-pelan. 

Tidak ada cara lain, pikirnya, sambil mengangkat tubuhnya dan berjalan mengambil sebilah pisau dapur. 

Ia gunakan pisau itu untuk memotong nadi di pergelangan tangan kirinya. Ia bunuh diri. Aku pelan-pelan merasakan kepergian roh Wati dan meniupkan kisah ini di sisa waktu sebelum kematian itu. Kau harus tahu, akulah seseorang — yang mungkin masih tidur di kandungannya — itu. 

Aku mati bersama Wati, ibuku, di dalam kandungannya yang sepi, di rumah tua yang sunyi.

Komunitas Kutub, 2018