MATAHARI TERBENAM SEKALI LAGI
Cerpen
Kutipan Cerpen MATAHARI TERBENAM SEKALI LAGI
Karya alfinrizalisme
Baca selengkapnya di Penakota.id


aku akan baik-baik saja jika seandainya mati dan tak meninggalkan apa-apa

dunia diciptakan tidak untuk abadi dan aku bahagia atas kefanaan ini[1]


Tiba-tiba. Sangat tiba-tiba. Wanita itu memanggilku—dengan panggilan sembarangan dan suara lantang—sampai aku terkejut dibuatnya. Mulanya aku ragu, apakah benar, aku yang dia panggil? Dia tidak menyebut namaku. Kami tidak pernah saling kenal. Tapi, tidak ada siapapun di dekatnya selain aku—yang kebetulan sedang lewat depan rumahnya untuk pulang. Akhirnya aku menghampirinya. Aku berjalan melewati pagar kecil yang melindungi rumah itu.

***

Aku tidak pernah mengenal wanita ini meski juga tidak asing di mataku. Wanita ini sering—bahkan setiap pagi dan sore—kulihat duduk di beranda rumahnya sambil melakukan hal-hal yang itu-itu saja. Memandang jalan raya di seberang rumahnya, merendam kakinya, dan sesekali memejamkan mata dalam waktu yang sangat lama. Seperti orang mati atau lupa cara bangun dari tidurnya.


Beberapa kali mata kami saling bertemu. Tepatnya, ketika aku penasaran untuk memeriksa apa saja yang dilakukan wanita itu—selain duduk di kursi yang sama dan memandang jalan raya. Jika mata kami saling bertemu, tidak ada hal lain yang kulakukan selain mengangguk. Aku tidak tahu apakah wanita itu memang sengaja melihatku ketika aku tak melihatnya, atau kebetulan saja. Tapi, aku selalu menangkap matanya sedang melihatku ketika pandanganku terlempar ke arah wanita itu.


“Kemarilah, duduk sini."


Suaranya sedikit berat. Cocok dengan wajahnya yang sedikit tua. Mungkin usianya sudah berkepala empat. Ada nada keraguan terdengar. Aku menduga wanita ini sepanjang hidupnya hanya menghabiskan pagi hingga pagi lagi dengan sedikit saja bersuara.


"Sini!"


Dia mengulangi perintah itu sambil menepuk kursi yang sedang ia duduki. Aku kikuk. Tidak ada kursi lain di sana. Hanya ada satu kursi putih—yang ia duduki—di beranda itu, enam puluh persen ruangnya sudah habis oleh pantatnya. Terpaksa aku duduk meski tak nyaman. Entah kenapa aku tiba-tiba mau dan harus menurutinya.


Aku bisa saja menolak. Meninggalkan wanita itu dan pulang ke rumah. Tapi saat ini aku berada di antara dua kesadaran itu. Sadar bahwa tidak sebaiknya aku sembarangan menuruti perintah orang yang belum jelas kemauannya dan kepentingannya. Tapi juga sadar tak ada salahnya menghampiri wanita tua yang memanggilku itu. siapa tahu, ia butuh bantuanku.


Mulanya aku menduga bahwa wanita itu butuh pertolongan. Kau tahu, sangat mungkin ia lumpuh. Selama ini hampir tidak pernah aku melihatnya berjalan-jalan atau sekadar berdiri. Selalu, ia kudapati duduk di beranda. Sendirian.


Kecurigaanku terbantah. Sebab melintas seketika di kepala sebuah pertanyaan: dengan siapa dia tinggal di rumah itu. Kalau ia lumpuh, mestinya ada orang yang setiap pagi dan sore menyiapkan air panas—yang sering ia pakai untuk merendam kakinya. Tapi kulirik isi rumah itu kosong. Dan, cenderung seperti memang tidak pernah diurus.


"Ehm.."


Wanita tua itu mengeluarkan suara beratnya lagi. Buyar lamunanku. Aku mengamati kakinya. Aku tidak berani menoleh ke wajah wanita itu, entah kenapa. Sepertinya, aku lebih penasaran untuk memeriksa apakah kakinya benar-benar lumpuh atau tidak. Tapi bagaimana aku bisa membuktikannya jika aku tidak menyuruhnya berdiri? Konyol, dengan alasan apa aku menyuruhnya berdiri? Lumpuh dan tidak, bukan masalah lagi. Aku ingin tak peduli.


"Baru pulang kerja?"


Dia bersuara lagi. Entah kenapa semakin ia mengeluarkan suara, semakin aku kehabisan suara. Aku tidak bisa menjawab atau bertanya. Aku hanya mengangguk. tapi wanita itu sama sekali tidak menoleh ke arahku. Aku menganggukkan kepala lebih atraktif ketika ia mengulangi pertanyaan itu untuk ketiga kalinya. Akhirnya ia tahu.


"Temani aku sebentar saja sampai matahari terbenam. Aku ingin kamu menemaniku melihat matahari terbenam."

Kacau. Wanita itu memintaku menemaninya. Jika aku menuruti permintaannya, berarti aku tidak bisa pulang sebelum matahari terbenam. Di rumah masih ada nasi yang harus segera kumakan atau akan basi. Temanku juga akan mampir ke rumah jam 6 nanti dan kau tahu, rumahku selalu berantakan. Aku tidak mau temanku melihat rumahku berantakan.


Tapi aku tidak berdaya. Lagi-lagi aku harus menuruti permintaannya.


Setelah itu hening. Kami berdua seperti sepasang patung yang diam di depan rumah tua. Aku tidak tahu mengapa aku benar-benar merasa seperti patung. Aku tidak bisa menggerakkan anggota tubuhku. Kusadari betul bahwa aku bukan patung. Patung tidak mungkin bisa memiliki kesadaran dan berpikir sepertiku. Aku masih bisa menyesali mengapa aku harus menghampiri wanita ini dan menuruti semua permintaannya. Lihat, wanita itu tidak lagi mengeluarkan suara, juga tidak bergerak. Apakah dia mati? Tidak. Aku bisa merasakan dengus napasnya yang terbata-bata. Mungkin sebab terlalu hening, sampai napasnya bisa kudengar. Tapi anehnya, jalan raya di seberang tidak bising. Padahal padat kendaraan.


Waktu menjadi semakin lambat. Matahari tak juga terbenam. Apakah kami akan diam sepanjang perjalanan matahari ditelan cakrawala itu? Gila! ini lebih membosankan daripada pekerjaanku yang hanya duduk delapan jam melihat layar monitor dengan deretan angka yang tak pernah kupahami.


"Ehm.."


Wanita itu mengeluarkan suara! Tapi kali ini seperti hanya bagian kepalaku saja yang hidup. Semua anggota tubuh lainnya seperti membeku, membatu. Hanya bagian kepala saja yang normal. Telingaku masih mendengar dengus napasnya. Tapi suaraku seperti benar-benar hilang. Astaga! Bahkan, suara hatiku hanya lamat-lamat saja aku dengar. Aku ketakutan. Bagaimana bisa aku tidak mendengar suara hatiku sendiri?

Tatapan mataku hanya lurus ke jalan raya. Seperti mata wanita itu. Menunggu matahari terbenam. Aku akan sabar. Setelah matahari itu terbenam, aku bisa pulang dan terlepas dari hukuman ini. Haha, siapa yang berpikir ini bukan hukuman? Tiba-tiba aku menghampiri wanita itu dan menuruti permintaanya! Apakah aku pernah berbuat salah pada wanita ini? Sungguh aku tak ingat meski keyakinanku mengatakan tidak. Inilah pertama kalinya aku berdekatan dengan wanita ini. Wanita tua yang sering aku lihat duduk di depan rumah sambil melihat jalan raya itu.


Aku merasa tidak pernah berbuat dosa atau kesalahan.


Tunggu, apakah membicarakan keanehan orang lain dalam hati termasuk kesalahan? Sebab, aku pernah mengira wanita ini adalah orang gila, lumpuh, dan tidak berguna lagi untuk hidup. Biasanya aku berpikiran buruk ketika hal buruk juga terjadi di kantor. Melihat wanita yang hampir setiap hari menghabiskan waktunya untuk duduk, seringkali aku mengutuk. Kerjaannya hanya duduk di depan rumah! Saat orang-orang bekerja, ia hanya duduk di rumah. Padahal; wanita ini belum terlalu tua untuk itu.


Kurasa dia masih bisa melakukan hal lain selain duduk di sana. Menyiram bunga, menjemur pakaian, atau apa saja selain duduk seperti orang gila yang kehilangan harapan untuk hidup. Tiba-tiba isi pikiranku dipenuhi hal-hal buruk tentang wanita ini seperti biasa ketika aku mengaami hal buruk di kantor atau di mana-mana. Lalu aku mengumpat berkali-kali dalam hati.


"Diam."


Katanya. Aku terkejut. Aku tidak mengeluarkan suara tapi disuruh diam?


"Aku tahu kamu berisik. Tidak bisakah kau menemaniku saja sampai matahari terbenam. Aku hanya memintamu menemaniku sampai matahari terbenam. Bukan untuk membicarakan sesuatu berdua, apalagi sendirian. Sebentar lagi matahari terbenam, nasimu tidak akan basi, temanmu tidak jadi pergi ke rumahmu, dan kamu tidak akan lagi kuminta menemani setelah hari ini. Jadi, diamlah dan lihat bagaimana matahari terbenam, aku tahu seumur hidupmu, tak pernah kau lihat bagaimana matahari itu terbenam. Kau menghabiskan waktu hanya untuk mengurusi hal-hal yang semakin hari semakin merumitkan kehidupanmu."


Aku bergidik. Matahari itu perlahan terbenam.


Tapi, ketika kutengok ke sampingku, wanita itu tetiba menghilang. Lalu keterkejutanku menimbulkan kekuatan lain. Aku merasakan kekuatan kembali hinggap di tubuhku. Seketika ketakutan juga menyerangku. Aku lari dari rumah itu, lalu pulang, dan berusaha tidak berpikiran apa-apa tentang hilangnya wanita misterius bersama terbenamnya matahari itu.


Sesampainya di rumah, ada pesan Whatsapp masuk. Itu dari teman kerjaku, ia memberiku kabar bahwa Alina, teman kantorku yang lain, meninggal akibat kecelakan ketika menuju rumahku.


Kutub, 2018


Catatan:

Cerpen ini dibuat untuk Saleojung. Memenuhi tantangannya menulis 1000 kata dalam waktu 1 jam.


[1] Penggalan puisi Daruz Armedian

13 May 2019 01:32
480
Jl. Ki Ageng Pemanahan No.157b, Kragilan, Tamanan, Banguntapan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta 55283, Indonesia
2 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: