HUJAN YANG BASAH BIKIN KITA KERING
Resensi
Kutipan Resensi HUJAN YANG BASAH BIKIN KITA KERING
Karya alfinrizalisme
Baca selengkapnya di Penakota.id

Inilah ulasan Cep Subhan KM untuk buku kelima saya: Mengunjungi Hujan yang Berteduh di Matamu (2018).


***


HUJAN lahir jauh sebelum Adam “mendeklamasikan” puisi. Hujan lahir jauh sebelum Alfin Rizal menulis “sehujan puisi”. Penggunaan hujan sebagai simbol dalam puisi sudah kita temukan pada salah satu puisi tertua yang bisa kita baca, puisi Homer, dan akan kita temukan pada puisi-puisi terbaru yang mungkin kita baca: puisi-puisi Alfin Rizal dalam Mengunjungi Hujan yang Berteduh di Matamu (Rotasi Books, 2019).


 


Puisi-puisi dalam buku ini tak menawarkan pembaruan gegap gempita yang kerap menjadi obsesi para penyair muda, hasrat yang kerap kali pula berujung kegenitan puisi epigon. Ada memang misalnya pada halaman 64 kita menemukan salah satu bentuk pembaruan yang tak lagi baru itu: puisi visual. Tetapi puisi itu pun tidak kenes. Aspek visual yang menempatkan diksi “mengalir” dalam bentuk seperti liukan kali—meski yang ingin digambarkan di sana adalah “aliran air mata”—adalah hal yang natural.


 


Menarik bahwa di tengah godaan melakukan “pembaruan”, Alfin justru menulis jenis puisi yang paling banyak ditulis para penyair kita: puisi liris. Hukum ekonomi mengatakan bahwa ketika suplai barang sama dari produsen yang beragam melimpah di pasaran maka persaingan antara barang-barang tersebut juga akan meningkat. Logika ekonomi ini merupakan salah satu faktor penyebab yang membuat obsesi akan pembaruan menjangkiti sebagian penyair muda kita.


 


Tapi pilihan Alfin untuk ikut terjun sebagai “produsen barang sama yang suplainya melimpah di pasaran” tampaknya tidak keliru. Puisi dia terbukti disukai banyak pembaca puisi kita. Maka kita mungkin bertanya-tanya: apa yang khas pada puisi-puisi dalam antologi ini sehingga pasar menyerapnya dengan antusias?


*


 


 


Chairil Anwar dalam penutup “Membuat Sajak, Melihat Lukisan” menyatakan bahwa ada enam “pokok-pokok yang berulang-ulang telah mengharukan si seniman”: percintaan, kelahiran, kematian, kesepian, matahari dan bulan, ketuhanan. Kita boleh menduga bahwa “hujan” ada pada tataran yang sama dengan “matahari dan bulan”, mereka adalah bagian dari apa yang biasa disebut sebagai “alam”.


 


Dalam pengantar Mengunjungi Hujan yang Berteduh di Matamu, Daruz Armedian mengisahkan sedikit asbabun nuzul kumpulan puisi tentang hujan ini. Kita lantas membayangkan bahwa Alfin Rizal menuliskannya tiap turun hujan, kemudian mengumpulkannya pada musim yang sama sehingga mencapai 50 puisi, atau 53 kalau prolognya—yang lebih pas jika kita sebut sebagai “sapaan untuk pembaca dalam bentuk puisi”—dan dua puisi terakhir—yang lebih pas jika kita sebut sebagai “ajakan berpuisi”—juga kita ikutkan.


 


Penyair dalam hal ini menjadi mikrokosmos yang menyadari relasinya dengan makrokosmos: penyair sebagai jagat cilik dan semesta sebagai jagat besar. Ia menciptakan puisi melalui dialog dengan salah satu aspek alam dalam posisi setara, bukan tinggi-rendah. Penyair, pada titik ini, adalah seorang magi dalam terminologi Freud. Magi yang dalam perkembangan selanjutnya menjadi sosok yang biasa kita kenal sebagai penyihir.


 


Perbedaan antara Magi dan Penyihir sederhana. Magi memandang alam dalam relasi setara, Penyihir memandang alam dalam relasi penaklukan. Menariknya ke tataran proses kreatif, kita akan lebih terbuka pada keberadaan puisi-puisi liris yang sebagian melulu meributkan kondisi emosi manusia dengan menggunakan citraan-citraan alam di satu sisi dan puisi-puisi yang berisi hujatan dengan menggunakan citraan-citraan yang sama, pada puisi lampoon misalnya. Yang disebutkan belakangan adalah hasil evolusi dari yang sudah disebutkan lebih dahulu.


 


Alfin Rizal tampaknya tidak mengalami evolusi itu, atau belum, atau semoga ia memang tak meniatkan itu. Hujan, bersama-sama dengan banyak hal lain, menjadi sumber inspirasi puisi-puisinya, setidaknya yang dimuat dalam buku ini. Tetapi hujan dalam puisinya tidak menjadi taklukan. Ia justru mengalami metamorfosis mati-hidup—mengutip satu “pokok” lain dari Chairil Anwar: kelahiran—dan berdialog dengan tokoh-manusia di dalam puisi-puisinya.


*


 


Daruz Armedian dalam pengantar menyinggung juga salah satu kekhasan puisi- puisi di buku ini: “ia [penyair] kerap mempermainkan kata per kata di sana”. Singgungan itu benar meski sayangnya alih-alih penjelasan lebih lanjut perihal itu, apa yang kita temukan justru satu paragraf hiperbolis yang menunjukkan contoh- contoh riilnya, lantas diikuti oleh dua contoh penerapannya dalam puisi.


 


“Singgungan lebih lanjut” itu perlu karena seorang penyair tak pernah menulis puisi dengan cakrawala kosong. Cakrawala dia bukan tabula rasa, bukan kanvas putih atau ruang suwung, melainkan satu ruang yang sudah terisi hasil obrolannya dalam apa yang disebut oleh TS Eliot sebagai “komunitas tak sadar”.


 


Dengan kata lain, seorang penulis muda—dan karya-karyanya—selalu berutang kepada para penulis terdahulu—dan karya-karya mereka—yang sudah “berjumpa” dengan dia dalam temu muka “komunitas” itu. Karena itulah seorang penyair pasti selalu merupakan pembaca puisi-puisi karya para penyair lain, baik terdahulu ataupun sezaman.


 


Tampaknya apa yang dimaksud oleh Daruz sebagai “mempermainkan kata per kata” dalam puisi-puisi adalah repetisi sebagai salah satu teknik persajakan. Lihat misalnya pada baris-baris berikut ini:


 


 


4.


petirmu berputar-putar di kepalaku yang kau pilih


sebagai peredam badai luka di lekak-lekuk waktumu.


setiap kali datang hujan, petirmu yang getir bergetar


menabuh tubuhku yang sunyi. Suara menyambar


dinding hati, dendang namamu degup di jantungku.


 


5.


ku air mata yang bergenang kesepian,


memantulkan warna malam usai hujan.


dan kau, kenangan paling keras kepala


sukar ditukar dan ditakar kadarnya.


 


 


6.


 


kau setubuhi ingatan hingga aku letih


di rentang ranjang rintik yang rintih.


menjelang malam menjulang, kau begitu puas


jahit kenangan dari benang hujan yang buas.


 


(“sajak-sajak kecil sebelum turun hujan”)


 


 


 Repetisi secara umum biasa dibagi menjadi empat macam; pertama, repetisi pada tataran huruf, suku kata, dan bunyi; kedua, repetisi pada tataran kata; ketiga, repetisi pada tataran frasa dan klausa; keempat, repetisi pada tataran gagasan. Dari empat pembagian itu diturunkan hampir lima puluh jenis repetisi. Kita lihat pada puisi di atas, seberapa jauh repetisi digunakan oleh Alfin:


 


Pada bait pertama, “petir” dengan “putar” adalah konsonansi, pengulangan konsonan, repetisi pada tataran huruf. “Putar-putar” itu sendiri merupakan pengulangan utuh pada tataran kata. “Lekak-lekuk” merupakan konsonansi, “petir” berima dengan “getir” sekaligus merupakan asonansi, sementara “getir” dan “getar” sendiri merupakan bentuk konsonansi. “-nabuh” (berasal dari “tabuh”) berima dengan “tubuh”. “Sunyi. Suara” merupakan aliterasi. “Dinding” dan “dendang” adalah konsonansi.


 


Pada bait selanjutnya kita temukan kuatren tertib berima aabb. Pada bait ini kita temukan juga “sukar” yang berima dengan “tukar” sekaligus merupakan asonansi. “Tukar” dengan “takar” adalah konsonansi, sementara “takar” sendiri berima dengan “kadar” sekaligus merupakan asonansi.


 


Bait selanjutnya juga merupakan kuatren tertib berima ccdd. “Rentang ranjang rintik yang rintih” merupakan bentuk aliterasi. “Rentang” berima dengan “ranjang”, sementara pada “rintik” dan “rintih” kita temukan asonansi. “Menjelang” berima dengan “menjulang” sekaligus merupakan konsonansi, sementara pada “kenang-“ dan “benang” kita temukan asonansi.


 


Repetisi sebanyak itu kita temukan dalam tiga kuplet pada satu puisi adalah sesuatu yang khas bagi seorang penyair. Tentu tak semua puisi dalam antologi ini memuat repetisi dengan kepekatan yang sama: repetisi bukan satu-satunya teknik yang dikembangkan Alfin Rizal. Meskipun demikian, memang dalam puisi-puisi lain di dalam antologi ini pun kita bisa menemukan kekhasan itu dalam jumlah dan variasi yang beragam:


 


 


Sepi yang kehilangan sapa; berwarna sepia


(“di gedung teater tua”)


 


Aroma itu


Irama hujan


 


(“aroma hujan”)


 


Kita selalu gamang pada reda rintik,


Dan geming pada terik


 


(“pada dada hujan”)


 


Ternyata itu rindumu, yang Sudah senakal hujan siklonal


 


(“rindu siklonal”)


 


 


 


Jenis repetisi yang paling lazim digunakan oleh para penyair kita adalah rima akhir atau rima dalam. Jenis lain yang juga banyak kita temukan adalah aliterasi dan anafora, misalnya pada puisi-puisi Amir Hamzah dan Roestam Effendi, ataupun dalam O Amuk Kapak Sutardji Calzoum Bachri.


 


Seorang penyair kita yang puisi-puisinya menampakkan keakraban tersendiri dengan berbagai varian repetisi adalah Sitok Srengenge. Penggunaan repetisi pada puisi-puisi Sitok adalah eksperimennya dengan bunyi yang berkelindan dengan arti. Sebagai perbandingan lihat misalnya beberapa baris puisi Sitok Srengenge berikut ini:


 


 


Di luar angan cuma angin,


 


namun rasa ingin masih mungkin,


 


(“Libido Sangkuriang”)


 


 


 


Di dalam kelam tahun


 


ada tersurat kalam tuhan


 


 


 


Di kedalaman kening


 


 


 


ada kau berkelebat dalam kenang


 


(“Gurit Rindu Dendam”)


 


 


 


Aku bertanya kepada angin


 


dari mana asalnya angan


 


(“Osmosa Asal Mula”)


 


 


 


Tapi masih kudengar, samar, di bulevar,


 


musim bertiup dan ranting terakhir daun linden lindap


 


tepat ketika syaraf-syarafmu bergetar


 


di antara gerak gugup dan suara gagap


 


(“Maastricht”)


 


 


 


“Nasib memang tak selicin tenun linen, Tuan Lenin,” ufuk hanya sepi, tak ada lagi burat matahari, ketika ia gumamkan solilokui


 


 


“Sungguh maklum, jika tak ada mausoleum bagi Mussolini, setelah ideologi yang memihak orang banyak


mengeras jadi sebengis kapak,


 


mengayau sulur-sulur nalar dan naluri.”


 


(“Fatamorganisma”)


 


 


 


“Angan” dan “angin” adalah konsonansi, sama juga dengan “kelam” dan “kalam”, “tahun” dengan “tuhan”, “kening” dengan “kenang”, dan “angin” dengan “angan”, “nalar” dan “naluri”. “Ingin” berima dengan “mungkin”. Pada baris-baris Sitok Srengenge juga kita temukan rima akhir yang tertib misalnya pada “Fatamorganisma” yang dikutip di atas aa bccb. “linen” dan “Lenin” sebagaimana “mausoleum” dan “Mussolini” adalah jenis repetisi pada tataran kata yang jarang kita temukan karena memang tingkat kesukarannya lebih tinggi, biasa disebut sebagai adnominatio.


 


“Kudengar” berima dengan “samar” dan “bulevar” yang diletakkan berdekatan pada satu baris, dilanjutkan juga pada “bergetar” di akhir baris ketiga setelahnya. “Linden” dan “lindap” merupakan varian dari asonansi yang memuat pula kesesuaian tautan bunyi dengan huruf d pada kata “daun” dalam baris yang sama. ”Gerak”, “gugup” dan “gagap” yang terletak pada satu baris adalah aliterasi yang dikombinasikan dengan konsonansi. Contoh dari “Gurit Rindu Dendam” di atas juga menggunakan anafora, repetisi pada tataran kata di awal baris baik berupa kata, frasa, ataupun klausa. Teknik ini juga digunakan Alfin misalnya pada kuplet ketiga “hari libur hujan”.


 


Ada kemiripan cara Alfin Rizal menyusun baris-baris puisinya dengan cara penyair Sitok Srengenge menyusun baris puisi-puisinya. Bukan hanya repetisi berupa konsonansi, pada puisi-puisi Sitok Srengenge juga rima akhir merupakan aspek yang penting.


 


Kemiripan semacam itu tentu saja sesuatu yang sah. Penyair sekaligus kritikus sastra TS Eliot misalnya dalam “Fungsi dan Kritik Sastra” menyinggung adanya “komunitas tak sadar” antara para seniman dari berbagai zaman. Dengan kata lain, setiap penyair berutang pada para penyair terdahulu karena dalam prosesnya menjadi penyair dia pasti “mengobrol” dengan karya-karya para penyair pendahulu. Hasil “obrolan” itu, sadar ataupun tidak, dimungkinkan mempengaruhi gaya penyair tersebut. Kita lantas boleh menebak bahwa salah seorang penyair yang Alfin Rizal tergabung dalam “komunitas tak sadar” dengannya adalah Sitok Srengenge.


 


 


 


Tentu kita boleh juga menduga bahwa dalam “komunitas” itu Alfin Rizal bukan hanya “bertemu” penyair Sitok Srengenge melainkan juga penyair-penyair lain. Paduan obrolannya dengan para penyair itulah semoga yang lantas mencegahnya menjadi sekadar epigon.


*


 


Akan lebih menarik sebenarnya jika membahas secara menyeluruh kekhasan berbagai repetisi dalam puisi-puisi Alfin Rizal, sesuatu yang sayangnya tak mungkin dilakukan dalam ulasan yang ringkas ini. Hal itu akan sama menariknya juga jika dibandingkan dengan puisi-puisi yang dipublikasikan lebih dulu sebelum Mengunjungi Hujan yang berteduh di Matamu ini.


 


Menggunakan repetisi sebagai salah satu teknik persajakan sebagaimana dilakukan oleh Alfin Rizal dalam antologi ini tentu bukan berarti tanpa risiko. Penggunaan repetisi yang tak matang cenderung menghilangkan sisi natural puisi, pemujaan repetisi di atas segalanya memungkinkan makna menjadi basi. Poin pertama akan merusak sisi “bentuk” puisi, poin kedua akan merusak sisi “isi” puisi. Dalam beberapa puisinya, Alfin Rizal tampak mampu menjaga keseimbangan antara keduanya sehingga menghasilkan baris-baris yang kuat, misalnya:


 


 


Yang menjauh dari ceruk hati Saat kita jatuh dan saling jauh Bukanlah rindu.


(“tuhan menjelma apa saja”)


 


 


 


Atau


 


 


 


Dan sebab rindu-rindu ini sulit kuredam,


 


 


 


Padamu, doaku tak pernah padam.


 


(“rerimbun embun”)


 


 


 


Ada banyak lagi contoh-contoh lain yang bisa membuat kita menduga bahwa salah satu faktor yang membuat puisi liris Alfin Rizal disambut khalayak adalah baris-baris kuat yang dilahirkan repetisi ini. “Salah satu faktor lain”: dengan ungkapan itu maka saya ingin mengatakan bahwa tak menutup juga kemungkinan ada faktor-faktor lain yang ikut mempengaruhi.


 


Meski demikian, ada satu kecenderungan dalam puisi-puisi dalam Mengunjungi Hujan yang Berteduh di Matamu untuk memikat tapi menolak mengikat. Repetisi secara umum, termasuk rima akhir, merupakan salah satu teknik persajakan tua, meski bukan yang tertua. Para penyair Yunani kuno misalnya tidak mengenal rima akhir, rima akhir adalah temuan para agamawan abad pertengahan.


 


Tujuan penemuannya saat itu adalah didaktis: rima akhir sebuah baris mempermudah hafalan. Satu pemahaman yang juga menjadi alasan mengapa dalam puisi didaktis Islam, sebagaimana lazim ditemukan dalam kitab-kitab klasik yang dikaji di pesantren, rima akhir memegang peranan yang sangat penting,


 


Repetisi, dengan segala variannya, pada puisi-puisi ini memungkinkan pembaca mengingat beberapa baris yang berhasil sebagaimana sudah dicontohkan di atas. Baris-baris itu melekat dalam ingatan, tetapi bukan sebagai bentuk saja melainkan bersama maknanya. Pada titik ini kita bisa melihat kembali relasi Alfin Rizal dengan magis dan sihir yang disinggung di awal: Alfin bersikukuh sebagai magi, puisi dia bukan mantra penyihir.


 


Apa yang penting dari mantra, kita tahu, adalah bentuk, bukan isi. Bunyi adalah salah satu faktor yang sangat berperan dalam “bentuk” ini: ia memikat, sekaligus mengikat. Kondisi termantrai, atau tertenung, atau possessed (satu kata yang kita tahu dalam bentuk aktifnya seringkali digunakan untuk menunjukkan kepemilikan, kekuasaan akan sesuatu), yang dalam pandangan Freud analog dengan


 


 


 


halusinasi, adalah kondisi ketika arus dari ketaksadaran ke kesadaran yang selama ini dimampatkan menjadi dobrak: air bah yang mendobraknya terutama bersifat auditoris, bunyi.


 


Begitulah, puisi-puisi Alfin Rizal dalam buku ini adalah puisi-puisi yang mencoba menenung pembaca tanpa sepenuhnya membuat mereka kehilangan kesadaran: “tak sukar kau keluar, tak kikuk kau masuk”. Puisi-puisi dia dengan berbagai varian repetisinya mencoba menenung pembaca, lewat bunyi, lewat musik, tetapi pada saat yang sama kerap kita temukan patahan-patahan baris yang abai matra. Puisi-puisinya, dengan kata lain, adalah hujan yang basah tetapi membuat kita tetap kering.


 


Kita tentu tak bisa menganggap pernyataan di atas sebagai satu kesimpulan final: resepsi pembaca terhadap sebuah karya sastra tak pernah bisa ditakar dengan mutlak, selalu ada pelbagai kemungkinan yang tersisa di luar segala takaran yang coba diciptakan. Mungkin ada pembaca yang sepenuhnya possessed dan larut di dalamnya, mungkin ada pula yang tertarik hanya sampai pada tataran lamunan.


 


Mungkin juga ada yang merasa tak puas: penyair sebagai produsen tak mungkin memuaskan semua konsumen sebagaimana kita juga tak bisa mengharapkan keseimbangan antara bentuk dan isi terjaga secara sempurna pada keseluruhan puisi di dalam antologi ini. Meskipun demikian, sebagaimana hujan dan benda-benda mati mengalami personifikasi, menjadi makhluk antropomorfis yang menolak kutuk bahasa manusia, puisi-puisi Alfin Rizal, sebagian ataupun seluruhnya, mungkin pula menjadi hidup dan menguasai kita.


 


Yogyakarta, 2019


 


 


 


PENGULAS:


 


Cep Subhan KM, lahir 6 Juni 1989 di Ciamis dan menetap di Yogya sejak tahun 2009. Menulis cerpen, puisi, novel, dan esai sekaligus menjadi penerjemah. Beberapa karyanya yang sudah diterbitkan adalah Ludah Surga (Antologi cerpen bersama), Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf (Antologi cerpen bersama), Serat Marionet (Novel), dan Musyawarah Burung (Terjemahan puisi). Esai-esai kritik sastranya dimuat dalam Jurnal Sajak dan Jurnal Khittah.lahir 6 Juni 1989 di Ciamis dan menetap di Yogya sejak tahun 2009. Menulis cerpen, puisi, novel, dan esai sekaligus menjadi penerjemah. Beberapa karyanya yang sudah diterbitkan adalah Ludah Surga (Antologi cerpen bersama), Kata Orang Aku Mirip Nabi Yusuf (Antologi cerpen bersama), Serat Marionet (Novel), dan Musyawarah Burung (Terjemahan puisi). Esai-esai kritik sastranya dimuat dalam Jurnal Sajak dan Jurnal Khittah.


 


 

20 Oct 2019 04:24
350
Jl. Sorowajan Baru No.35, Jomblangan, Banguntapan, Kec. Banguntapan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta 55198, Indonesia
3 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: