BURUNG GAGAK DI ATAS SEMASANG
Kutipan Cerpen BURUNG GAGAK DI ATAS SEMASANG
Karya anjrahlelonobroto
Baca selengkapnya di Penakota.id

    Puluhan suara menyatu dalam mantra. Syair purbani yang menusuk birahi mengusik kegelapan. Suara-suara itu terus mengaum, merangkak mendaki bukit kapur yang terjal. Entah makian atau pujian, tak jelas! Bagi mereka yang penting mampu melampiaskan sesaknya kehidupan. Suara-suara itu terus menyayat. Sepasang mata hitam dari tubuh hitam menatap tajam ke arah suara-suara itu.


    “Kita harus sampai puncak sebelum matahari terbenam!” seru Wak Ranggas sambil menengok ke belakang. “Percepat sedikit jalannya,” ucapnya lagi.


     Dengung riuh mantra terhenti beberapa detik, demi mendengar perintah dari Wak Ranggas, sang sesepuh desa. Namun sesaat kemudian, kembali suara mantra yang sumbang itu menelusup hingga pori-pori bukit. Gerak langkah warga desa yang mengikuti Wak Ranggas dipercepat. Tapi ada beberapa yang akhirnya terduduk atau bersandar di pepohonan besar. Kelihatannya mereka sangat capek. Bahkan ada yang kakinya melepuh. Perih dan panas. Wak Ranggas tak ambil peduli. Lelaki berperawakan kerempeng dan berambut ikal panjang itu, tidak ingin resiko lebih besar menimpa desanya.


     “Jangan ada yang keluar dari barisan....kita hampir sampai puncak!” teriak Wak Ranggas lagi.


   Sementara itu, angin kering berhembus kencang. Membawa dedaunan meWak Ranggas bergulung menjauh. Jauh di ufuk fatamorgana, pucuk-pucuk ranting mengering. Pucuk-pucuk itu menunjuk tegas ke jantung matahari. Panas membakar muka bumi. Akhirnya, dengan langkah gontai, Wak Ranggas mendaki belokan terakhir. Belokan itu cukup terjal dengan tebing di sisi kirinya. Sedangkan di sisi lain, belukar memakan badan jalan. Hingga jalan setapak itu kelihatan makin sempit.


     Gema mantra terus mengucur dari bibir-bibir yang menghitam. Gaungnya membakar sepanjang permukaan bukit. Dari kejauhan, suara ucap mantra berpadu dengan derak langkah menyuguhkan bait penderitaan. Dari atas gundukan kecil dan terpisah dari barisan, Wak Ranggas berkata dengan lantang.


     “Matahari tinggal dua jengkal. Kita percepat....!” seru Wak Ranggas hingga urat lehernya keluar. Rupanya, puluhan orang yang berjejer hampir seratus meter lebih tersebut memahami resiko yang dimaksudkan lelaki bermata cekung itu. Dengan dengus napas kelelahan mereka mempercepat langkah.


     Kaki-kaki yang pecah itupun menapak dengan keras. Membabat tajamnya kerikil. Menjejak tanah yang kerontang. Sementara dedaunan mengering terseret angin, saling menggesek membuahkan senandung kesakitan. Kaki-kaki itu terus melangkah tanpa jengah. Berpacu dengan matahari yang mengendap-endap menyelinap di balik cakrawala. Pelan tapi pasti. Dan tanpa kompromi.


    “Kita percepat lagi,” seru Wak Ranggas di ujung terdepan barisan itu. Tak ayal, kaki-kaki pecah bernanah itupun dipaksa untuk lebih trengginas. Lenguh napas dan cucuran keringat membasah di wajah. Menyeka pengharapan yang jauh tak kunjung datang.


     Saat langit ufuk barat mulai merah tembaga, jejak-jejak kaki warga kampung Semasang*) telah sampai di dataran puncak bukit. Dari puncak, mereka bisa melihat seluruh wajah kampung. Nampak atap rumah-rumah seperti garis-garis tak beraturan. Sedangkan pepohonan kecoklatan bergoyang tertiup angin. Padi di persawahan melambai dibalut panas. Coklat tanpa ulat!


     “Dimana kita memulainya, Wak Ranggas?” tanya Bujang Laya sambil meletakkan sesaji dalam wadah keranjang kecil beralaskan daun pisang segar. Sementara ada bubur merah dan putih dalam wadah kecil. Ditambah sejumput kemenyan yang siap dibakar. “Harus segera dimulai. Kalau terlambat, kita mesti menunggu bulan depan lagi,” kata Bujang Laya.


     “Betul! Tolong segera dipersiapkan. Taruh semua sesaji di atas tanah tinggi itu. Dan semua berkumpul, bersila mengitari seluruh sesaji.


     Tanpa bertanya, tanpa komentar, dan tanpa membantah, seluruh orang menuruti perintah Wak Ranggas. Wak Ranggas memang tetua desa yang teramat dikeramatkan. Konon, menurut cerita, Wak Ranggas masih keturunan Eyang Bidara yang membuka hutan wilayah Kampung Semasang. Sehingga aura Eyang Bidara masih terpancar di wajah Wak Ranggas.


    “Semuanya....bakar kemenyan!” seru Wak Ranggas.


    Angin bukit yang kering turun membelah batang-batang padi. Membabat habis seluruh tanaman dan membakar kerongkongan. Daun-daun hancur kerontang. Ranting-ranting pepohonan mati kekurangan kambium. Ini bak mimpi buruk yang tak berujung. Hingga tak ada pilihan lain, Penguasa Angin Yang Maha Belas harus diketuk rasa iba-Nya agar mau memutus rangkaian mimpi buruk yang teramat panjang.


    “Mari...tidurlah di atas rerumputan kering ini. Tataplah semburat merah di langit. Dan pejamkanlah mata hingga hatimu ikut terpejam. Pandanglah dirimu sendiri yang menyelinap di balik awan kerontang. Cium dan rasakan asap kemenyan yang masuk lewat ubun-ubunmu,” demikian perintah Wak Ranggas kepada Keyang, pemuda yang kini telentang di kelilingi asap kemenyan.


     Sementara itu, puluhan bibir yang menghitam berdoa dalam mantra yang dipercaya mampu membetot kebaikan dari kegelapan. Bibir-bibir itu terus bergetar. Gemuruh suara doa menggetarkan matahari yang nyaris sembunyi di balik awan merah. Angin kencang berputar menelusup melalui ubun-ubun. Begitu cepat. Berat. Dan gelap! Keyang kerasukan....tubuhnya kini enteng melangkah. Jemarinya bergetar kaku. Matanya terpejam. Namun mulutnya menggumamkan sesuatu yang tidak jelas.


     Asap kemenyan makin tebal.“Eyang Bidara....maaf, kami telah mengganggu istirahat Eyang,” seru Wak Ranggas penuh sopan. Tubuh Keyang masih tegak kaku di atas gundukan puthuk.


     “Eyang?” tanya Wak Ranggas pada tubuh Keyang yang mulai bergetar kuat. “Jangan ganggu tidurku,” jawab Eyang Bidara kurang jelas melalui bibir Keyang.


     “Bukan bermaksud mengganggu. Tetapi cucumu ini ingin minta pertolongan, Eyang,” ucap Wak Ranggas lagi. Gemuruh mantra makin kencang. “Ada apa?”


    “Mungkin Eyang bisa mengusir bala’ yang menimpa Kampung Semasang ini?”. 


    “Kenapa?”.


   “Tanaman padi kami mati. Sumur-sumur kami mengering. Tanah di sawah dan pekarangan retak. Hampir setahun kami kekurangan air,” lapor Wak Ranggas dengan menceracau.


    “Itu salahmu sendiri,” jawab Eyang Bidara pendek.


   “Apa salah kami, Eyang?”. Langit tembaga makin merah. Bahkan mirip darah.


   “Salah!” seru Eyang Bidara kencang. “Rumahku kalian rusak!”.


    “Rumah yang mana, Eyang?”


     Belum selesai, Wak Ranggas berbicara, mendadak tubuh Keyang kejang. Mulutnya mengeluarkan liur cukup banyak. Jemari kaki dan tangannya makin kaku. Kini matanya mendelik. Wak Ranggas pun bergegas menyahut kemenyan yang masih membara, lantas diputar-putar tepat di sekujur tubuh Keyang. Sambil membaca mantra tertentu, perlahan tubuh Keyang lunglai.


     Wak Ranggas menghela napas panjang dan dalam. Beberapa detik kemudian, kelopak mata Keyang terbuka. Tapi tubunya masih telentang menatap cakrawala. Semuanya diam. Dan pandangan tertuju pada setiap gerak Keyang. Gaung mantra masih terdengar seiring dengan angin sore yang jatuh menerpa puncak bukit yang kering. Keyang terduduk kuyu, seolah tak mengerti apa yang baru saja terjadi pada dirinya. Sisa asap kemenyan masih menyelinap di balik ubun-ubunnya.


     “Kita selesaikan upacara ini,” kata Wak Ranggas. Matahari tinggal segaris. Merah darah. Sembunyi di rerimbunan dedaunan yang kekurangan air. Kerontang dan retak. Sementara wajah-wajah berbalut asap kemenyan masih penasaran. Belum menemukan jawaban.


    Keesokan harinya....Warga Kampung Semasang geger. Angin kering dari puncak bukit membawa kabar buruk. Wak Ranggas hilang. Padahal semalam, lelaki sesepuh kampung itu masih mondar-mandir di halaman rumahnya yang ditumbuhi rerumputan tinggi. Tak ada yang tahu kemana Wak Ranggas pergi. Juga tak ada tahu kapan lelaki berambut panjang itu keluar rumah. Di pagi yang belum genap itu, puluhan mata saling berpandangan.


   “Dia pasti di atas bukit!” teriak seorang pemuda yang menyeruak diantara kerumunan. Kontan, mendengar seruan itu, puluhan lelaki langsung berbondong mendaki bukit. Berbeda dengan kemarin, kali ini mereka mendaki dengan berlari. Bahkan ada yang terjungkal, terperosok dalam parit.


    “Lebih ke atas lagi,” seru pemuda tadi yang kini berlari paling depan. Dengus napas berbaur dengan cucuran embun yang panas. Menetes membasahi kening yang kerontang. Begitu tiba di puncak, kosong! Hanya hawa dingin bukit yang menghantam tubuh-tubuh kelelahan. Sementara burung gagak terkejut, berkelebat di atas dahan yang nyaris patah.


    “Cari ke setiap sudut!”.


    “Sudah. Tidak ada!”.


    “Tidak mungkin. Wak Ranggas pasti sedang bersemedi di sini”. 


    “Jangan sok tahu,” seru yang lainnya. 


    “Ini rumah Wak Ranggas. Jika tidak ada di rumah, pasti ke sini”. 


    “Mungkin dibawa jin,” cetus warga yang lain.


    “Mustahil! Wak Ranggas itu keturunan Eyang Bidara. Segala jin tunduk kepadanya”.


    Matahari membumbungkan sinarnya. Menyeka embun panas yang membasahi dedaunan layu. Mata-mata itu saling berpandangan. Jejak kaki berputar tanpa tujuan. Di atas bukit itu, mereka tertunduk kuyu. Mendadak mereka dikejutkan oleh burung gagak yang berkelebat. Suaranya mengaum tajam.


    “Gagak! Ini pertanda buruk,” teriak salah seorang. “Dari tadi aku melihatnya,” sela yang lain. “Tapi ini beda. Isyarat buruk. Ayo ambil kemenyan. Kita berdoa di sini. Mungkin, Wak Ranggas ada di sekitar kita,” teriak salah seorang tadi.


    Untunglah, ada seseorang yang masih mengantongi sisa kemenyan bekas upacara sesaji kemarin sore. Tersimpan dalam bungkus plastik dalam saku. Dengan cekatan, tepat di atas puthuk, kemenyan yang dibakar dan perlahan mengeluarkan bau menyengat itu, asapnya membumbung. Semua tertunduk mengelilingi puthuk. Semua berdoa dalam bahasa masing-masing. Doa berbalut asap menggugah aura mistis. Suara mereka berdengung membelah tanah retak yang kerontang. Tanah yang sangat lama tidak bersemaikan air. Hujan tidak turun sejak sembilan bulan lalu.


    Dedaunan terseret tiupan angin. Bergulung hingga mengeluarkan suara menyayat. Mulut-mulut yang mulai mengering itu, terus saja membaca doa di bawah naungan asap kemenyan. Mengepul, bergerak naik, dan menjulang seolah meraih jemari renta Wak Ranggas yang bersila di atas langit. Tak terasa, matahari telah jauh mengembara hingga nyaris beristirahat di titik zenith. Terik kerontang yang mestinya meretakkan ubun-ubun tidak terjadi. Awan hitam jelaga menggantung harapan yang terburai sejak sembilan bulan lalu.


    “Mendung! Lihat di sana!” seru salah seorang yang memberanikan diri mendongak karena lehernya terasa ngilu.


    Semua terkejut. Secepat kilat langsung mendongak.


    “Mendung!” sahut yang lain.


    “Hitam!”


     “Oi, Hujan!”


    “Kita dapat air!”


  “Air...air...sebentar lagi turun!” suara-suara bersahutan. Luapan kegembiraan menyelimuti bukit yang kini dihantam angin basah. Cukup kencang. Beberapa ranting, terputus dan jatuh diterpa kencangnya cuaca.


    Mendung makin tebal. Lebih hitam dari jelaga. Puluhan lelaki berjingkrak, menari, dan menginjak bekas abu kemenyan yang masih hangat. Mereka melompat, berteriak, berlari-lari, jungkir balik, seperti kesurupan. Ya! Mereka setengah kesurupan rasa gembira yang luar biasa. Rerumputan kering di atas bukit, ludes dan tercerabut oleh beringasnya tarian kegembiraan itu.


    Setengah jam kemudian, titik air sebesar jarum jatuh dan masuk tepat di sela tanah retak.


    “Hei...Air...!” kegembiraan makin meluap. Tarian makin beringas. Bahkan kini mereka bergulung-gulung. Titik air sebesar jarum itu, segera disusul oleh ribuan titik air lainnya. Jatuh mendera, menyumbat tanah retak. Orang-orang makin kesetanan.


    “Kita ucapkan terima kasih pada Wak Ranggas,” teriak salah seorang yang telah belepotan lumpur sambil bergulung-gulung. Hujan makin deras. Tapi mendung masih sehitam jelaga. Bahkan makin hitam.


    Burung gagak terbang berkelebat. Kepak sayapnya yang kekar menebar aroma kamboja. Suaranya meraung, menguras air mata. Di bawah mendung yang masih sehitam jelaga, matanya yang tajam menatap ke setiap sudut. Gagak itu bertengger di atas bonggol pohon yang telah lapuk. Hujan belum reda.


    Sejak titik sebesar jarum jatuh di sela tanah retak tiga hari lalu, hingga kini tumpahan air dari balik jelaga itu belum surut. Bahkan makin deras. Untung saja burung gagak itu berlindung di bawah gelondong kayu cukup besar. Menurut keyakinan banyak orang, teriakan burung gagak adalah isyarat buruk. Seperti dalam legenda purbani, gagak hitam selalu hadir mengoyak mimpi buruk setiap manusia. Burung gagak menyeruak dari kegelapan, akan membantai dalan tiap erangannya.


    Asap kemenyan hanya tinggal kenangan. Kini Kampung Semasang telah luluh lantak. Bukit yang tanahnya retak, dengan beringas melindas napas hidup warga Semasang yang terletak tepat di bawahnya. Longsor! Tak satupun jiwa tersisa. Puing-puing kehidupan dibalut aroma menyengat kemenyan, bermunculan dari balik lumpur. Menimbun doa dan mantra. Mendung sehitam jelaga itu menghantam karena tak satupun pepohonan tersisa. Ditebas dengan beringas. Pepohonan di puncak dan lereng bukit luluh lantak seperti wajah Kampung Semasang saat ini.


    Kampung itu mati. Tak satupun jiwa tersisa. Tangis bayi mungil terlelap, terlekap lumpur yang menggulung, mengusur dari puncak bukit. Di atas bonggol kayu yang tersisa, Wak Ranggas mengintip wajah-wajah yang berbalut kemenyan. Tersungkur dia atas kayu-kayu rapuh. Sesaat, dengan air mata sebening embun ditemani burung gagak bersayap hitam, terbang menembus mendung sehitam jelaga.


    Wak Ranggas hilang lagi meninggalkan tanah yang tak lagi retak menuju singgasana burung gagak yang berteriak serak.


 


---- oo000oo ----


 


Padepokan Girilusi, November 2014


 


 


Catatan:


Cerpen ini pernah dimuat di Harian Riau Pos edisi 16 November 2014

07 Jan 2020 00:08
181
1 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: