Jika sepanjang hari hujan terlalu rajin turun, maka akan sangat mudah menemukanku duduk di samping talang air, melamun.
Bercakap dengan diriku yang lain
Mencemaskan keadaan yang dzalim
Mengingat seandainya ini seandainya itu, yang mbulet dan bikin mumet.


Pernah aku bercita-cita menjadi kadas atau panu, agar saat cuaca lembab, merdeka saja kutemploki punggungmu yang cadas juga nganumu yang bau-tapi ya ampun, aku masih saja ndableg merindu.
Dan, sebagai penyakit yang ngeyel, aku akan menetap dengan istiqomah di situ.
Melihatmu gelisah sepanjang waktu, krak-kruk berusaha meredam gatal yang gagal.
Mata sayumu harus terus mecicil, sesering mungkin melumuri punggung dengan Salicyl.


Di waktu lain, pernah juga aku kepingin menyaru jadi halte dan bola lampu.
Halah, alasannya sepele: biar sering bertemu.
Hari hujan, bagimu bukankah selalu jadi saat tepat untuk berjalan-jalan?
Saat sebagian besar orang meringkuk di kamar, nahan atis, kau sibuk membaca daftar tempat yang kau tulis, sembari menghafal rute bus non eksekutif.
Beberapa menit sekali kau akan mampir di halte, duduk beberapa lama, membaca lagi daftar tempat itu, lalu kau menangis, di bawah temaram lampu, di bawah aku.
Aku melihat lagi-lagi ada sebagian dirimu yang patah, tak satu pun tempat di daftar itu bernama rumah.

Ah, hujan sudah reda.
Padahal aku masih ingin bercerita tentang obsesiku menjadi virus influenza, yang bisa mencium hidungmu kapan saja, dengan cara yang tak pernah kau duga.


Cuaca, my love, selalu nggrathil pada koreng luka yang belum sepenuhnya prithil.
Maka, setelah ini mohon lebih berhati-hati karena akan ada nyeri yang sudah pro dalam membelah diri, gatal yang agak nggilani.
Artinya kau harus banyak berdoa dan menemukan dia: yang yoi-yoi aja menaburkan Salicyl sampai pagi, sampai Rindumu mengecil.


Ruang Jarum, 2018

#MengarsirKisahKasih