Kebaikan-Kebaikan Takdir yang Tak Terduga
Cerpen
Kutipan Cerpen Kebaikan-Kebaikan Takdir yang Tak Terduga
Karya ariqyraihan
Baca selengkapnya di Penakota.id

Karmin meninggal tertabrak mobil pukul sebelas pagi ketika keluar dari toko buku sembari membaca bab kedua Kitab Pertanyaan karangan Pablo Neruda. Dua orang saksi, wanita tua bersyal putih dan berparka cokelat dan wanita berambut merah berwajah lengkung, menjengit dan berteriak dari seberang jalan. Mendadak, mayat Karmin dikelilingi orang banyak. Beberapa di antaranya memotret, mencatat, dan hal terakhir yang dilakukan adalah memanggil polisi.



Di suatu perpustakaan, Aldebaran sibuk mencari-cari buku sajak kesukaannya. Belakangan lelaki itu menggemari sajak-sajak untuk mendalami gaya menulisnya. Biasanya di rumah dia akan menyeduh secangkir teh hangat sembari duduk di beranda dan membaca buku pinjaman dari perpustakaan. Tapi, hari itu dia tidak menemukan yang dicarinya: Kitab Pertanyaan oleh Pablo Neruda.



Sudah lama ia tak membaca buku puisi ini. Dan hari ini, Aldebaran ingin membacanya lagi.



***



Sajak adalah kekuatan kata-kata. Aldebaran percaya, bahwa melalui kata-kata dunia bisa terasa berbeda. Terkadang pikirannya yang seperti itu membuat dia dikira sinting oleh teman sekelasnya di sekolah dulu. Kurus seperti anjing kelaparan, hidung tebal dan mata tajam, beberapa deskripsi dirinya yang kerap jadi bahan olokan. Begitu terus sampai dia duduk di bangku kuliah.



Datang selalu paling awal, mengambil kursi di pojokan kelas, lalu ketika jeda antarkelas dia akan buru-buru ke luar, mencari tempat kosong. Jika terlambat, sekelompok anak-anak akan datang untuk mengolok dirinya yang enggan membuang waktu untuk berbasa-basi. Sedari sekolah dasar, dia punya masalah dengan kepercayaan dirinya. Benci menjadi sorotan, sementara jika dia menyingkir, masa pasti akan ada sekelompok orang mengganggu. Begitulah dunia berjalan untuk orang sepertinya. Rambutnya yang ikal dan berantakan, selalu menjadi sasaran anak-anak badung itu untuk dijambak atau sekadar ditarik-tarik sedikit.



Hingga suatu hari, salah seorang temannya yang lain di perkuliahan—yang lebih baik dari lainnya—memberinya sajak-sajak Pablo Neruda. Perempuan dengan lesung pipit di pipinya dan warna biru yang bersinar biru di bola matanya. Perempuan itu membisikkan harapan ke dalam hatinya bahwa sajak bisa mengubah segaalanya, termasuk sajak Neruda. Aldebaran terkesima dengan cara penulis bertopi itu merangkai kata-kata menjadi puisi. Seolah-olah puisi itu tidak hanya dituliskan saja, tapi ditiupkan nyawa ke dalamnya.



Perempuan itu percaya Aldebaran mampu menemukan jalan lain di hidupnya dengan menemukan sesuatu yang bisa dia genggam sebagai tujuan. Tidak seperti pengolok bodoh itu yang tidak punya tujuan hidup sehingga hobinya hanya mencaci; jenis yang dibuang oleh Tuhan.



Buku itu menjelma kitab yang menguatkan dirinya. Tiap sirat sajak menjadikan kekuatan itu semakin kuat, juga indah. Itulah yang membuat Aldebaran jatuh cinta dan menyatakan ikrar sehidup sematinya pada sajak. Ayah dan Ibu Aldebaran sudah meninggal ketika Aldebaran menginjak sekolah tinggi. Sejak saat itulah dia merasa mati hingga akhirnya sajak membuatnya hidup.



***



Pagi keesokan harinya, seorang loper koran mengendarai sepeda tuanya dan melemparkan lembaran berisi berita itu dengan sigap dan cepat: mendarat di beranda dengan tepat. Masih berpakaian seperti kala malam sebelum tidur, Aldebaran meregangkan tubuh sejenak dan membungkuk. Memungut koran itu.



Sesaat, usai membaca tajuk utama, Aldebaran terkejut. Seorang wanita muda meninggal tertabrak mobil saat hendak menyeberangi jalan, kata cuplikan berita itu. Sekarang ini, kematian memang suka datang dengan aneh. Dua bulan lalu, dia menemukan sebuah berita dari luar kota bahwa ada seorang petani yang meninggal tercucuk goloknya sendiri. Lalu, bulan lalu, seorang pengemis kota ini ditemukan meninggal akibat peluru yang bersarang di dadanya.



Aldebaran mengacak-acak rambut ikalnya, lalu berjalan ke dapur. Meraih lemari atas dan mengeluarkan cangkir putih. Lalu diambilnya teh dari kotak penyimpanan dekat kompor dan kemudian dicelupkannya ke dalam cangkir bersama beberapa mililiter air hangat. Ada bintik-bintik merah di sekitar hidungnya yang panjang dan tajam itu. Kulitnya putih seperti pias, khas penduduk lokal. Namun dia lebih senang mengecat rambutnya berwarna cokelat kemerahan—biar lain sendiri.



Selepas lulus dari kuliah ekonominya, Aldebaran memilih pekerjaan sebagai seorang staf pengurus keuangan sebuah perusahaan penyedia tiket kereta api yang berbasis daring. Pekerjaan itu memberinya gaji yang lumayan; mampu menghidupi kebutuhan sehari-harinya dan sesekali menabung. Dia memang takperlu pusing soal rumah, karena orangtuanya meninggalkan warisan yang bagus untuknya.



Aldebaran terus membolak-balikkan lembar koran itu. Dua halaman terakhir memuat berita lengkap perihal wanita muda malang itu. Ciri-cirinya ialah berambut gelombang, sebahu, mata sedikit sipit, dan mengenakan syal abu-abu di lehernya. Pakaiannya kemeja dan celana jeans. Diduga pengemudi mobil itu mengantuk dan wanita itu baru saja membaca buku yang sedang dipegangnya waktu itu: halaman yang tertahan menunjuk angka dua belas.



Aldebaran terkejut ketika melihat buku yang terpotret di TKP. Kitab Pertanyaan oleh Pablo Neruda!



Wanita itu meninggal karena membaca sajak Neruda! Aldebaran semakin kuat: sajak adalah kekuatan kata-kata. Sajak mengantarkan wanita itu pada kematiannya.



***



Tiga hari kemudian, hujan turun membasahi seantero kota. Aldebaran dengan jaket cokelat dan payung hitam yang dibukanya, berjalan santai menyelusuri setapak pinggiran jalan Oaxford—sebuah kota di mana sastra adalah segalanya. Sekarang pukul enam petang. Aldebaran menuju toko buku yang terekam di foto TKP.



Dia melewati beberapa kafe yang serentak mengadakan pertunjukan puisi. Aldebaran bisa mendengar Hujan Bulan Juni milik Sapardi, penyair tua dan ringkih dari negeri nunjauh bernama Indonesia. Perempuan yang memberi Aldebaran buku, Inna namanya, adalah seorang perempuan berdarah campuran Indonesia. Setahun yang lalu Inna memberinya buku berbahasa aneh itu, dan setelah diterjemahkan sendiri oleh Inna, Aldebaran bisa merasakan kuatnya puisi itu.



Aldebaran berhenti sebentar, menonton dari luar kaca. Gerakan tangan dan tubuhnya, bereaksi karena kekuatan kata-kata dari sajak yang mendorongnya. Seusai membaca satu puisi, seluruh penonton di dalam bertepuk tangan—pun Aldebaran. Bersamaan dengan angin malam mulai menggelitik tengkuk, Aldebaran sadar bahwa dia harus menuju ke suatu tempat saat ini. . Dia menggenggam erat jemarinya yang dilapisi sarung tangun itu untuk memberi sedikit rasa panas.



Setelah sampai di ujung jalan, di lampu merah, Aldebaran berbelok ke kanan, lalu menyeberang lagi ke kiri untuk sampai ke depan toko buku yang dicarinya. Sesampainya di sana, dia mendorong pintu kaca bertuliskan, “Welcome to the Heaven” dan kemudian menyalami seorang wanita muda yang berdiri di balik kasir. Semat senyum wanita itu bagai nyanyian burung di pagi hari; bagai hujan di sesorean; teduh. Alunan suara Michael Buble terdengar nyaman di telinga Aldebaran.



“Apa kau kenal dengan wanita di dalam berita ini?” Aldebaran menyodorkan sobekan artikel perihal wanita muda yang meninggal di depan toko buku Heaven.



“Ya, dia pelanggan tetap kami.”



Senyum wanita itu sedikit mengganggu konsenstrasi Aldebaran. Seperti Inna, wanita muda kasir ini punya sesuatu yang bisa memikat lelaki. Terasa diri Aldebaran sedikit bergejolak. Lelaki itu memutuskan untuk bertanya lagi. Wajahnya yang terlihat lugu dan tampak seperti gadis permulaan 20an merupakan aset terbaik untuk membuat lelaki seperti dirinya jatuh hati.



Perbedaan usia lebih dari lima tahun bukanlah masalah—sepertinya.



“Apakah saya bisa mendapatkan buku yang sama dengan milik wanita muda malang itu?”



Wanita di balik kasur itu menatap Aldebaran seakan mempertanyakan kebodohan macam apa menanyakan buku yang membawa seorang manusia pada kematian. Kemudian, wanita berambut perak dan tergerai hingga ke punggung itu menggerakkan tetikus dan mengetikkan sesuatu dari keyboard komputer miliknya.



“Oh sayang sekali, bukunya sudah habis. Wanita itu sepertinya adalah pembeli terakhir.”



Selang tiga puluh detik, wanita di balik kasir yang tak diketahui namanya oleh Aldebaran itu berujar, bibir tipis merah terlapis gincu itu semakin mengganggu konsentrasi sang lelaki. Dari kilatan mata hijau zamrudnya, wanita itu sepertinya merekam jelas kejadian yang terjadi di dalam artikel itu. Seakan seperti sebuah video musik yang terus diputar orang-orang; kian sering kian jelas.



“Apakah polisi menyimpan buku itu?”



“Mungkin … kan, bukti dari TKP.”



“Tidak bisakah toko buku Anda mencetak lagi beberapa, untuk saya? Saya sudah lama mencari buku ini, di perpustakaan bahkan tak saya temukan keberadaannya empat hari ini.”



Wanita itu menggeleng. “Maaf ….”



“Bagaimana bisa aku yakin jika Anda tak berbohong?”



Wanita itu berubah kecut dan menatap Aldebaran seakan dia adalah sekawanan Minion. “Tidak bisa. Jika ingin mencari buku sajak, kami punya beberapa rekomen—“



“Tidak,” potong Aldebaran. “Aku hanya ingin Neruda. Aku hanya ingin kekuatan kata-katanya.”



Lalu, wanita itu pun mengumpat di dalam hatinya.



***



Sudah dua jam Aldebaran berusaha menanyakan perihal buku itu ke kantor polisi, tapi jawabannya sama: tak ada akses untuknya masuk ke bagian barang bukti. Alasannya takcukup kuat. Aldebaran sudah coba menanyakannya ke salah satu kenalan SMA dulu yang bekerja sebagai polisi. Laki-laki dengan kumis tebal dan perut sedikit tambun itu bilang semua bukti dari TKP disimpan di sebuah ruang khusus dan hanya orang tertentu yang bisa mengaksesnya.



“Bisakah kau mengambilkannya untukku?”



“Andai saja aku bisa, Al.”



“Kau polisi. Pakai saja alasan darurat atau apalah.”



“Aku tidak bisa kehilangan pekerjaanku untuk alasan bodoh seperti itu. Lagipula, kau bisa membeli buku itu lagi, kan? Jika di kota ini tidak ada, cari di kota lain. Lagipula aku tidak begitu yakin ada di dalam karena beberapa hari ini aku sedikit malas untuk memeriksa barang-barang yang ada di sana.”



Kuping Aldebaran terasa panas mendengar itu. Dia begitu terobsesi dengan buku itu. Sajak Neruda. Sajak yang katanya bisa membuatnya semakin hidup. Sejauh ini dia sudah mencoba untuk membaca sajak-sajak yang lain, tapi tetap tidak berarti apa-apa untuknya. Aldebaran meninggalkan kenalannya itu dengan wajah menggeram.



Nama temannya itu Singh. Dia keturunan India walaupun tidak murni sekali. Cara membedakan petugas yang bekerja dengan benar dan yang hanya cari untung saja, mudah: lihat saja bentuk perutnya. Singh mendedikasikan dirinya untuk dua potong burger setiap akhir pekan tanpa memiliki keinginan untuk berolahraga di hari kerja. Jika jalanan macet dia akan pura-pura mengetik di depan komputernya dan ketika ada pemeriksaan pelanggaran, dia akan duluan mengajukan diri karena malamnya pasti dia bisa membeli banyak kaleng bir hasil uang damai itu.


Aldebaran yakin pembaca pasti bertanya-tanya, cerita ini belatar di mana? Kau pasti penasaran mengapa ada banyak jenis keturunan di sini? Aldebaran bilang kau takperlu bingung, karena cerita ini fiksi. Yang kaubutuhkan hanya gambaran lokasi saja. Kau enggak akan peduli cerita ini diletakkan di Amerika, Prancis, atau bahkan Ghana. Jadi, kauikuti saja.



Bukan Aldebaran namanya jika patah arang begitu saja. Ide gila terselip di benaknya: menyelinap ke kantor polisi dan merampok buku itu! Tentu saja hal itu sungguh bodoh dan menjadi bodoh adalah sesuatu yang dipilih oleh Aldebaran saat ini. Yang dipikirannya adalah sajak Neruda. Dan kebetulan buku itu ada di kantor polisi.



Salah satu penyair kesukaannya yang acap muncul di koran Minggu pernah suatu kali bilang dalam pertemuan mereka (ternyata keduanya penggemar klub bola lokal dan berkenalan saat klub itu berhasil masuk final pertama kalinya) bahwa hidup dia berubah setelah baca “Kitab Pertanyaan” itu. Aldebaran yang hidupnya berjalan tanpa arah—kini sedang berusaha mengarahkannya dengan menulis puisi—tahu bahwa dia bisa berguna suatu saat nanti.



Dia sudah dua kali membaca buku itu dulu. Itulah mengapa dia mulai menggemari Pablo Neruda dan mulai mengoleksi buku-bukunya. Aldebaran yang malang, buku Kitab Pertanyaan yang dia baca di perpustakaan dulu itu sudah musnah akibat kebakaran lima tahun lalu.



Kini, saat dia ingin membaca lagi, buku itu sudah benar-benar musnah.



***



Malam semakin senyap. Arloji cokelat tua Aldebaran menunjukkan pukul dua belas malam. Dengan sigap dia berganti pakaian dengan pakaian yang ketat, agar tubuhnya leluasa dalam menyelinap dan mengendap nanti. Dia sengaja memilih berwarna gelap agar bisa berbaur dengan pekat malam.



Aldebaran mengendarai sepeda balap yang dibelinya lima tahun lalu saat tahun ketiga kuliah hasil bayaran dari kerjanya paruh waktunya di restoran cepat saji. Dia mengayuh sepeda itu sekuat tenaga. Dalam senyap. Sesampainya di seberang jalan Oaxford, Aldebaran menyandarkan sepeda itu ke dinding batu bata toko musik, menggembok ban sepeda, lalu berlari kecil menuju barat dari posisinya sekarang.



Aldebaran masuk ke dalam pos polisi yang sedang sepi. Tuhan memberkatinya! Karena di pusat kota sedang ada konser besar dari musisi terkenal, maka personil dari satu-satunya kantor polisi di kota ini banyak yang ditempatkan di sana. Karena konser di kota sebelah berakhir rusuh dan dua orang menjemput kematiannya sendiri, para penjaga keamanan itu enggan melakukan kesalahana yang sama.



Pintu hanya dijaga oleh seorang polisi yang tampak mengantuk berat, dengan beberapa bungkus burger tersaji di atas meja. Aldebaran pura-pura masuk dan mengaku sedang berulang tahun lalu membagikan bir kepada para polisi yang tersisa di dalam kantor. Dan hebatnya, semuanya sepakat berada di layar depan. Tentu saja di malam hari duduk di meja merenungkan sesuatu bukanlah sesuatu yang menyenangkan.



Polisi menerima bir itu dengan senang. Malang nian nasib mereka, bir itu sudah dicampur dengan obat tidur. Kekuatan zat kimia yang akan menjebak kesadaran mereka dalam waktu beberapa jam. Itu cukup bagi Aldebaran menggeledah ruang penyimpanan barang bukti. Sesaat setelah polisi-polisi malas tadi mulai menguap dan kemudian terjatuh ke atas meja tidak sadarkan diri, dia langsung beraksi dengan mencuri kunci demi kunci dari polisi tersebut ataupun yang masih menggantung di tempat penyimpanan kunci.



Tentu saja dia belum pernah berkunjung ke tempat ini. Matanya berkilat semangat lalu mulai menyusuri tiap sudut gedung dan lantai. Aldebaran tidak menemukan apa pun di lantai dua. Sebuah kelucuan ketika Aldebaran mulai mencari dari lantai paling atas. Namanya sudah terlalu menggebu dan juga gugup, otak bisa saja bergerak tak keruan.



Lantai dua ternyata berisi ruang kerja para detektif dan komisaris. Aldebaran bisa melihat itu tertulis di kaca pintunya. Setelah mengutuk kebodohannya berulang kali dalam bisik, dia bergegas ke bawah dan akhirnya menemukan ruang bukti penyelidikan berada di belakang gedung. Dia membuka kunci ruangan itu dan mulai menyusuri rak satu-satu.



“Pasti ada di sini,” ujarnya kepada diri sendiri.



Pistol. Pistol. Gergaji. Palu. Semuanya karatan. Ponsel. Ponsel. Dildo. Eugh, Aldebaran merasa jijik melihat benda itu ada di sini? Kasus apa yang ditangani polisi sehingga harus menangkap barang itu? Apa pembunuhan yang diawali pemerkosaan? Aldebaran geli sendiri dan kemudian mencari lagi.



Di rak ujung dia menemukan beberapa benda yang mirip buku. Setelah didekati rupanya hanya beberapa majalah dewasa yang sepertinya disembunyikan petugas di ruangan ini untuk dinikmati di waktu luang. Ketika Aldebaran menengok ke kiri, bola matanya dengan cergas menangkap sebuah benda mirip buku.



“Sialan,” katanya, “cuman buku tulis.”



Aldebaran sangat kecewa pencariannya tidak membuahkan hasil. Dia tidak ingin kehilangan buku itu; tidak lagi setelah dia sudah bertekad untuk mencintai sajak-sajak. Dan sajak Neruda, terutama di buku Kitab Pertanyaan, yang membuatnya jatuh cinta begitu dalam. Dan ketika cinta itu pergi tanpa mengucapkan apa-apa, hatinya begitu patah dan remuk. Lelaki itu akhirnya memutuskan pulang dan mengumpat dalam hati. Aldebaran berjalan dengan gontai menuju pintu depan.



“Hei, apa yang kaulakukan di sini?” tiba-tiba Inna bertanya padanya. Matanya cokelat menangkap aura-aura kelam yang mendadak menaungi Aldebaran.



“Kamu sendiri ngapain di kantor polisi?”



“Ah,” kata Inna. “Aku hendak ke suatu tempat dan kebetulan lewat sini. Terus merasa aneh karena kok kantor polisi sepi banget. Biasanya setiap aku pulang ada beberapa petugas yang akan menyapa di jam segini.”



“Jam berapa sekarang?”



“Tujuh malam.”



“Sial.”



Inna mulai mencurigai. Dia mengucir rambut merahnya dan kemudian menyapu poni ke samping. Tubuhnya yang kurus itu terbungkus sweter hitam dan jeans biru ketika Aldebaran melihatnya tadi dari luar kafe. Sekarang, Inna melapisinya lagi dengan parka biru gelap. Malam yang dingin takcukup untuk membuat gadis itu berjalan di luar hanya menggunakan sweter.



“Kau tidak melakukan sesuatu yang aneh, kan? Kau tampak gugup dan berkeringat begitu.”



Aldebaran tidak bicara apa-apa. Dia hanya sedikit kelimpungan karena tidak menduga Inna akan lewat tempat ini. Kepalanya berputar kencang mencari alasan. Tetapi dia tidak menemukannya. Dia jadi gila. Ingin segera pergi dari tempat ini. Inna bukan siapa-siapa. Tetapi ketahuan seperti ini membuatnya malu dan gugup.



“Ah .. eh, tidak, kok,” kata Aldebaran sedikit terbata, lidahnya seperti dicucuk pisau. “Aku tadi lewat sini juga dan mau numpang kamar mandi. Dan … karena tidak ada orang, nggak jadi, deh.”



“Masa, sih?”



Inna tidak pernah bisa menahan rasa penasarannya atas sesuatu yang telah mampu menarik perhatiannya. Dia termasuk gadis pelajar yang sepertinya berusaha menggunakan ilmu kepenasaranan dan analisa di luar kegiatan kampus. Melihat gelagat Aldebaran yang aneh, Inna memutuskan untuk masuk ke dalam kantor polisi tersebut.



Seluruh perhatian Oaxford terpusat pada konser itu. Karena stasiun televisi lokal menyiarkan secara langsung, orang-orang memilih pulang cepat untuk menonton. Kota menjadi sedikit senyap, terutama di blok ini yang merupakan deretan pertokoan. Jadi, apa pun yang terjadi dengan mereka saat itu, kecil kemungkinan orang lain untuk menyadarinya.



Dan benar saja. Teriakan Inna terdengar cukup kencang hingga keluar.



“Aku akan telepon polisi.”



“Kau sedang ada di kantor polisi, Inna.”



“Kalau begitu siapa pun,” kata Inna berusaha bernapas dengan baik. “Aku tidak percaya kamu seorang pembun—“



“Aku tidak membunuh mereka, Inna!”



Aldebaran terpaksa meninggikan suaranya. Inna terdiam. Lelaki itu merapatkan jaket kulit berwarna cokelatnya dan mendekat kepada Inna. Gadis itu waswas karena mengira dia akan jadi korban berikutnya.



“Aku membuat mereka tidur dengan sebuah obat. Setelah beberapa jam mereka tidak akan ingat apa-apa.”



Inna masih belum percaya. Walaupun dia sudah menurunkan pertahanan dirinya.



“Lalu apa?”



“Kamu tahu kecelakaan yang menimpa wanita pembaca buku itu.”



Tiba-tiba gurat wajah Inna berubah. Aldebaran sedikit kebingungan. Namun dia takterlalu peduli.



“Aku mencari buku yang dipegang wanita itu. Buku yang sudah tidak ada lagi di perpustakaan dan toko buku Oaxford. Dan aku tidak yakin di kota lain ada karena bahkan persedian di toko daring pun habis … aku butuh buku itu.”



“Sampai segitunyakah?”



“Kamu tahu bagaimana pendapatku tentang sajak dan hubungannya terhadap hidupku. Saat ini aku sangat butuh buku itu … dan aku nekat menyusup ke sini untuk mencurinya. Tetapi, buku itu tidak ada di ruang penyimpanan ….”



Inna terdiam sesaat. Pun dengan Aldebaran setelah mengatakan itu. Gadis itu memasukkan kedua jemarinya ke dalam saku, kemudian berkata pelan pada Aldebaran, “Aku ingin memberitahumu sesuatu. Bisakah kita bicara di tempat lain?”



Aldebaran mengangguk dan mereka secepat mungkin menghilang dari tempat itu sebelum masalah yang lebih besar datang.



***



“Apa alasanmu hanya ingin tahu di mana buku itu?”



Inna menanyai Aldebaran yang duduk menikmati teh hangatnya di sebuah kedai teh di jantung kota. Dua teh manis hangat untuk malam yang menusuk.



“Ada sesuatu hal lainnya. Aku ingin tahu bagaimana perempuan itu bisa meninggal ketika baca buku. Maksudku, iya, dia tidak lihat jalan, tetapi apa yang membuat buku itu benar-benar mengalihkan pandangannya? Aku pernah membacanya beberapa kali dan itu sungguh luar biasa buat kehidupanku. Tetapi aku tidak pernah melihat dampak seberdarah itu.”



Inna menarik napasnya dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Dia memperhatikan Aldebaran saksama, berusaha memastikan untuk membicarakannya atau tidak, kemudian akhirnya barulah dia benar-benar yakin untuk menceritakannya.



“Wanita itu namanya Karmin.”



“Ya, aku tahu,” kata Aldebaran.



“Kau tidak tahu, Al. Karmin itu sepupuku.”



Aldebaran terbengong. Dia seperti baru saja mendengar omong kosong tentang alien menjajah bumi atau mendengar Naruto—salah satu komik yang disukainya—datang ke Oaxford untuk mencari dirinya.



“Masa, sih? Kamu tidak tampak bersedih. Ini baru tiga hari.”



Inna mengalihkan pandangannya ke luar kedai. Mereka duduk di meja yang bersebelahan dengan kaca besar yang bertuliskan nama kedai itu. Ada getir di suaranya. Getar yang dihasilkan oleh orang-orang yang berusaha untuk berpura-pura bahagia di atas kehilangannya.



“Aku tidak perlu bersedih hati selama itu. Karena … akulah yang membuatnya meninggal, Al. Aku!”



Tiba-tiba air mata jatuh mengaliri pipi Inna. Menyusuri kulit kuning langsat itu dan menggenang di dasar kehilangan.



“Apa maksudmu?” tanya Aldebaran menyodorkan tisu yang ada di atas meja kepada Inna.



“Baiklah. Akan kuceritakan padamu.”



Inna menyapu bulir air di matanya dengan tisu itu. Aldebaran semakin tampak bingung dengan perkataan Inna. Wanita yang meninggal itu saudara perempuannya? Kebetulan macam apa ini? Sementara itu Inna menarik napasnya lagi dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Dia pun mulai bercerita. Kira-kira seperti ini kisahnya:



Wanita itu meminjam buku kitab pertanyaan Neruda dari perpustakaan setelah mendapat rekomendasi dari sepupunya—Inna—yang seorang penyair, perihal buku yang tepat untuk belajar sajak-sajak dari luar negeri. Katanya Neruda ialah sosok yang tepat. Setelah membaca selama tiga hari, diselingi jam perkuliahannya, ditingkahi oleh pekerjaan paruh waktunya sebagai pelayan toko, wanita itu berhasil menyelesaikan hingga tiga perempat dari keseluruhan buku.



Ketika pada esoknya dia hendak pergi ke sebuah restoran cepat saji, sepuluh menit dari rumahnya, dia sadar satu hal: buku sajak itu tak ada di sana. Diacaknya kamar sewanya, diputarbalikkannya kasur, kursi, dan meja—yang ini sudah hampir gila, dan tetap tak ditemukannya. Dia meraih handuk kecil yang terjatuh ke atas lantai dan merapikan peluh di wajah dan tengkuknya. Berusaha meredam kepanikannya.



Dia harus mengganti buku itu. Buku itu seperti menyihir dirinya.



Kesialan yang paling membuatnya panik, seingatnya, dua hari lagi dia harus mengembalikan buku ke perpustakaan. Akan jadi masalah besar bila dia kehilangan buku itu dan tidak bisa menemukan penggantinya. Untuk itu dia mengunjungi toko buku dan ajaibnya, masih ada: tinggal satu. Dalam pikirannya bukan hanya mengganti buku itu, namun juga menghabiskan sajak-sajak yang tinggal seperempat buku lagi. Baru sampai sajak ketiga, bunyi derit rem begitu lantang; sebelum wanita itu menyadarinya; tatapannya gelap, sajak itu meluntur dari bola matanya, kemudian detak jantung dan desah napasnya berhenti.



Inna tahu itu karena dia berada di seberang jalan, menunggu Karmin. Dan ketika hendak berteriak mengingatkan, semua sudah terlambat. Tidak ada yang mampu mendahului takdir.

***



Aldebaran kembali terbengong. Inna masih sesenggukan, berusaha meredam kesedihannya itu. Mungkin bilasaja dia tidak memberitahukan buku itu, sepupunya tidak akan mati. Dan peristiwa itu mulai menghantui Inna walaupun dia berusaha menepisnya dengan menikmati sajak-sajak.



“Sekarang di mana buku itu?”



Inna mengambil parkanya yang digantung di badan kursi kayu kedai dan kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam saku di parkanya—di bagian dalam. Kitab Pertanyaan. Pablo Neruda. Aldebaran terkejut.



“Jadi kau memegannya selama ini?”



“Setidaknya, biar tidak ada korban lain. Buku ini sangat kuat efeknya. Aku tidak ingin ada orang lain lagi yang mati ketika membacanya. Kecuali aku—pembunuh Karmin.”



Aldebaran kembali cerah. Tidak selemas seperti sebelumnya.



“Bodoh sekali percaya pada kutukan. Kau harus memberikan buku itu pada seseorang yang lain. Biarkan aku memilikinya.”



“Tidak ….”



“Inna. Kalau kamu memegang buku itu, Karmin akan selalu menghantuimu. Sebaiknya kamu kasih ke aku saja. Aku bukan pacarmu. Jadi mati pun tidak masalah.”



“Tetapi ….”



“Ayolah ….”



Setelah menimbangnya, Inna akhirnya menyerahkan buku itu pada Aldebaran. Bukan kepalang main senangnya lelaki itu. Dia merayakan di dalam hati-hati. Kekuatan kata-kata yang dicarinya. Aldebaran memperhatikan sampul buku yang kotak-kotak dan memiliki beberapa warna dan rupa lainnya: burung, jeruk, dan bulan. Penantiannya berhasil dituntaskan.



Aldebaran pun menemani Inna pulang ke rumahnya sembari menenteng sepedanya yang tadi ditinggalkan di dinding batu bata toko musik dan kemudian mengayuhnya pulang ke rumah. Takdir memang berpihak padanya—sepertinya. Siapa yang tahu rencan takdir, bukan?



***



Inna bangun pagi dengan kepala yang berat. Setelah pulang semalam diantarkan oleh Aldebaran, dia mengonsumsi beberapa pil tidur agar cepat menghapus rasa lelahnya tanpa harus menunggu kantuk datang. Sarapan kesukaannya adalah roti bakar.



Inna mengambil koran pagi di depan pintu—yang dilemparkan oleh loper bersepeda—dan membacanya di dalam. Berita-berita politik tidak menarik minatnya. Dia benci berita olahraga karena mantan pacarnya seorang pesebakbola dan berselingkuh darinya tiga tahun lalu. Inna sudah hendak mengigit roti bakarnya ketika sebuah berita di tajuk utama (Inna selalu membaca dari belakang dan koran tadi kebetulan posisinya tertelungkup tidak memperlihatkan tajuk utama) dan menemukan judul yang mirip peristiwa Karmin yang lampau.



Dan nama korbannya adalah … Aldebaran!



Inna terkejut setengah mati. Ini gila sekali. Dia melihat foto inset dan ternyata itu benar, Aldebaran. Gadis itu tidak mampu berkata apa-apa. Disebutkan alasan kematiannya adalah karena ditabrak oleh sepasang suami-istri yang sedang buru-buru karena sang istri hendak melahirkan. Mereka tidak melihat ada Aldebaran sedang mengayuh sepeda. Peristiwa nahas itu terjadi.



Inna tidak mampu berkata apa-apa lagi.



Tidak ada yang mampu mengetahui apa keinginan takdir, bukan?






Baru sampai sajak ketiga, bunyi derit rem begitu lantang; sebelum Aldebaran menyadarinya; tatapannya gelap, sajak itu meluntur dari bola matanya, kemudian detak jantung dan desah napasnya berhenti. Mungkin membaca buku sambil mengendarai sepeda memang sebuah keputusan bodoh.



13 Dec 2017 00:54
698
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: