Lisa
Cerpen
Kutipan Cerpen Lisa
Karya ariqyraihan
Baca selengkapnya di Penakota.id

Mengapa selalu kepergian yang bisa menolong seseorang untuk berteriak seperti tertusuk-tusuk tombak?



Jauh-jauh hari Lisa sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia takkan menangis. Dia sudah berusia lima belas tahun dan dia merasa takperlu lagi basah berderai. Dia bisa tetap tersenyum tanpa dipaksa sembari mengusap gerimis di mata. Ibunya selalu berkata jika sekalipun Lisa diganggu, dia harus menjadi wanita yang tangguh. Serupa seseorang yang kini berdiri di hadapannya. Gadis lugu bermata hitam pekat itu mengangguk, mengusap matanya untuk terakhir kali, dan memeluk ibunya.



Dalam-dalam.



Lisa begitu erat memeluk ibunya. Dia berjanji takkan menangis lagi.



***



Tidak ada yang akan baik-baik saja selama hujan terus menderas. Entah mengapa, Lisa tumbuh menjadi wanita yang selalu menunggui hujan. Teman-temannya mencap dia sebagai Pluviophile. Bukan tanpa alasan dia mencintai hujan.



Dulu, sewaktu dia masih remaja, dia kerap dikucilkan di sekolah karena berasal dari keluarga miskin, sementara dia dibiayai oleh dana yayasan orang kaya setempat. Setiap kali amarah mengunjungi dadanya, hujan selalu turun.



Sekolah Lisa memang cukup terkenal di kota, banyak anak-anak kaya bersekolah di sana. Untuk orang-orang seperti Lisa, seluruhnya merupakan murid beasiswa yang berbeda-beda. Apalagi, Lisa pendiam dan suka memandangi hujan dari bangku taman sekolah. Lisa suka dikatai “Si Miskin” oleh teman-teman kelasnya.



Lisa, si gadis berambut emas dan pemilik mata cokelat seperti pohon, berusaha tegar. Enam tahun hidup di tempat itu sama saja seperti mencicipi neraka! Tapi, teman-temannya melakukan itu karena iri dengan apa yang dimiliki oleh wajah dan tubuh Lisa.

Sempurna katanya.



Tapi, tetap saja, Lisa tumbuh menjadi gadis yang selalu menunggui hujan. Menurut Lisa, hujan turun untuk menemani dirinya. Jika dulu untuk menyamarkan hujan di matanya, kini sebagai teman untuk diajak bicara.



Terkadang dia suka berbicara sendiri pada hujan dan mendengar hujan berkata balik padanya. Hujan selalu memberi jawaban, kata Lisa. Kadang dia bercerita tentang kekesalannya dengan budaya pembedaan tingkat hidup di sekolah, kesedihannya karena ditinggal ibu bekerja, ataupun perihal cintanya.

Lisa benci dengan sekolahnya. Tetapi, dia juga menyukainya. Pelajaran sosial selalu menarik minat untuknya. Di kamarnya yang berukuran dua kali dua meter itu, dia memenuhinya dengan kamar, meja belajar, dan lemari yang cukup tinggi berisi buku-buku Nabokov, Murakami, Neruda, dan lainnya. Setiap malam dia akan membaca.



Itulah yang acap dilakukannya lima tahun belakangan ini setelah berjanji takkan menangis lagi. Sekarang Lisa sudah tidak bersekolah di tempat itu lagi. Lisa kini bekerja sebagai penulis lepas sebuah majalah. Terkadang menjadi editor untuk beberapa tulisan baru di sana. Berkantor di pusat kota. Lisa suka menggunakan bus untuk pulang ke rumah.



Lisa menggigit bagian bawah bibir tipisnya. Dia selalu melakukannya ketika dadanya bergemuruh dan taktenang. Lisa kini sedang duduk di bahu kasurnya, lalu mendongak ke jendela ketika hujan berhenti. Dia menarik beberapa helai samping rambutnya ke balik telinga. Lisa pindah ke kursi di samping kasur itu, dan menopang sikunya ke atas meja, menahan lengkung wajah dengan telapak tangannya.



Lisa menunggu jalanan di luar mengering. Menunggu ibunya pulang ke rumah. Dia ingin cerita jika dia tak kuat lagi untuk tidak menahan derai air mata. Lisa menunggu sepagian, sesiangan, sesorean, dan semalaman, tapi tetap saja tak ada yang datang ke rumah. Senin bertemu Senin lagi.



Jalanan itu dilalui banyak orang dan kendaraan, tapi tak satu pun yang mewujud sang ibu. Biasanya dulu Lisa pasti dengan jelas melihat ibunya mendorong masuk pagar, masuk ke celah yang terbuka, dan menutupnya dengan pelan. Lisa seperti memandang memorinya sendiri.



Tapi, semua itu hanyalah sebuah kekosongan. Ibu takkan pulang, walaupun aku terus menunggunya, batin Lisa. Dia meraih sweter di bahu kasur, mengenakannya, lalu memeluk kedua lututnya sendiri.



Ibu ... aku rindu ...



Lisa terpaksa membatalkan janjinya pada sang ibu.



Lisa menangis dalam diamnya. Dalam-dalam.



***



Beberapa hari lalu, Lisa meminta izin pada kantornya untuk tidak masuk kerja. Lisa harus bersegera ke rumah sakit, yang berjarak setengah jam dari rumahnya. Lisa memanggil taksi di pinggir jalan dan memaksa supir yang berkulit legam itu untuk menginjak pedal gasnya dalam-dalam. Sesampainya di sana, Lisa menuju lantai 3; kamar 313.




Lisa dapat panggilan pagi itu dari neneknya untuk segera datang ke rumah sakit. Namun, Lisa merasa sangat tidak enak hatinya. Neneknya berkata dengan suara parau, serupa orang terisak. Lisa tidak merasa baik-baik saja, neneknya tidak memberitahunya apa-apa, tapi dadanya begitu sesak.



Lisa tahu artinya .... Maka, Lisa pun langsung bergegas. Hujan turun sepagian ini. Membelah sesuatu yang nyata menjadi serupa seserpihan kaca yang menusuk dada bertubi-tubi. Dengan tergesa-gesa dia menaiki tangga karena antrean lift yang panjang dan dia seakan sedang diburu oleh pembunuh bayaran. Dia menyusuri koridor, tidak peduli suster mengomel karena dilarang berlari, dan mencari nomor kamar yang diberitahu neneknya tadi.



Pintu kamar itu terbuka. Lisa berlari meraih pintu dan pemandangan yang ada membuat dia serasa ditusuk sebilah pisau. Bukan hanya sang ibu yang setahun ini dirawat karena mengidap kanker stadium akhir, tapi karena kali ini dia tak melihat wajah sayu ibunya yang selalu tersenyum ketika dia datang. Hanya tampak wajah sang ibu yang sedikit memucat dan matanya terpejam. Lisa bekerja keras selama ini untuk menanggung biaya pengobatan agar bisa melihat ibunya sembuh.



Semua yang dimiliki sudah habis dijual, hanya bersisa rumah yang ditinggali saja. Sering Lisa berpikir jika Tuhan mempermainkan keluarganya, namun belakangan seorang sahabatnya sering menasihati perihal takdir dan waktu. Perlahan dia mulai mengerti. Membicarakan keduanya bukan hak manusia. Tapi memahami cara mereka bergerak, adalah cara manusia untuk memahami kehidupan.



Nenek Lisa meremas bahu gadis itu. Neneknya dan Lisa sama-sama paham bahwa detik ini, momen ini, adalah titik terendah dalam kehidupan. Mereka bisa saja rela akan membayar dengan apa pun untuk menyogok Malaikat Kematian. Tapi, mereka tidak bisa mengubah ketetapan yang hakiki dan pasti.



Sang ibu sudah mengembuskan napas terakhirnya. Dalam pelukan yang erat-erat nan lembut, Lisa berteriak dalam hatinya. Dia berjanji takkan menangis lagi. Tapi tetap saja, air mata itu mengalir dari pelupuk matanya, meriak di pipi, dan menggenang di jurang kehilangan.



Lisa hanya takingin ibunya pergi.



***



Sudah hampir dua bulan berlalu, Lisa masih acap terduduk diam di atas kasurnya. Sesekali mendongak ke luar jendela. Lisa memutuskan keluar dari pekerjaannya. Untungnya, atasan Lisa mau mengerti, bahwa Lisa takbisa menulis lagi setelah kepergian ibunya.



Lisa biasa melakukan semua sendiri. Jika lapar dia sudah terbiasa memasak sendiri, berbelanja ke pasar sendiri, sesekali sang nenek membawakannya makanan dan memasakkan untuknya kalau menginap. Dan bila neneknya sudah memasak, Lisa akan duduk di bingkai jendela kamarnya berbicara pada hujan—ibunya.



Tetapi, semua itu menguap menjadi angin yang pergi entah ke mana. Tatapannya jadi sering kosong.



Dia kehilangan alasan untuk menulis. Lisa yang dulu acap memandangi foto-foto di ruang tamu, menatapnya dari atas sofa dengan buku catatan dan sebuah pena dalam rengkuhannya. Kemudian dia akan menuliskan kata demi kata. Lisa suka melakukannya, menulis sesuatu dengan menatap foto itu, atau bercengkerama dengan ibunya sembari mengkritik program acara masakan yang dicurigai mereka hanyalah sebuah konspirasi media.



Namun, tidak ada yang baik-baik saja selama hujan terus menderas. Kini foto-foto itu sudah jatuh ke lantai, pecah dan berserakan di mana-mana. Foto itu sudah terobek-robek. Semua barang di ruang tengah sudah porak poranda dari dua bulan lalu, dan Lisa tak ada niat untuk membereskannya. Dia hanya terus termenung. Begitu dari hari ke hari.



Jemari lembut Lisa yang dulu selalu lihai meliuk di atas lembaran kertas, kini mati kaku. Dingin. Dulu Lisa yang selalu menebar senyum, kini senyum itu memudar. Tersapu dan terlupakan. Jika sudah termenung lama, dia akan memekik sekencangnya, meratapi kehilangannya. Ibu adalah satu-satunya bagi Lisa. Ayahnya sudah meninggal ketika dia masih berusia lima tahun, dan tak ada kerabat dekat dirinya selain sang nenek yang sudah menua. Dua bulan ini dia hidup mengandalkan kiriman neneknya saja. Ya, hanya neneknya yang kini dia punya sekarang.



***



Neneknya Lisa selalu menanyakan apakah dirinya boleh tinggal bersama, dengan begitu dia dengan mudah mengawasi dan juga menemani. Lisa selalu menolak karena dia hanya ingin sendiri. Lisa takut sendiri tapi dia hanya ingin tenggelam dalam kesendiriannya.



***



Di sudut jalan yang becek karena hujan, terpancang sebuah plang bernama “Psikiater Handal”. Ke sanalah sang nenek membawa Lisa. Wanita tua berusia hampir tiga perempat abad itu takbisa melihat cucunya menderita seperti itu.



Pertemuan itu berlangsung selama berjam-jam. Lisa kerap menjawab tidak pasti. Sang psikiater menanyainya perihal kapan terakhir dia bermimpi tentang ibunya, tentang kapan terakhir kali bahagia, kapan terakhir mengingat ibunya, dan semua pertanyaan kapan.



Tidak tahu, jawab Lisa. Semua pertanyaan selalu dijawab seperti itu sehingga psikiater harus menanyainya berkali-kali, dan selama itu pula jembatan bernama buntu selalu hadir. Semakin ditanyai terus, semakin dia meninggikan nada suaranya. Marah terus ditanyai tentang ibunya. Lisa mengikat rambut keemasannya—yang tadi tergerai—ke belakang, dan beranjak keluar dari ruang periksa.



Aku tidak gila, batin Lisa. Aku hanya ingin Ibu kembali.



***



Sang nenek takberdaya ketika cucu kesayangannya itu harus dirawat di bangsal rumah sakit jiwa. Dua bulan setelah Lisa memutuskan ikut terapi, dia harus menjalani hari-harinya di kamar berukuran 2x3 meter itu. Sang psikiater memvonis bahwa jiwa Lisa sudah teranggas oleh ketidakrelaannya untuk melupakan kenangan tentang kepergian ibunya.




***



Setiap hari, selama setahun, Lisa tinggal di sana. Bangun pagi setelah mendengar cericit burung, gemercik air, gemersak dedaunan kering, atau apa pun karena seakan indera pendengarannya jadi jauh lebih sensitif. Tubuh Lisa semakin menirus, pipinya sudah menipis tampak ada ceruk, dan seakan kehidupan menghilang di sana.



Kegelapan telah habis menelan seluruh jiwanya. Tatapannya kosong tanpa harapan. Bagai hewan yang putus asa di tengah kekeringan, dan berdoa pada Tuhan agar dia pergi saja dan tak kembali lagi.



Selama setahun itu Lisa terus menderita dalam dirinya. Kebiasaannya memekik secara tiba-tiba setelah termenung, masih acap dilakukan walaupun tidak separah sebelumnya. Lisa selalu menangis tiap malam.



***



Tiga bulan berlalu, Lisa diizinkan pulang. Sang nenek datang menjemputnya. Psikiater menilai, semakin mengunci Lisa di sini, semakin teranggas jiwanya. Sebuah kontradiksi dari sebuah penyembuhan jiwa. Maka, dia diizinkan pulang, setelah dia mulai bisa menemukan potongan-potongan hidup normalnya. Begitu kata psikiater itu.



Dalam hatinya sang nenek berkata bahwa apakah cucunya ini siap menghadapi kenyataan bahwa ada banyak kenangan lampau yang menghantui di rumah itu.



***



Sang nenek pulang membawa sekotak donat kesukaan Lisa. Untuk seorang wanita tua renta, sang nenek masih ingat cara membersihkan rumah dan menata rapi. Dia pun biasa berpergian ke kota sendirian. Apalagi sejak Lisa tidak pernah mau keluar dan bicara hanya sekenanya.



Dia memanggil Lisa dari balik daun pintunya dan menyiapkan donat itu di atas meja. Tak ada suara balasan.



Neneknya memanggil lagi, tak ada balasan juga.



Lalu dia bergegas ke kamar Lisa, mengetuk pintu tiga kali. Masih tak ada sahutan. Lalu diulangnya kembali dan hasilnya sama saja. Sang nenek pun mendorong kenop pintu, dan rupanya tidak dikunci. Padahal biasanya Lisa mengunci dari dalam. Namun ketika pintu itu terbuka sepenuhnya, sang nenek pun terkejut.



Lisa menghilang! Jelas-jelas tak ada tanda-tanda dia pergi sementara. Wanita tua itu melihat pintu lemari yang terbuka dan beberapa pakaian Lisa tidak ada di dalamnya



Lacinya kosong dan tidak ada surat. Neneknya langsung berasumsi jika Lisa pergi jauh. Kemudian dia panik dan menghubungi polisi. Hingga kini cerita ini dituliskan, Lisa masih tidak diketahui keberadaannya. Entah di atas rerumputan hijau di lereng pinggir sungai atau di batang-batang pohon, atau di mana pun.



Jika sesiapa melihat seseorang yang serupa ciri Lisa, kabarkan secepatnya. Karena Lisa masih punya kesempatan untuk merestorasi kebahagiaannya.




13 Dec 2017 00:58
517
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: