Badrun: Orang Miskin Terakhir di Kota
Cerpen
Kutipan Cerpen Badrun: Orang Miskin Terakhir di Kota
Karya dewarahwana
Baca selengkapnya di Penakota.id
Apakah Tuhan suka bermain dadu? Atau jangan-jangan Tuhan menentukan nasib manusia dengan dadu? Begitulah, pikir Badrun. Ia dan adiknya adalah orang miskin terakhir yang ada di kota ini. Di antara ratusan orang yang hidup, hanya Badrun dan adiknya yang miskin.

Tidak ada seorang pun tahu mengapa hanya Badrun dan adiknya yang miskin di kota ini. Tidak ada alasan pasti, tidak ada asal-usul jelas pula. Kadang, Tuhan memang suka bercanda.

Kota ini dipenuhi gedung-gedung tinggi menjulang, lalu-lalang manusia dengan pakaian rapi lengkap dengan jas dan rambut klimis, aroma parfum menyengat, klakson kendaraan serta manusia yang saling memaki di jalanan, dan keruwetan lainnya. Aku tahu kau bisa membayangkannya. Persis seperti kota metropolitan. Tapi, ada dua orang yang tidak tergabung dalam keruwetan tersebut, yaitu Badrun dan adiknya.

Tidak sulit mencari Badrun dan adiknya. Penampilan mereka paling mencolok dengan pakaian compang-camping, tubuh kotor, wajah kumal, bau ketiak yang tidak enak, gigi kuning tidak terawat, rambut kusut, kulit penuh koreng, dan kadang ingus mereka bergelayutan antara hidung dan mulut. Aku yakin mereka orang miskin paling jelek di muka bumi.

"Bang, bagaimana rasanya makan setiap hari?" Adik Badrun membuka percakapan saat mereka duduk di taman kota.

"Bagaimana, ya? Aku pun sudah lupa. Bukankah kita memang tidak pernah makan setiap hari?" Begitulah Badrun dan adiknya. Sebagai orang miskin di tengah kota, mereka kesulitan menjalani hidup. Mereka juga sudah lupa bagaimana rasanya nasi yang baru tanak. Bertahun-tahun hidup dalam kesengsaraan membuat mereka bisa dan biasa tidak makan dua sampai tiga hari.

Pemerintah kota pun sepertinya tidak peduli kalau hanya satu atau dua orang yang miskin. Tidak ada yang mengurusi Badrun dan adiknya. Bahkan mungkin orang-orang kota berdoa agar mereka cepat mati. Sayangnya, Tuhan selalu berkata lain. Mereka tetap hidup dengan makanan seadanya. Mereka tetap hidup meskipun saban hari bergelut dengan panas atau dingin. Dan, mereka tetap hidup walaupun tidak ada lagi orang dermawan di kota ini.

"Aku ingin makan di sana, Bang!" Adik Badrun menunjuk ke salah satu restoran di seberang taman. Restoran itu tidak jauh dari taman. Restoran mewah khas borjuis. Badrun dan adiknya sudah sering lewat di depan restoran itu. Sekadar celingak-celinguk dan hanya mencium aroma makanan yang keluar dari dalam restoran. Aroma yang menggugah selera makan.

Mendengar perkataan adiknya tadi, Badrun hanya diam, memperhatikan daun-daun gugur, melihat adiknya berlari-lari mengejar daun-daun itu. Desir angin mengacak-acak rambut Badrun, sekarang rambut badrun sama berantakannya dengan pikiran Badrun. Lagi-lagi dalam hatinya bertanya, apakah Tuhan menentukan nasib manusia dari kocokan dadu?

Badrun tidak ingat seperti apa wajah kedua orang tuanya. Yang dia ingat hanya ada dia dan adiknya di kota ini. Hanya ada mereka, orang miskin yang makan tiga hari sekali. Orang miskin yang bermimpi bisa makan di restoran mewah. Orang miskin yang penasaran bagaimana rasanya nasi yang baru tanak.

Matahari mulai jauh dari pandangan, satu per satu bayangan mulai hilang, temaram adalah yang dilihat Badrun sekarang. Orang-orang di kota itu masih sibuk berlalu-lalang, ada yang menuju pertokoan, ada yang pulang ke rumah, ada yang tertawa di jalanan, semua tampak bahagia. Dan, mereka semua, orang-orang kota adalah manusia paling menyebalkan di bumi. Badrun heran, mengapa hanya Badrun dan adiknya yang miskin dan kelaparan? Entahlah, mungkin Tuhan memang menentukan nasib mereka dengan kocokan dadu, lalu keluarlah angka satu, angka paling kecil, yang berarti mereka harus hidup menjadi orang paling kecil pula.

"Bang, ayo pulang!" Adik badrun berteriak sambil menarik-narik tangan Badrun.

"Pulang ke mana? Memangnya kita punya rumah?"

"Ke sana!" Lagi-lagi adik Badrun menunjuk restoran di seberang taman.

"Itu bukan rumah kita," kata Badrun dengan senyum tipis. Sangat tipis. Ia paham, adiknya lapar. Untuk kali ini, sudah empat hari mereka tidak makan. Sisa-sisa makanan di tong sampah semakin sulit didapat.

"Tapi, aku mau ke sana! Aku mau makan di restoran itu, sudah bertahun-tahun kita hanya lewat di depan restoran itu. Sekali-sekali ayo kita makan di sana!" Adik Badrun terus saja membujuk Badrun. Badrun hanya diam dan mengikuti adiknya berjalan ke arah restoran itu.

Badrun dan adiknya mengintip malu-malu di depan restoran. Orang-orang yang melihat Badrun dan adiknya dari dalam restoran langsung memalingkan muka. Tatapan mereka penuh dengan tatapan jijik. Padahal, orang-orang kota itulah yang menjijikkan. Apatis dan tidak peduli dengan lingkungan sekitar.

"Bang, aku lapar."

"Kita memang selalu kelaparan."

"Ayo, masuk!"

"Duit saja tak punya, bagaimana mau masuk? Kita ini miskin, Dik."

Cukup lama Badrun dan adiknya terdiam di depan restoran. Aroma masakan menyengat hidung mereka lalu masuk ke kerongkongan dan sampai ke perut. Cacing serta bakteri di perut mereka terbangun karena ikut mencium aroma masakan itu. Semua cacing dan bakteri jadi anarkis. Teriak dan berdemo. Mampus sudah perut Badrun dan adiknya digerogoti lapar!

"Mau sampai kapan kita diam di depan sini?" Ujar adik Badrun dengan wajah memelas. Petir mulai bersahutan, pertanda hujan akan segera turun. Jalan-jalan di kota mulai lengang.

"Tentu sampai mereka kasihan pada kita, dan kita diberi makan," kata Badrun dengan tawa ringan dan terdengar nada-nada putus asa.

"Abang mulai gila, ya? Mereka tidak punya belas kasihan. Aku lapar. Aku mau makan. Tubuhku rasanya tidak kuat lagi menahan lapar," gerutu adik Badrun. Perut adiknya sudah tidak bisa diajak kompromi, benar-benar sudah mampus digerogoti lapar.

Suara gemercik hujan mulai terdengar. Petir-petir mulai menggelegar. Angin kencangnya bukan main. Langit semakin gelap. Hujan semakin deras. Badrun dan adiknya berteduh di bawah kanopi halaman restoran. Perut mereka digerogoti lapar, sekarang tambah pula tubuh mereka dilahap dingin.

"Sudah kubilang, tidak akan ada yang mengasihani orang seperti kita. Jangankan memberi makan, bahkan menatap kita pun tak akan ada yang mau," kata adik Badrun. Suaranya makin pelan. Giginya bergemertak. Menggigil.

Sunyi dan senyap menelan suara mereka. Waktu berlalu, mereka duduk di depan restoran tanpa ada yang mengusir. Orang-orang kota memang tidak pernah peduli dengan orang miskin. Mengemis di lampu merah, jembatan penyeberangan, bahkan dari rumah ke rumah pun tak ada artinya di kota ini. Acuh tak acuh adalah Tuhan bagi orang-orang kota.

Badrun dan adiknya pun tertidur sambil diiringi Requiem: Lacrimosa, gubahan Wolfgang Amadeus Mozart, yang entah dari mana sumber suaranya. Gubahan itu pula yang mengantar mereka ke dunia mimpi di mana mereka bisa makan di restoran. Mimpi abadi, sepanjang usia Tuhan.

Malam berlalu begitu cepat. Mimpi dan alunan musik adalah perpaduan yang indah. Badrun terbangun dengan seorang gadis kecil tergolek kaku di sebelahnya. Tidak ada bekas luka apapun di tubuh gadis itu, hanya ada bekas rasa lapar dan harapan. Restoran benar-benar menjadi rumah terakhir bagi adik Badrun. Dan, Badrun benar-benar menjadi orang miskin terakhir di kota.

Jadi, apakah Tuhan juga bermain-main dengan dadu untuk menentukan kematian dan rasa lapar? Atau jangan-jangan Tuhan sudah mati dan orang-orang kotalah yang menentukan nasib Badrun dan adiknya?

Bogor, 2018

*Penamaan Badrun diambil dari #NovelBadrun Riyadi Joko Prastiyo
04 Jun 2018 14:03
316
Bogor, Jawa Barat
1 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: