Dialog dengan Istri pada Malam Peringatan Proklamasi
Cerpen
Kutipan Cerpen Dialog dengan Istri pada Malam Peringatan Proklamasi
Karya dewarahwana
Baca selengkapnya di Penakota.id
Bendera itu kusut, usang, dan terdapat beberapa robekan. Dari tahun ke tahun hanya tersimpan di dalam lemari dan menjadi bulan-bulanan rayap.

Aku terbangun. Terdengar isak tangis istriku di beranda rumah, lelaki mana yang tidak terkejut mendengar istrinya menangis tersedu-sedu? Aku menghampirinya dan kulihat ia memeluk erat bendera yang biasanya hanya tersimpan di lemari pakaian kami.

"Kenapa malam-malam begini menangis, Dik?"

"Esok adalah hari perayaan kemerdekaan, esok hari pula adalah hari perkawinan kita, Mas. Tak terasa dua puluh lima tahun berlalu begitu cepat." Terdengar samar-samar tangisan istriku. Suaranya berat. Matanya berkaca-kaca.

"Lalu, mengapa kau menangis?" Kupeluk tubuhnya erat-erat. Sudah tak ada lagi birahi di antara kami. Cinta tulus dan sucilah yang tersisa untuknya.

"Bagaimana bisa aku tidak menangis? tidakkah kau ingat bendera ini, Mas? kau yang memberikannya padaku. Mahar perkawinan kita. Dua puluh lima tahun berlalu, membeli bendera baru pun kita tak mampu. Bendera ini selalu kusut, hanya tersimpan di lemari bertahun-tahun. Untuk dikibarkan saja aku malu," istriku terus saja berbicara tanpa henti, aku mendengarnya dengan saksama. Perlahan kuelus rambut isteriku. Ah, kusut, tidak ubahnya dengan bendera itu.

Aku teringat dua puluh lima tahun yang lalu ketika gairah cinta kami sedang memuncak. Tidak ada kata selain cinta yang terucap dari mulutku. Sebagai sersan muda, rasa nasionalisme tentu kujunjung tinggi-tinggi. Lelaki mana selain diriku yang berani meminang perawan dengan mahar sebuah bendera merah putih? Aku terlanjur cinta dengan negeri yang amburadul ini. Buruknya, setelah beberapa hari perkawinan kami, aku ditugaskan ke daerah berbahaya dan harus pulang dengan kondisi cacat. Kakiku tertembak peluru, cukup fatal, dan harus rela diberhentikan.

Air mataku menetes jika mengingat kembali kejadian-kejadian itu. Selepas dari tentara, kondisi perekenomian kami memburuk. Buruk sekali. Sekadar makan nasi saja sulit.

"Sebenarnya kita ini rakyat atau rakyat-rakyatan, Mas? selalu saja jadi bulan-bulanan, diimingi kegembiraan, saat pemilihan janji-janji busuk selalu diucapkan oleh mereka. Setelah pemilihan? persetan! kita ini rakyat bukan, Mas?" Terdengar suara istriku menghentak. Tangisnya masih belum berhenti. Aku masih memeluknya dan terdiam.

"Buat apa kita rayakan kemerdekaan? berlomba-lomba mendapatkan hadiah, bendera dipasang, lari maraton, tarik tambang, balap karung, panjat pinang, sepeda hias dan semua bersenang-senang. Buat apa, Mas? semua hanya kepura-puraan. Kita belum sepenuhnya merdeka, kita menutupi borok di wajah kita dengan kebahagiaan-kebahagiaan semu. Apa arti merdeka kalau yang kaya makin banyak harta dan yang miskin makin sengsara!" Lagi dan lagi. Istriku masih saja berbicara meluapkan emosinya. Aku paham betul, dua puluh lima tahun ini aku tidak bisa memberi apa-apa untuknya. Mungkin, ia pikir menikahi sersan muda sepertiku bisa terjamin hidupnya. Ah, malah sial ternyata.

Aku terdiam begitu lama mendengar istriku terus bertanya. Teringat kembali dua puluh lima tahun yang lalu dengan gagahnya aku ucapkan ijab kabul.

"Saya terima nikahnya Julaiha binti Broto dengan mas kawin bendera merah putih dan seperangkat alat solat dibayar tunai. "

Aku benar-benar merasa berdosa. Belum sempat lagi aku bayangkan yang lain-lain, istriku kembali bertanya dengan diiringi isak tangisnya.

"Bagaimana kita bisa bahagia, Mas? Negeri kita hanya lepas dari Jepang dan Belanda, sisanya terjajah oleh saudara sendiri. Kita tertindas di negeri yang katanya bumi surga. Coba lihat politikus, benar-benar seperti tikus! KKN merajalela, sogok-menyogok pun membudaya, hukum diatur oleh orang kaya, perawan menggadai kehormatan sendiri, anak-anak menganggur jadi geng motor, perempuan desa berlomba-lomba jadi TKI, anak-anak bangsa hanya ternganga tak bisa merasakan bangku sekolah, putus asa tak ada cita-cita dan berujung jadi bajingan atau minimal pecandu narkoba. Sekarang kita lihat lagi anggota dewan, Mas. Apa kerja mereka? tepuk tangan? menonton film porno? berlatih mendengkur? atau sibuk berebutan kursi?" Kali ini emosinya menjadi-jadi. Tangisnya terus mengalir. Air mataku pun ikut luruh. Suara istriku mengeras. Pelukku pun makin erat. Bintang dan bulan hanya mengintip malu. Suara petir bersahutan. Angin terasa di tengkuk kami. Di pelukan itu kami menggigil berdua. Hening dan senyap.

"Seperti tahun-tahun sebelumnya, kita tak pernah punya rasa bangga, Mas. Masih belum paham arti merdeka," kali ini suaranya begitu lirih dan pelan.

"Berhentilah mencaci dan mencerca, Dik. Begitulah adanya negeri kita. Meski amburadul kita terlanjur cinta. Meski menyedihkan tetap saja kita pasang bendera," setelah berbagai kata-kata diucapkan isteriku, hanya kata sesingkat itu yang mampu kuucapkan.

Aku melepas pelukan. Ia pun mengusap air matanya. Aku beranjak dan berjalan menuju kamar, sekilas kulihat isteriku sibuk menyiapkan bendera. Disetrikanya, dielus, dan dicium pula. Kulihat ia sudah dapat mengendalikan emosinya sekarang. Aku bisa tidur tenang malam ini.

"Ah, lebih baik besok kubelikan bendera yang baru agar dipasang di depan rumah. Sekaligus hadiah ulang tahun perkawinan kami," gumamku.

Masih gelap, pagi belum menyapa, azan pun masih bersahutan. Aku terbangun, kulihat istriku ternyata masih sibuk menyiapkan bendera. Berkibar bendera kusut itu di halaman belakang rumahku, setengah tiang pancangnya.

"Selamat berduka negaraku," tak kusangka, air mata ikut berbicara.

Bogor, 2018

***
Ide cerita ini disadur dari puisi Ismail Sofyan Sani dengan judul sama.
11 Jun 2018 14:34
247
Bogor, Jawa Barat
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: