Hikayat lahir buah tangan senyum tuhan.
Di bawah hujan, sepasang ruh merajang dahaga dunia.
Mengalun lantunan-lantunan mantra malam
Mengarak simponi suaka ellipsism anak manusia.
Hadirnya hujan yang menghangatkan ruh malam
Melarung dahaga di dalam lautan fatamorgana
Mula mengarung semua indah di ufuk jingga.
Namun bah fatamorgana, seolah menampar pulasnya mimpi indah.
Sekarang aku tersesat.
Meniduri siasat jiwa-jiwa ringkih yang melarat.
Telah miskin mantra-mantra malam bercerita.
Hikayat dikau seperti menggenggam aku,
Seraya terpasung pada lara fatamorgana.
Aku dihardik nada kebebasan, detak detik memaksa tawa beruban.
Padahal, telah aku siapkan sabana lontar untuk kita
Yang menghikayatkan
Tawa
Lara
Cinta
Duka
Materi pujian tuhan.
Namun, gairah dongeng malam bermigrasi ke dalam lamun.
Aku merangkak, menjilati nadi-nadi nista.
Menggorok ego dan ketampanan senyum tuhan.
Membelakangi jingga, sembari menjahit lidah.
Sedari berisak aku bertanya :
“Apakah tuhan mau membabtis ruh luka yang tak lagi memiliki raga”.