Suatu saat, ketika sendirian, aku pernah membayangkan jika Ibu lebih dulu menjemput kepergian. Dan, tanpa terasa air mata berderai tak tertahan, padahal kondisi emosiku sebelumnya aman.

Suatu saat, ketika terasing di penempatan, aku sempat rindu tak tertahan. Tanpa sebab. Padahal beberapa hari sebelumnya teleponan. Aku menangis sendirian.

Suatu ketika, saat semua orang seperti meninggalkan, aku merasa amat kesepian. Aku sempat hilang harapan, seolah kamus dunia ini tak pernah memiliki kata kepedulian. Dari luar, bisa jadi aku terlihat baik-baik saja. Namun, hanya Ibu seorang yang tahu bahwa anaknya sedang butuh pertolongan.

Dan, ketika aku berbuat kesalahan, disalahkan, atau merasa bersalah, jemari Ibulah yang mengelus hangat.

Ibu berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Ibu berkata bahwa aku bisa melaluinya. Ibu berkata bahwa kesalahan adalah kewajaran. Ibu berkata aku kuat. Ibu berkata ujian itu penambah taat.

Ibuku, 55 tahun kehidupan adalah kesempatan yang luar biasa dan 25 tahun menjadi anakmu adalah anugrah tak terkira.

Di saat yang lain merayakan hari lahir dengan berbahagia, aku tidak seperti itu (sekarang). 

Aku semakin merasa kehilangan itu lebih dekat.

Tuhan, tolong, jika nanti aku harus kehilangan atau Ibu yang harus kehilangan duluan, berikanlah kami berlimpah kekuatan.

Tiada yang ingin kuucapkan selain, "Maaf ya Ibu, Teteh masih merepotkan. Maaf ya Ibu, ibadah Teteh masih belum bisa bagus. Maaf ya Ibu, Teteh masih egosentris. Maaf ya Ibu, segala harapan Ibu ke Teteh belum bisa terwujud semuanya. Tapi Teteh yakin, dalam segala kekurangan Teteh, hanya Ibu satu-satunya orang yang masih memberikan cinta tanpa syarat."

Ibu, barakallah fii umrik!

Sendirian, 1 Oktober 2020