Judul: Ungkapan untuk Kerisauan yang Entah Ada Peka atau Tidak tapi Aku Akan Tetap Menulisnya dan Biarlah Angin Membawa Kabar Ini Meski Aku Tak Tahu Ia Akan Berujung di Mana


Bulan ke-dua belas. Senja masih jingga. Awan sudah mulai ditumbuhi dengan bibit-bibit kelabu. Manusia masih sama, terus memperpanjang generasi. Kemudian aku sadar, kapan aku akan bergenerasi?

Dua lembar kertas kemudian melayang. Tidak ada tinta basah yang tumpah di atasnya. Kata beliau, tumpahkanlah tinta birumu itu. Namun aku masih bingung, akan ditulisi apa?

Gelap-terang silih berganti. Perasaan ada yang ranggas, ada pula yang subur. Setiap insan punya pikiran, punya jalan, punya hati. Ah, rumitkah satu per satu insan Tuhan? Atau aku saja yang terlalu merumitkan yang sepele. Lantas jika dihadapkan pada dua atau lebih, aku akan memilih yang seperti apa? Lalu bagaimana jika yang kupilih memilih tak datang meski hanya untuk menukar lembaran dengan yang beda?

Sudahlah, tahan dulu saja. Lagian katanya masih pada tahun ke-empat puluh bagi seorang perempuan. Hanya saja satu hal, bukankah diri kita bukan sepenuhnya milik kita? Bukankah di luar sana ada komat-kamit doa berisi harapan buah hatinya kelak akan bagaimana?

Kata Hamka, kita memang hanya dipertemukan dengan apa-apa yang kita cari. Kemudian aku sempoyongan, apa yang sebenarnya yang aku cari dan apakah saat ini aku sedang mencari?

Semua itu dialog hati yang hanya akan tuntas dengan jawaban tanpa teka-teki.

Sudut di Sumatra, 4 Desember 2018