Maaf, Aku Tak Terbiasa Membunuh
Cerpen
Kutipan Cerpen Maaf, Aku Tak Terbiasa Membunuh
Karya fadlilahnida
Baca selengkapnya di Penakota.id

Gadis remaja kelas tiga SMA itu duduk di kursi besi stasiun Pondok Cina. Ia menunggu seseorang. Wajahnya yang kusam karena beraktivitas seharian, tersapu oleh sinar senja yang hampir temaram.


Ia tetap menanti seseorang. Bahkan jikapun seseorang itu akan datang larut malam, ia kukuh ingin menunggu. Sudah sepekan hatinya gusar karena laki-laki itu. Ada rasa yang tak biasa. Ia khawatir dirinya kenapa-kenapa.


“Bu, masih lama?” tulisnya pada ruang percakapan kepada seseorang yang ia nantikan.


“Sabar, Say. Masih di stasiun Bogor, nih. Lima menit lagi kayaknya kereta jalan.”


“Oke, Bu. Aku sudah di Pondok Cina, samping kedai roti.”


“Siap.”


Tiga puluh menit kemudian, sebuah kereta tepat berhenti. Seseorang yang disapanya dengan sebutan “Bu” turun sembari membenarkan letak kacamata. Ternyata seseorang itu tak setua sapaannya. Bahkan ia lebih layak untuk disapa dengan sebutan “Kakak” daripada “Ibu”.

Sepuluh detik mereka berpelukan. Ada sayu yang terbit dari mata gadis itu.


“Bu, maaf, aku tak terbiasa membunuh,” ujarnya sembari tersedu.


“Loh, kenapa kamu bilang begitu? Bukannya kamu sedang suka sama seseorang? Apa kaitannya dengan pembunuhan?”


“Iya, Bu. Aku suka sama dia, tapi aku takut itu hal yang salah. Sudah seminggu aku berusaha buat menghindari dia, bahkan kalau dia nanya tugas malam-malam gak aku balas. Kalau dia duduk sampingan pas kerja kelompok, aku jadi salting gitu. Aku gak nyaman sama perasaan ini. Aku memang suka, tapi hatiku gak tenang. Aku pengin bunuh rasa itu, tapi gak bisa.” Sang Gadis bertutur dengan air mata yang tak henti bercucur.


Lawan bicaranya menatap teduh sang gadis. Ia tentu amat paham apa yang sedang dirasakan remaja di sampingnya. Sebelum berkata, ia usap terlebih dahulu pipi dan lengannya agar gadis itu lebih tenang.


“Aku paham banget sama apa yang kamu rasakan, Say. Gak ada yang salah sama rasa suka, gak ada yang salah juga sama rasa cinta. Yang salah itu, kalau dengan apa yang kita rasakan malah membuat kita lupa sama kewajiban, kita lupa sama Tuhan. Cinta itu wajar, fitrahnya manusia. Kamu gak perlu membunuhnya. Cinta gak salah kok. Kamu hanya perlu lebih tenang dan membiarkan ia tumbuh semestinya. Justru kalau kamu ingin rasa itu hilang, ingin melupakan, yang ada malah makin ingat dan kepikiran.”


“Jadi apa yang aku rasakan itu gak salah, Bu?”


“Enggak sama sekali, Say. Asalkan tetap dalam hal wajar. Itu tadi, jangan sampai karena kamu suka sama dia, kamu malah lupa sama kewajiban. Jangan sampai karena kamu suka sama dia, kamu sering wasting time sama hal yang gak guna. Keep aja rasa suka itu di hatimu. Jangan bilang ke orangnya. Terima kalau rasa itu wajar, kamu manusia normal, hehe.”


Gadis itu mengangguk.


“Gimana, sekarang sudah lebih tenang?”


Sang gadis mengangguk lagi. Ada senyum yang melintang sekarang. Ia sudah tak segusar petang tadi.


“Coba sekarang kamu tarik napas dalam-dalam, kemudian embuskan perlahan. Bilang ke diri kamu kalau apa yang sedang kamu rasakan adalah hal yang wajar. Bilang kalau kamu akan terima perasaan itu secukupnya tanpa harus membuat diri kamu merasa bersalah di hadapan Tuhan.”


Seseorang yang disapa “Say” terpenjam, menarik napas, lalu mengembuskannya. Ia terdiam sejenak untuk berdialog dengan dirinya. Ia mulai mencoba untuk menerima perasaan yang tumbuh di hatinya.


Keduanya pun tersenyum. Mereka kini berbincang tentang lain hal sembari menyantap roti yang dibelinya dari kedai. Sayma dan Bu Fitria tampak seperti adik-kakak yang saling bercerita. Oh iya, Bu Fitria adalah guru muda pelajaran BK di sekolah Sayma. Ia menjadi “tempat curhat” para remaja. Bagaimanapun, para remaja memang butuh sosok yang dipercaya untuk menjadi teman bercerita.

01 Feb 2020 08:34
193
Garut, Jawa Barat, Indonesia
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: