malam melarut dan kau sibuk menyambut
dengan segelas hitam panas:
“ngopi ngapa, ngopi? diem-diem bae!”
meskipun sebetulnya
segelas kopi tak begitu saja
menjauhkan jiwa dari dahaga
dan tembakau kering yang kau bakar
tak selamanya sanggup menambal lapar
tapi di sela-sela petikan gitar dan ketidaktahuanku
pada lagu kesukaanmu
seperti telah dibentangkan sebuah jembatan
di mana waktu berhenti dan ingatan berlari
menyebut-nyebut namamu.
jadi baik kita kobarkan lagi
unggunan api ini
karena aku kelak ‘kan kenapa-napa
kalau kau tak lagi tanya, “kapan kita ke mana?”
agar aku lebih giat memangkas jalar akar
yang merekatkan punggung dan empuk kasur.
supaya aku lebih tekun menanam kata-kata
pada sebidang tanah impian
karena suatu hari nanti, orang-orang iseng bertanya:
“seberapa dalam tanah tergali?”
“seberapa deras cucuran air mandi?”
“mata siapa yang telah menjadi air di sana?”
dan batu-batu yang sunyi menanam diri
kelak mengatakan lebih
dari yang kita bisa.
dan kita tidak ‘kan kenapa-napa.
2019