Gantari : II. Purnama
Cerpen
Kutipan Cerpen Gantari : II. Purnama
Karya izdhihar
Baca selengkapnya di Penakota.id
Perjalanan menuju Jogjakarta cukup melelahkan, arus balik dari Jogjakarta ke Bandung memang lebih padat daripada sebaliknya. Sukar rasanya melihat orang yang berpergian dengan orang terkasih di saat diri ini sendiri berpergian menuju pemakaman orang terkasih.

Tanganku masih memegang pulpen warna abu-abu dengan tinta hitam, ujungnya berjalan hilir mudik dari sudut garis ke titik lain, menulis kesenduan yang kutuang ke lembaran kertas.

Malam ini lebih dingin, hening dan buruk dari biasanya.
Mungkin karena tidak ada pelukanmu lagi,
Mungkin karena tidak ada tawamu lagi,
Mungkin karena tidak ada dirimu lagi.

Lana, jika kita dipertemukan nanti dengan ingatan yang lain dan dengan takdir yang lain, apakah kamu akan tetap melihat aku yang lain seperti kita melihat kita?

Jika suatu saat nanti kita diberi kesempatan untuk hidup kembali, entah dimanapun, apakah kamu akan menemukan cara agar kita bertemu?
Jika suatu saat nanti kita memang bertemu dengan wujud lain,
aku yakin,
aku akan dapat melihatmu,
merasakan kehadiranmu,
aku akan tetap mencintaimu seperti bumi dan pohon bukan seperti hujan dan pelangi.
Aku janji kita akan indah bersama-sama.

Dengan kaulan itu, buku jurnalku dapat dipastikan hampir penuh, aku menunggu saatnya aku akan jenuh dengan kepiluan ini dan akhirnya pergi ke haluan baru, ke permukaan dan menemukan pelabuhan untuk disinggahi atau mungkin ditempati?
Aku tidak tau, begitu pun dunia.

Rasanya ingin kuteriakkan semua emosi yang menggantung di dalam tubuh ini agar keluar semua beban yang kurasa, setidaknya itu yang kuharapkan; untuk berhenti menahan beban pikiran ini. Aku tau kepergian seseorang memang sudah pasti ada maka dari itu terima kasih Tuhan, telah mengizinkanku bertemu dengannya walau akhirnya harus dipisahkan.

Terima kasih banyak.

Menurut GPS di mobilku, butuh waktu sekitar setengah hari lagi untuk sampai di tempat tujuan. Pikiranku saat itu kosong, tak apa, karena akhirnya Lana tidak ada disana lagi untuk sementara itu.

Jika aku melanjutkan perjalanan saat itu juga, nanti malam aku akan sampai tapi jika aku beristirahat mungkin besok siang baru akan sampai.
Aku memilih untuk melanjutkan walau berat.

Sebenarnya mataku sudah sayup, seakan mengajak untuk terlelap, oksigen di kepalaku berkurang, alam seakan damai rasanya.

Setir masih kupegang, berusaha untuk tetap stabil dengan keadaan setengah nyawa, pedal masih kuinjak dengan kaki yang satu di dekat rem.

Jalanan terlihat lebih lapang dan sepi, dengan percaya diri kuinjak pedal gas dengan tegas, masih dengan keadaan yang sama; setengah nyawa.

Tidak ada hambatan, aku masih hidup dan kekal namun tidak berselang 20 menit aksiku barusan, mendadak kuinjak pedal rem.

Sialan!

Bukan.

Aku tidak menabrak seseorang
.
Aku juga tidak menabrak kucing atau wujud lain yang sulit terdefinisi.
Yang terjadi saat itu lebih buruk lagi, di depan sedang ada tawuran, sepertinya antar kelompok remaja, terlihat dari postur tubuh mereka dan lontaran perkataan kasar nan gaduh bersamaan dengan baju yang koyak akibat terkena serangan— atau memang dari semula seperti itu, aku tidak tau, itu hanya asumsiku.

Yang kulihat hanya kelompok remaja yang saling menyerang kubu lainnya dengan benda tajam di tangan. Posisiku saat itu tidak terlalu dekat, tapi aku dapat melihat dengan jelas kegaduhan yang tercipta oleh mereka, yang kuherankan adalah di mana aparat hukum dan di mana pikiran mereka? Jelas, mereka terlihat seperti binatang liar bagiku, tidak memperdulikan nyawa dan keluarga. Tidak mungkin ini hobi atau adat istiadat pun jika itu benar, silahkan sidang aku karena menghakimi hobi dan adat mereka yang jelas-jelas mengusik kedamaian.

Karena menyadari sedari tadi tidak ada yang melerai dan keresahan semakin jadi, kuhubungi nomor polisi. Mataku menyipit ditengah telepon, aku melihat sesuatu dibalik tong sampah dekat halte bus. Hubungan terputus, mataku kembali menilisik lebih tajam, apa yang ada dibalik tong sampah itu. Pikiranku sudah tidak karuan.

Mataku berpaling ke handphone ku.

23:47.

Bulu romaku berdiri, sembari menghibur diri kuberi tau bahwa itu hanya kucing.

Tapi, kucing tidak ada yang sebesar itu.

Mungkin kucingnya banyak makan.

Atau mungkin itu bukan kucing.

Kupejamkan mataku sembari membaca istigfar berulang kali di dalam hatiku, berharap itu bukan yang ada di pikiranku.

Lana,
kumohon, walaupun aku rindu dan ingin bertemu denganmu, ini bukan waktu yang tepat untukmu bertatap muka denganku. Menunggu tawuran ini berakhir saja sudah sangat cukup untukku hingga akhirnya bisa lewat jalan ini dan sampai di Jogja.

Dengan penuh usaha kubuka mataku perlahan, berusaha tidak melirik kearah halte itu lagi.

Jangan tengok ke belakang, Arya.

Itu yang kuberitau kepada diriku sedari tadi.
Inilah sebabnya terlalu banyak menonton film-film horror. Tipikal.

Yang kutakutkan malah jauh lebih buruk; semoga tidak ada yang hinggap di kaca mobil tiba-tiba. Itu yang terakhir kuharapkan untuk terjadi dalam hidupku.

Beberapa menit berlalu, tawuran di depan berhenti dan menjadi ajang balap-balapan motor dengan aparat yang sudah kuhubungi tadi. Setengah hatiku sudah lega akhirnya bisa berjalan kembali menuju Jogjakarta.

Kuinjak pedal gas, melewati halte tadi.

Jangan toleh, Arya. Jangan tengok.

Aku menoleh ke arah tong sampah tadi.

Tiba-tiba ada sosok yang berdiri dari balik tong sampah itu. Otomatis pedal rem kuinjak. Tidak tau harus teriak atau kabur, yang aku lakukan pertama kali adalah injak pedal rem. Jika ini adalah adegan film, aku sudah pipis di celana karena bodohnya malah berhenti didepan sosok itu.
Sosok itu, perempuan, mengenakan kemeja dan rok selutut, seperti pulang dari kantor. Dia menatapku, kukira dia akan tersenyum dengan mata yang kosong, namun jauh dari itu, wajahnya sangat terlihat ketakutan dan resah.
Kuberanikan untuk membuka kaca mobil.
“Tolong saya, Mas. Tolong saya.” Dia pun berjalan mendekati pintu mobil.
Syukurlah, kakinya masih rata dengan tanah, ditambah dia mengenakan sepatu dengan hak. Tidak mungkin jika makhluk yang di pikiranku mengenakan sepatu macam ini, maksudku, mereka kan bisa saja terbang. Helaan nafasku panjang, lega rasanya.

“Mas, tolong saya.”

“Iya, kenapa, mbak?”

“Boleh pinjam HP nya? Saya pingin nelfon orang rumah untuk jemput saya.”

“Oh, boleh. Masuk aja dulu.” Aku pun membuka pintu dari dalam, membiarkan dia masuk. Aku masih melirik kakinya saat dia mengetik nomor telepon seseorang di ponselku. Kuharap semua insiden ini tidak berujung kesialan untukku.

Diletakkannya ponselku di telinganya, kira-kira sudah 5 kali dia mencoba, tapi tidak ada sepatah katapun keluar dari mulutnya selain bisikan “Duh.” “Angkat dong.” Dan “Yah.”

“Rumah mbak dimana emangnya?”

“Eh.. D-di.. deket kok. Hehe.” Jawabnya masih berkutik dengan ponselku.

“Pulang kerja?”

“Iya.”

Kunaikkan suhu udara di mobil, kurasa dia juga merasa dingin karena kerap kali kulihat dia memeluk lengannya sesekali dengan canggung.

“Ini mas Hpnya. Makasih, ya.” Katanya, mengembalikan ponsel dan membuka pintu mobilku. Yang aku yakin saat itu aku tidak mendengar ada percakapan yang terjadi saat dia meminjam ponselku. Kulihat catatan teleponku pun tidak tertulis jumlah waktu di nomor yang dia hubungi begitupun kotak pesanku, tidak ada SMS baru terkirim ataupun sampai.

“Mbak, maaf.”

“I-iya.. Kenapa?”

“Saya mau mastiin aja, mbaknya ada yang jemput atau nggak?”

“Hm.. Saya nunggu aja, mas.”

“Nunggu dijemput?”

“Nu-nunggu kendaraan umum, mas.”

“Kalo saya anterin aja, gimana? Udah malem gini, kayanya gak bakal ada yang lewat lagi.”

Dia pun setuju untuk aku antar ke rumahnya, walaupun aku bukan orang sini, aku tau pasti tidak akan ada kendaraan umum yang lewat jam segini dan sebagai seorang laki-laki, tidak akan tega melihat perempuan sendirian menunggu di halte pada tengah malam seperti ini dengan peluang 1:100.

Siapa pun kurasa akan kasihan melihatnya.

“Mas ini orang mana, toh?”

“Saya? Kalo saya Made in Bandung, mbak. Tapi, saya mau ke Jogja, ini.”

“Jauh juga ya. Kalo saya boleh tau, masnya ke Jogja mau mudik, liburan atau apa? Kok tanggal segini baru berangkat?”

“Nggak, saya gak mudik, dibilang liburan nggak juga sih.. Ada urusan di Jogja yang harus didatengin.” Masing-masing dari kita pun diam, dia melihat ke jendela sebelahnya, pohon berlalu lalang dengan gerobak-gerobak sego kucing, nasi goreng dan makanan malam lainnya di pinggir jalan berlarian.

“Mbak ini baru pulang kerja atau gimana?”

“Saya pulang kerja dari jam setengah 9 mas, nungguin dari jam segitu di halte, biasanya jam 9 juga udah di bus atau angkot. Tapi kayaknya itu supir-supir udah pada tau mau ada tawuran gitu jadi gak lewat. Kebetulan saya juga gak bawa powerbank jadi gak bisa gojekan apalagi telpon orang rumah, mas.”

“Oh gitu.. Kantoran?”

“Iya, kantoran. Saya kerja di percetakan. Belok kanan ya, mas.”

“Kalo boleh tau, mbak namanya siapa? Kan gak enak dari tadi ngobrol gak tau nama. Hehehe.”

“Nama saya Ranti. Masnya?”

“Arya.”

“Mas stop di depan situ aja, rumah saya masuk gang kecil lagi, gak muat mobil masuk.”

Kuinjak pedal rem, dia pun mengucapkan terima kasih banyak kepadaku berulang kali dan betapa bersyukurnya dia bertemu denganku, juga permintaan maafnya telah merepotkanku, kukira itu tidak seberapa dibanding harus meninggalkan dia menunggu di halte dan memikirkan nasib perempuan itu sepanjang jalan jika aku tidak membantunya.

Kembali, mataku semakin berat. Kuparkirkan mobilku didepan pos, mematikan mesin mobilku dan memejamkan mata.

Purnama malam ini, biarlah kau jaga ceritanya, sampaikan pada mentari esok pagi.

Itupun jika kau bertemu.
05 Oct 2018 11:07
116
Jakarta, Daerah Khusus Ibukota Jakarta
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: