Janji
Cerpen
Kutipan Cerpen Janji
Karya linarfdhh
Baca selengkapnya di Penakota.id
Semua orang menganggap ku anak yang aneh, sangat aneh. Bahkan tak sedikit dari mereka menganggap aku ini gila, tidak waras, tidak punya hati. Sejak kematian Ibu ku beberapa tahun lalu, banyak yang menjauhi ku. Teman-teman, Keluarga, Tetangga-tetangga, semua menganggap aku tak layak untuk hidup. Setiap aku melewati mereka, aku selalu ditatap tajam dan tak enak. Menurutku, itu adalah bentuk cara mereka menghujatku, mengasingkanku. Apakah kalian tahu, apa sebenarnya salahku sampai-sampai mereka begitu membenciku?
Sewaktu Ibu ku meninggal, aku tidak menangis sama sekali, aku hanya tersenyum setiap kali ada yang mengucapkan belasungkawa kepada ku.
“Yang sabar, ya.” Begitu kata mereka.
“Iya, makasih, ya.” Aku membalas dengan senyum tanpa menunjukkan rasa sedih sedikitpun.
Di daerah tempat aku tinggal, tidak sedih saat ada yang meninggal apa lagi keluarga sendiri adalah sesuatu yang sangat tidak baik, bahkan aku dianggap telah merusak nama baik keluarga ku sendiri. Tetapi, yang harus kalian tahu, aku tidak peduli, sama sekali tidak peduli. Terdengar egois, tetapi begitulah aku.
Beberapa hari lagi, adalah hari peringatan kematian Ibuku yang ke- 3 tahun. Seperti biasa, aku tidak akan ikut dengan keluarga ku untuk datang ke makam Ibu.
“Kau benar-benar anak yang durhaka!” begitu kata Ayahku.
“Berhentilah mengoceh, kau bahkan tidak akan rugi jika aku tak ikut ke makam Ibu.”
“Ibu mu takkan memaafkan mu.” Setelah mengucapkan kalimat itu, Ayahku mendobrak pintu kamar.
Oh ya, aku adalah anak satu-satunya. Sejak Ibu sakit, aku berhenti kuliah dan menggantikan Ayah mencari nafkah. Ayahku tidak lagi bekerja, sejak ia dipecat dari pekerjaannya, ia hanya duduk-duduk manis di rumah, menunggu ku pulang membawakannya makanan. Sempat ia kembali mencari pekerjaan, namun selalu ditolak oleh perusahaan-perusahaan yang ia datangi.
Tidak, aku tidak marah jika ia hanya duduk manis di rumah menungguku pulang membawakannya makan. Atau setiap pagi aku harus menyiapkan uang di bawah tv untuk ia membeli sarapan. Selama ia tidak menyalahgunakan uang hasil kerja kerasku, aku tidak masalah. Bos di tempat kerjaku juga adalah seorang Ustadz, ia bos yang sangat sabar yang pernah ku temui. Iya, tempat kerjaku sekarang adalah perusahaan ke tiga yang ku tempati, setelah aku dipecat pada perusahaan pertama, dan mengundurkan diri di perusahaan kedua. Alasan aku mengundurkan diri, ya, karena sikap dari teman-teman bahkan bosku, karena kasus saat meninggalnya Ibuku.
Sebetulnya, aku merasa tidak masalah jika mereka menunjukkan sikap begitu sinis kepadaku, hanya saja jika sudah urusan pekerjaan seharusnya mereka dapat membedakan, tetapi mereka seperti sengaja ingin membuat hasil kerjaku tidak maksimal. Beberapa kali aku dipanggil oleh bosku dan bosku juga tidak ingin tahu apa-apa lagi, di mata bosku ‘pokoknya aku salah!’ aku mengalah pada keadaan dan mengundurkan diri dari perusahaan itu. Aku yakin, mereka pasti senang dengan kepergianku dari perusahaan, atau bahkan itu adalah moment yang mereka tunggu-tunggu.
Di tempat kerjaku sekarang, aku terkenal sebagai karyawan yang sangat pendiam. Aku memang dekat dengan semua karyawan yang lain, bahkan juga pada OB, tetapi cukup untuk urusan pekerjaan. Aku hanya takut sesuatu terjadi seperti dulu, saat aku berada di perusahaan kedua yang ku tempati.
Malam itu sesampainya di rumah, aku merebahkan tubuhku di atas sofa, sembari beristirahat sebentar aku meraih remote tv dan ku tekan tombol power. Sedang asyik mencari acara kesukaanku, Ayah keluar dari kamar membawa beberapa kertas. Ia melihat ku sejenak, lalu membuang pandangannya, seperti ingin duduk di sofa tetapi karena ia melihatku, diurungkan niatnya.
“Ayah.” Aku menahan langkahnya yang ingin kembali ke dalam kamar. “Itu kertas apa, Ayah?” dengan cepat tanganku ingin meraih kertas-kertas yang di genggam Ayah. Namun dengan cepat pula Ayah menepis tanganku.
“Kamu tidak perlu tahu.” Mataku sempat terfokus pada sebuah tulisan nama rumah sakit, aku segera menduga kalau kertas-kertas yang Ayah pegang adalah hasil tes kesehatan Ayah.
“Ayah sakit apa?”
“Sudah Ayah bilang, kamu tidak perlu tahu!” kali ini Ayah mulai meninggikan suaranya.
“Kalau Ayah kenapa-napa, bagaimana?”
“Kamu nggak usah sok peduli sama Ayah, Ayah sudah tahu pikiran licik kamu. Kamu mau bawa Ayah ke rumah sakit kan? Terus kamu sok baik ngerawat Ayah, habis itu kamu bunuh seperti yang kamu lakukan ke Ibumu?” mendengar perkataan Ayah, aku hanya diam dan melarikan diri ke dalam kamar.
Hari itu adalah hari dimana 3 tahun lalu Ibu meninggal, saudara dan tetanggaku pada berkumpul di rumah setelah dari makam. Ya, sudah seperti biasanya, aku benar-benar mendapatkan perlakuan tidak baik dari mereka semua terutama keluargaku sendiri, apalagi aku tidak ikut ke makam.
“Ayah, makanannya ada yang kurang? Tehnya buat tamu-tamu udah cukup?”
“Kamu itu cerewet sekali, ya. Peduli apa kamu? Ke makam saja kamu tidak ikut, lebih baik kamu diam di kamar dan jangan sekalipun ikut campur.”
Jujur, hari itu aku kecewa sekali dengan Ayah, namun bagaimana pun aku tetap memakluminya. Aku hanya duduk membelakangi pintu kamar dari dalam, mengikuti doa-doa yang mereka latunkan. Sampai, aku tertidur di balik pintu itu.
Paginya, aku melihat uang yang seperti biasa aku letakkan di bawah tv masih ada, seharusnya uang itu sudah digunakan Ayah untuk membeli sarapan. Benar saja, saat aku membuka kamar Ayah, ia masih tidur di ranjangnya. Aku khawatir, karena tidak seperti biasanya ia begini. Ku beranikan diri mendekati Ayah yang masih terlelap, ku letakkan telapak tanganku di atas keningnya. Ah, sepertinya Ayahku demam. Sebelum berangkat kerja, aku mampir ke warung sebentar membeli sarapan dan obat untuk Ayah.
“Tumben dia perhatian sama Ayahnya.” Kata salah satu Ibu-ibu di warung itu.
“Ada apa-apanya, nih.”
“Beli apa anak itu tadi, Bu?”
“Beli nasi uduk sama obat demam, Bu.”
Aku tidak mengerti dengan mereka, begitu mudah mengambil kesimpulan tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Begitu banyak manusia di muka bumi ini, apa jalan pikirnya sama seperti Ibu-ibu itu? Atau jangan-jangan, tidak ada satu pun manusia yang bisa berpikir positif tentang orang lain, ya, tentu aku juga termasuk. Mengundurkan diri dari sebuah perusahaan hanya karena teman-teman dan bos yang tidak menyukaiku, aku pikir itu sebuah pemikiran yang negatif. Aku takut menghadapi mereka, aku pesimis dan akhirnya aku menyerah.
Setelah pulang kerja, aku melihat nasi yang ku beli tadi pagi masih ada setengahnya. Aku semakin khawatir dengan Ayah, kenapa ia tidak menghabiskan nasi yang ku belikan. Aku benar-benar tak habis pikir ketika menemukan Ayah tergeletak di lantai, aku shock. Segera ku bawa Ayah ke rumah sakit. Keadaan sempat heboh, aku teringat percakapan Ibu-ibu tadi pagi di warung, pasti sehabis ini akan banyak fitnah menghampiriku.
Sesampainya aku di rumah sakit, benar saja, dokter bilang nyawa Ayahku sudah tak tertolong. Aku benar-benar sangat bimbang, takut, takut sekali, aku sudah tidak punya siapa-siapa, selain itu akan semakin banyak fitnah yang datang kepada ku. Itulah pertama kalinya aku menangis setelah kematian Ibu.
Hari berlalu begitu saja. Tidak perlu ku ceritakan bagaimana sikap keluarga dan tetangga-tetanggaku, kalian pasti sudah menduganya. Saat itu, aku benar-benar merasa dibuang, aku bahkan berniat untuk pindah ke sebuah kontrakan di dekat kantor dan menyerahkan rumah pada keluarga ku.
Tepat 7 hari setelah kepergian Ayah, aku mengunjungi makamnya. Pertama kalinya aku duduk di depan makam Ayah, karena saat pemakaman aku hanya bisa melihat dari jarak yang cukup jauh.
“Ayah, aku minta maaf, telah banyak berbohong pada mu. Aku mengunjungi makam Ibu setiap tahun tanpa sepengetahuan mu.” Setelah itu aku pindah ke makam Ibu yang berada di sebelah makam Ayah.
“Ibu, maaf, aku gagal menepati janji ku. Aku menangis dan lalai menjaga Ayah.”
11 May 2018 23:00
209
Jakarta Selatan, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: