untuk: kamuskecilku
aku menulis cerita tentang hujan—lagi
—yang terbuat dari dendam rindu semalam.
pagi mengajakku melukis mendung di keningnya,
sumber kekuatan hujan tercipta
meski terkadang alpa.
aku duduk berpangku lengan hujan
kala jarum jam berotasi mengikuti kerling mataku.
kurengkuh kayuh waktu setiap kali aku mengingatmu—
tidur pada dingin yang samad—samar-samar
menyeruakkan naluri hujan.
puisi kamisku berhenti di tubuh sabtu.
hari ini.
aku mencintai segala waktu tapi kerap jatuh sebelum minggu
pandanganku lepas ke atas—menjumpai kau menjulurkan lengan.
hatiku menatah sendiri langkahnya—perlahan—pelan
seketika dua musim beradu saling jerat dan mendekap.
aku berpikir akan kehilangan kata-kata dan tak perlu mencarinya
sebab kaulah kecukupanku; kamus kecil, khusus buatku yang kerdil.
sayang, setiap matahari meninggi,
izinkan aku membisikkan selamat pagi berulang kali.
tak peduli siapa yang akan mendengar bila malam memaksa kita
kembali—entah sebagai puisi atau mimpi-mimpi.
kau tentu tahu kesiap hatiku—menyeru namamu,
mencuri pasang jiwa kita dalam ingatan paling purba
yang gagal memetaforakan dirinya menjadi
semurni-murninya kita dalam cawan adam dan hawa.
seperti sabtu yang melahirkan kita.
aku ingin kau mendekap selalu cuaca cintamu
pada medan khatulistiwa—menjadi musim: tropis atau gerimis
aku tidak dapat membaca akan kepada siapa berkaca.
sedekat ketika memandangku lekat, kau cermin
bagi segala musim yang bersimpul di mataku.
membuatku bertanya: mengapa selama ini mencintaimu?
buku, barangkali yang kerap mendengar getir kerinduanku.
sebab ancaman kangen bukan hanya soal dekap dan dekat
kadang mereka saling tangkap dari jarak yang amat jauh.
mengubah cemburu dan kekhawatiran beradu.
perselisihan; menyebabkan laju rindu tak menentu.
kita sama-sama tikam rasa sebab saling memendam cinta.
sayang, ketakutan kian enggan memelukku,
tapi kadang nampak meraksasa—merebut paksa dirimu.
dan aku tinggal hujan yang kehilangan musim.
kau; lagi-lagi menjadi satu hal tunggal,
menanggalkan beban bebal kepalaku.
kini aku sendiri di tempat ibu dibesarkan. namun,
kita tidak pernah benar-benar sendiri, katamu.
ada kau: inci dari satuan jarak terjauh—
menjelma aku—menulis puisi ini.
berharap menjadi debar yang sama,
pejam yang sama dalam napas yang sama pula.
perbedaan sewajarnya bumbu kehidupan
bagi sepasang insan—kau dan aku.
menggeliat; menyusun diri menjadi (kita)b
agar terbaca jelas tanpa belas.
kamus kecilku, ini puisi bukan fiksi.
aku menulisnya dengan tinta rindu.
jika kau ragu, bacalah mataku
maka akan kau temukan dua pilihan:
satu; mendekat dan peluk aku dalam doa-doamu
atau dua; jutaan kali lipat pilihan pertama.
semoga cukup untuk menghabiskan sisa usia.
sayang,
terima kasih
telah menghidupkanku lagi.
srg, 2019