Teruntuk Lima November
Cerpen
Kutipan Cerpen Teruntuk Lima November
Karya mutiasenja
Baca selengkapnya di Penakota.id

—kamuskecilku


 


Barangkali Sabtu, seorang ibu melahirkan seorang anak yang menyerupai namanya: Chusnah, berarti baik dan menyenangkan. Harapan itu meregenerasi dalam diri putranya seperti tumbuhan menjatuhkan biji hingga mencipta harapan mulia: laki-laki yang agung secara hati dan budi pekerti. Anak mungil itu tumbuh dewasa dalam dekapan semesta yang kadang diam, kadang meriuh topan. Sejatinya seorang rois (raja), ia mengawal dirinya dari bermacam aral melintang.


 


Lihat, seperti biasa, November sengaja mengundang musim yang basah. Ia bisa menjelma peluh, air mata, bahkan hujan yang kembali menyapa Yogyakarta—menawarkan banyak cerita. Setelah seorang ibu dengan perlahan melepas anaknya bermain hujan di halaman rumah, memanggul keringatnya yang basah, hingga mendekap dingin melebihi kuyub hujan yang membuatnya gigil. “Di Bumi ini, anakku, tak sehangat berumah di rahimku. Sejauh kau melangkah, sekali waktu pulanglah. Pelukan-pelukanku, semoga masih mampu menghangatkanmu,” kata ibu kepada November yang dingin.


 


Apa yang memaksa seseorang melupakan masa lalunya? Sedangkan melupa tidak semudah mengingat. Kenangan; semakin dilupa justru kian menyeruakkan banyak cerita yang ‘memaksa’ kita untuk mengingatnya—semanis dan sepahit apa pun. Layaknya huruf-huruf—bangkit—menyusun dirinya sendiri dari kepingan cerita lama yang mempertemukan mata penulis dan pembacanya seperti saat engkau membaca tulisan ini. Siapa pun. Entah sedang sendiri atau di keramaian yang paling sepi.


 


Sudah sejak dulu aku ingin hurufku melahirkan anak tulis yang tak sekadar bersembunyi dalam ketiak keraguanku, pun tak berdiam diri menutup anak tulis dari induk yang berbeda untuk membaca dan mendidik huruf-hurufku, tuturmu dalam Lelaku. Pagi itu, angin Jogja begitu sejuk. Barangkali sebelum tiba September hingga September mempertemukan dirinya lagi, banyak orang tersenyum, bercanda dan tertawa—atau kadang kegelisahan muncul tanpa ragu. Lelaku-mu—buku-bukumu—berkunjung ke meja pembaca, kamar yang amat dicintainya, atau ke suatu tempat yang bahkan kau tak pernah menjangkaunya. Mereka tersenyum percaya diri—sepertimu—diam-diam mengintip cerita melalui bening mata saat orang-orang membacanya. Selamat untuk pencapaian membahagiakan ini.


 


Tiga tahun lalu, Di Balik Selimut, kau seperti hendak bercerita tentang cita-cita, langit memang tak pernah aku kunjungi bahkan dengan cara terbang. Naik pesawat pun belum pernah. Tapi tiap hari aku memandang—langit yang berubah-ubah warnanya—yang misterius seolah menyembunyikan negeri lain dibaliknya. Barangkali terbang, tak semenyenangkan naik kereta mini sambil bercanda riang dengan teman-teman. Boleh jadi, anak kecil yang tengah menderita sakit sangat ingin bermain hujan meski hanya di halaman rumahnya sendiri. Maka tak ada yang perlu dirisaukan selama rasa syukur masih tertanam—menghujam dalam hati paling inti. Kau sempat mengajarkan rumus sederhana ini.


 


Sebagaimana sebuah pesan pena tercatat dalam Mengunjungi Hujan: ke mana pun tempat kau berkunjung, semoga tetap menjadi yang paling teduh dari apa pun. Sanata Dharma mencatatnya. Tapi, ruang selalu menyembunyikan masa lalu yang kerap hilang namun seringkali kedatangannya tak mampu diterka. Mereka menceritaka apa saja. Tidak cukup tentang Sambutan Orang Gila, Rekaman Supri, namun rahasia yang beselimut Di Balik Selimut, hingga nostalgia masa kanak, juga kecupan ibu berupa Tangisan Selatan Yogyakarta. Apakah kau juga kerap menitikkan air mata saat menuliskannya?


 


Aku ingin menjelma gadis kecil yang tak mengerti puisi-puisi cintamu. Hanya mafhum oleh penjelasan ibu yang boleh jadi sedang berbohong kepadaku. Kebohongan-kebohongan, Sayang, kadang terasa manis meski akhirnya mengiris. Seperti yang pernah kau catat dalam Agustus sebelum seseorang mengetikkan puisi dan kecanggungan berkata; percayalah, kita tak akan saling lupa… Tunggu! Jangan bicarakan perpisahan atau ketika harus mengingat kematian kakek, kau boleh jarang datang—asalkan pasti datang. Tidak… Bila Tuhan mengizinkan, teruslah di samping orang-orang yang kau sayang. Tinggallah dalam hatinya sebelum Tuhan mengambilnya kembali saat ia sungguh-sungguh sedang kesepian.


 


Meski pada akhirnya setiap orang akan ‘berjalan’ sendirian, namun Tuhan mengirim utusan. Dia sangat baik. Saat Asmaragama melayangkan puisimu jauh—menemui banyak orang—hinggap di dadanya yang tabah menerima ocehan kecil yang kadangkala merayu—aku ibu yang iba. Tapi cinta mengajarkan kita seperti hendak mencari jati dirinya sendiri, beralih menjadi dewasa, menapak Lelaku hingga terbang bertemu hujan. Katakan, apa yang paling kau inginkan di hidupmu? Apabila kehilanganlah yang lebih dulu singgah, apakah cukup menjejali kegundahan Siti—Tungku Tanpa Api—itu berseru, “aku ikhlas dia pergi, tapi tolonglah bawa aku seluruhnya pula kemanapun ia pergi.”


 


Aku tak bisa memahami apa pun selain pertemuan yang diam atau bila benar kejujuran—hanya tentang apa yang kau ceritakan. Maka catatlah apa yang belum kautahu ini bahwa hari saat aku mencintaimu adalah hari lahirku, ujar Nizar lewat buku terjemahan yang kau titipkan kepadaku. Apakah kita—setiap manusia—akan lahir dan lahir kembali setiap hari? Meski kemungkinan, kita lahir pada rahim waktu yang berbeda, sama, bahkan pada dimensi yang berbalik?


 


Aksaraku ini mungkin tidak akan sepanjang suaramu. Mungkin lain, catatan (yang buruk) ini ada sebab kelemahanku. Kau bisa memperlakukan sesukamu atau kita sesekali menjadi orang gila yang tak pernah merindukan jawab dari tanya yang juga tak pernah sungguh-sungguh ditanyakan. Apakah baiknya kita duduk di bawah pohon rindang sambil menggambar keraguan? Ah, tapi keraguan selalu menyelinap di benak keyakinan. Kau mengalihkan pembicaraan saat sepasang kekasih sedang kebingungan menemu jalan pulang. Masih di waktu yang sama, baris-baris puisi menghendaki kau sebagai isi dari segala kenang. Mengapa hujan mendadak turun?


 


Sudah ya, kau telah melihat (lagi)—di meja bundar itu—dua senja yang (suka) membisu dengan bahasa warnanya. Atau jika huruf-huruf merangkumku jadi perempuan pemalu yang hanya cerewet saat menulismu—atau menuliskan ibu, semoga kelak dapat memberanikan dirinya terbaca—keluar dari folder-folder beku, menjadi buku-buku, menghuni rumahmu yang seatap dengan rumahku. Di sana anak-anak kita akan dengan ramah mengucapkan selamat pagi, aku meracik musim baik, dan kau menjadi kamus bagi setiap istilah yang mengundang tanya anak-anak kita. Selamat untuk hidup dan perjalanan panjang ini. Selamat menebar cerita bagi November dan bulan-bulan berikutnya dengan bahagia. Selamat untuk masa lalu dan masa yang akan datang. Selamat menyambut baik setiap yang dicatatkan Pemilik Semesta. Bersama catatan ini, segala doa-doa kulampirkan di halaman langit. Semoga Tuhan berkenan memeluknya. Terima kasih untuk hidup yang menghidupkan kita. Maaf atas segala kegundahanmu. —Mutia Senja

05 Nov 2019 07:50
323
Yogyakarta, Indonesia
4 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: