Segala bunyi adalah puisi, katamu.

Bunyi ketika kau menangis atau tertawa adalah juga puisi—yang kadang aku menyebutnya naratif jenaka.

Kadang membuat kita tertawa tentang mengapa semuanya dapat terjadi.

Selalu dan tak bosan menciptakan pengulangan.

Akhirnya jejak masa lalu yang tertinggal adalah tapak kaki yang membawamu padaku—lengkap dengan suka duka yang mesti kita kayuh bersama.

Dingin pun tak pernah memaksa masuk ke kamarku yang terkunci.

Keberadaannya menyusup seperti keanehan yang kurang perlu kita pikirkan.

Kadang sesuatu yang tak kita pahami berlalu dan terjadi diluar kendali.

Kita menjadi akrab dan asing bahkan kepada diri sendiri.

Kau bercerita panjang yang mungkin belum pernah tuntas meski katamu, "sudah banyak aku bicara soal ini."

Aku pun sama, memejamkan mata sambil masih ingin mendengarkan kau bercerita tentang apa saja.

Aku memahaminya namun selalu tak peduli jika barangkali kau menganggapku tak paham, bosan, atau malas mendengarkan ketika bibirmu bercakap banyak hal.

Lihat, betapa kita begitu berbeda?

Malam penuh gang-gang buntu di kepalaku.

Kau menarik tanganku yang lagi-lagi mengajakku mencari jalan lain bagi kebingungan dan rasa dilema.

Kadang kau menjelma gang kecil yang hanya aku yang mampu menapakkan kaki, menyusuri jalan itu tanpa satu pun orang mengganggu.

Akulah itu—tumpahan air mata yang menjadi jernih ketika ketulusan menyentuhku.

Bahwa suka dan duka adalah dua hal yang sepatutnya kusyukuri.

Pelajaran kecil tentang bagaimana aku memahami sebuah cinta.

Tunggu.

Aku harus menghentikan tulisanku ketika kau ucapkan kesekian kali: sayang, hari ini kita akan selalu memulai lagi. Ayo, sama-sama aku.

2019