Ketika Puisi Tak Cukup sebagai Saksi
Resensi
Kutipan Resensi Ketika Puisi Tak Cukup sebagai Saksi
Karya mutiasenja
Baca selengkapnya di Penakota.id

Sedangkan di dalam tanah

Sesosok pria telah meninggal

Dan cacing telah memakannya

Tetapi tidak untuk cintanya

 

(di celah-celah batu nisan)

 

 

Ketika Puisi Tak Cukup sebagai Saksi*

 

               Menuju sebuah celah batu nisan saya justru dibuat takut dengan diri saya sendiri. Bukan oleh pemakaman, cacing-cacing liar, atau bahkan rupa jasad yang menakutkan itu. Tapi saya memberanikan diri menghampirinya demi membaca titik fokus sekumpulan puisi ini. Dingin dan gigil menyatu, menjadi selimut yang membuat saya merasakan ngilu hingga ke tulang. Kematian—menunjuk kita untuk kembali terbangun dari tidur yang panjang. Lalu kita akan merasakan bahwa sunyi dalam dekapan keramaian bagaikan sebuah kematian yang mengerikan. Maka cinta, adalah satu-satunya cara menapaki segala. Segala yang fana, menuju apa saja yang hakiki.

               “Aku ragu ada dan tiadaku, namun cinta mengumumkan, aku ada!” Lagi-lagi cinta. Wildan Syakirin mencoba menggabungkan segala perspektif dalam sebuah muara bernapaskan cinta. Puisi-puisinya tidak menggambarkan keraguan sebagaimana cinta manusia pada kekasihnya (pasangan). Lebih dari itu, saya menemukan dirinya sedang meraba-raba sebuah aksara beku yang kemudian dapat mencair saat itu pula ketika tersentuh tangannya. Berlebihan, memang. Tapi inilah cinta. Saya merasa keyakinan Wildan merasuki pikiran dan hati saya untuk menuliskan aksara ini. Meski hati-hati, saya tetap memegang jati diri saya sendiri. Saya harus membaca getaran hati. Inilah yang terjadi saat hendak memasuki ruang sunyi Wildan yang lebih dalam.

               Sebagai manusia biasa yang barangkali mendapat predikat sebagai penyair, saya merasa kikuk menghadapi puisi-puisi yang dipenuhi obituari dirinya sendiri. Sebuah ritual sunyi saya rasakan ketika membaca puisi singkat ini:


Hening


Seketika hening


               Bangsat memang! Saya tiba-tiba dibuat takut. Tidak dapat dipungkiri jika keadaan di sekitar membuat saya terdiam sangat lama. Apakah serupa inikah diriku yang sebenarnya? Sendiri? Lalu saya teringat kembali sebuah nisan yang hanya ada kegelapan, kesunyian, dan segala yang menuntut kita ketepatan waktu untuk mengenali diri sendiri. Tak peduli jika penyair mengelak adanya waktu yang tidak mengenal tepat. Ini seumpama Makna Aksara ketika kau tak akan pernah menemukan segalanya kecuali kekosongan itu sendiri. Tapi di sini Wildan menolak hal itu.

               Tiba-tiba saya teringat Sajak Kecil Tentang Cinta. Sapardi percaya jika untuk menjadi sesuatu, ia harus menjelma sesuatu dalam bentuk yang lain. Yang setara, yang seimbang sehingga ditemukan perwujudan cinta itu sebagai aku: mencintai angin harus menjadi siut/ mencintai air harus menjadi ricik/mencintai gunung harus menjadi terjal/ mencintai api harus menjadi jilat/ mencintai cakrawala harus menebas jarak/ mencintaimu harus menjelma aku//

               Senada dengan garis senyum puisi ini. Ada penjiwaan dalam tulisan yang cukup dengan dibaca dalam batin, makna itu menyusup diam-diam menyentuh organ yang bersembunyi di balik tubuh ringkih ini. Boleh jadi puisi Wildan hanya bercakap perihal lingkungan kecil di sekitarnya, tapi luas makna untuk mendayung ke muara seluas lautan. Ia diam-diam menjebak siapapun yang membacanya—seperti laba-laba yang menaruh jaringnya demi memangsa serangga malang.


Kau tak akan pernah menemukan batu mulia

Jika kau tak menggalinya


Kau tak akan pernah menemukan mutiara

Jika kau tak menyelaminya


Kau tak akan pernah menemukan makna aksara

Jika kau tak menghayatinya


(Makna Aksara)


               Perlahan, tanpa tertatih. Sebagai pembaca puisi terkhusus karya-karya penyair yang lahir di negara tercinta, saya yakin Candra Malik atau barangkali Usman Arrumy memberi petuah melalui perantara angin yang membuat Wildan meyakini betul puisi-puisinya. Ada sentuhan yang mencoba merangkak lewat jendela jiwa yang lembut. Meski terkadang berdampak pada koyak setelah rampung menjajal adrenalin yang ‘menghanyutkan’ ini. Sedap!

               Tak banyak berkoar mengapa Serahkanlah akhirnya menjadi semacam bentuk ketidakberdayaan. Oh bukan. Lebih tepatnya, Wildan sedang menemu jalan pulang:


Terusir, terusir, terukir

Tersirat, tersirat, tersurat


Serahkanlah


Rekah, rekah, berkah

Lelah, lelah, lillah


(Serahkanlah)


               Mendadak saya malu-malu menuliskan catatan kecil tentang Benjamin Franklin, Shakespeare atau George Bernard Shaw, atau Edmund Burke sebagaimana penyair yang banyak mengumandangkan sajaknya di sebuah wilayah bernama Tasikmalaya. Tidak masalah, memang. Tetapi dengan masih menyimpan canggung saya mengakui bahwa kekuatan puisi ini utuh berasal dari Wildan Syakirin sendiri. Keluar dari zona perihal tokoh-tokoh barat yang ‘menipu’, buku ini adalah lokasi di mana Wildan tinggal dan menguasai daerahnya sendiri. Ya, apa-apa yang dikehendakinya.

               Lagi-lagi saya terdiam mendapati Hanya Puisi Yang Tahu. Ini mengingatkan saya perihal sebuah puisi pendek yang saya beri berjudul Hanya Tuhan Yang Tahu. Utuh, sejajar, dan tidak memerlukan penjelasan. Puisi adalah Tuhan. Tuhan adalah puisi. Persis ketika menemukan cinta dalam ketidaktahuan, justru puisi menjawabnya. Tapi bagi saya, puisi tetap tidak cukup menjadi saksi. Tidak selamanya puisi tumbuh sebagaimana urat nadi. Di sela-selanya, milyaran partikel menghuni detak kecil yang tidak terdengar manusia, bahkan tak sampai mata melihatnya. Tapi ujung darah mana yang menemu rumah selain tanah?

               Potongan mungil dari sajaknya berbunyi:


Aku punya banyak partikel rindu di ubun-ubunku

Hanya puisi yang tahu

Karena kertas dan tinta selalu membisikinya


(Hanya Puisi Yang Tahu)


               Begitulah cara Wildan membangun wilayah kecil untuk dirinya sendiri. Ia menjadi kepala, tangan, kaki, telinga, dan semua organ yang tersembunyi. Tidak ada keraguan kecuali menuliskannnya menjadi puisi. Meskipun saya yakin suara Wildan umpama bunga mekar di halaman, ia tahu untuk siapa nektar dan wanginya dipersembahkan. Tapi dia laki-laki, barangkali penyair lebih tahu bagaimana aral terjal yang seharusnya dituju. Maka inilah sebait dungu dari kicauan maha rendah. Saya tak hanya belajar membaca sajak yang Wildan tulis, mengolahnya dalam pikiran, dan muncul dari lubuk terdalam. Tetapi saya menemukan kerendahan hati yang lain—dengan perwujudan yang lain muncul di celah-celah puisi ini. Benarkah saya sedang berada di celah-celah batu nisan? Jangan-jangan? Ini jebakan!


 

 

 

Sragen, 12 Maret 2019

 

  

*sebuah Prolog untuk Buku "Di Celah-Celah Batu Nisan" karya Wildan Syakirin.

22 Apr 2020 21:20
80
Surakarta, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia
1 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: