Memilikimu, Sama Saja dengan Mati
Cerpen
Kutipan Cerpen Memilikimu, Sama Saja dengan Mati
Karya nnsnvprtw
Baca selengkapnya di Penakota.id
Kata orang, kami berdua sangat cocok. Kami tinggal bersama, kemana-mana selalu berdua. Apapun yang dilakukan, aku akan selalu mendampingi Giyanti. Termasuk makan bersama, tidur bersama, bahkan kadang mandi sama-sama. Aku tau Giyanti mencintaiku, seperti aku mencintainya.

Hidup kami bahagia. Tidak ada yang harus kupikirkan atau khawatirkan. Semua tersedia. Ayah dan Ibuku sudah mati. Tapi Giyanti masih punya Ayah, yang juga sayang padaku. Ayahnya bekerja di kebun Ibu Darliah. Setiap hari, selalu ada saja makanan yang dibawanya. Giyanti menjadi tukang cuci di rumah itu. Aku juga ikut kalau Ia bekerja. Kadang aku membantu memungut baju-baju kotor yang tercecer di sekeliling kamar. Aku tidak pernah meminta apa-apa, aku tidak butuh barang-barang mewah. Kurasa Giyanti pun begitu. Ia tidak pernah meminta apa-apa dariku selain sikapku yang baik. Asal aku setia, itu sudah cukup. Itulah mengapa kami tidak pernah bertengkar. Giyanti selalu suka jika aku membawakan bunga liar yang kutemukan di jalan. Dan akupun dengan senang hati akan selalu membahagiakannya.

***

Sudah 3 tahun kami hidup bersama. Giyanti menemukanku saat hidupku berantakan. Ayah dan Ibuku mati dibunuh perampok. Mereka ditusuk di depan mataku. Namun, aku berhasil melawan dan kabur. Aku lari. Sejauh aku bisa. Kuputuskan hidup di pinggir jalan, mengais makanan dari sana sini. Kadang aku bertengkar dengan pemulung untuk berebut sisa makanan di tempat sampah. Kau tau? Sisa makanan yang ada di tempat sampah semuanya bau busuk. Rasanya seperti muntahan. Tapi aku harus makan, untuk hidup.

Berbulan-bulan aku hidup seperti mayat hidup. Badanku tinggal tulang berbalut kulit. Aku muak mencari makanan di tempat sampah sampai harus ditendang kelompok gelandangan atau pemulung. Jadi, hari itu kuputuskan untuk masuk ke restoran cepat saji, mungkin satu atau dua daging bisa kumakan dari situ. Aku mencoba mengubah peruntunganku hari itu. Kalau aku berhasil, maka aku akan terus mencari makan dari restoran cepat saji.

Hari itu kulihat tidak banyak pengunjung, mungkin ini bukan hari makan bersama di luar rumah. Atau mereka tau kalau terlalu banyak makan makanan cepat saji akan membuat mereka cepat mati. Ah memang ini sudah ditakdirkan Tuhan bagi nasib baikku.

Setelah seharian memperhatikan dan meneliti bangunan restoran itu. Aku membuat rencana. Aku tidak ingin mengajak siapa-siapa. Tidak ada lagi yang kupercaya di dunia ini. Selain itu aku sudah terbiasa sendiri menghadapi semua siksaan hidup.

Malam itu, pukul sebelas kira-kira, aku mulai mengendap lewat ventilasi atas. Setelah berhasil masuk, aku segera mencari tempat di mana mereka menyimpan daging yang lezat itu, yang selalu kulihat di iklan setiap hari. Tapi, selagi aku menyusuri lorong, sialnya ada pekerja yang sedang memasukkan sayuran ke kulkas. Lalu ia melihatku. Seketika, segalanya menjadi gelap. Dan ketika terbangun, aku sudah berada di gerobak sampah yang sepertinya berjalan ke suatu tempat. Aku ingin lari dan lompat, tapi kepalaku teramat pusing. Jadi kuputuskan untuk mengikuti kemana gerobak ini pergi. Matipun tak apa. Toh kalau bisa kembali bertemu Ayah dan Ibuku, aku akan menjabat kematian itu.

Setelah cukup lama aku terbaring, rasanya gerobak itu sudah berhenti bergerak. Si pemilik sepertinya tidak tau kalau aku ada di dalam situ. Baguslah. Aku juga tak mau repot-repot mencarinya. Kulihat langit sudah mulai membiru. Semburat sinar matahari muncul dari timur. Aah..magis sekali..sayang, aku menikmatinya dari gerobak sampah.
Tiba-tiba kudengar suara wanita cempreng dari arah yang tidak jauh, kuintip lewat lubang di gerobak, ah wanita paruhbaya memakai daster dengan wajah masam. Aku pernah melihat wanita seperti itu ketika dulu pergi ke pasar. Cuma wanita yang ini tidak mengempit dompet di ketiaknya. Terlihat jelas wanita itu sedang kesal atau marah, tangannya terlipat di dada. Lalu si laki-laki tua beruban juga berwajah masam, tapi Ia terlihat tak peduli. Sambil menurunkan karung besar yang Ia bawa di pundaknya, Ia ikut misuh-misuh di depan wanita itu. Ah..dialah pemilik gerobak sampah ini. Lalu kulihat Ia berbalik menuju ke arahku. Sial. Aku harus lari. Aku sudah lelah berurusan dengan orang-orang seperti mereka.

Seketika, aku sudah berlari tergopoh-gopoh. Kau tau, aku siap mati. Tapi aku tak mau mati di tangan pemulung. Bolehkan kalau aku berharap bisa mati dengan tenang? Mungkin kalau kematianku begitu syahdu, aku bisa terlahir kembali. Tapi, diam-diam aku juga iri dengan kematian Ibu dan Ayahku, mereka begitu cepat mati. Tanpa harus tersiksa.

Karena keasikan melamun, aku tak sadar kalau aku masuk ke sebuah ladang singkong dan kebun. Cukup luas dan terurus. Tiba-tiba, kruuuuk..perutku berbunyi. Aku lupa aku belum makan apa-apa sejak tadi malam. Pantas saja aku bisa melamun enak tentang kematian. Mungkin aku bisa ambil sesuatu yang bisa dimakan dari sini.

Saat mengamati sekitar kebun, tiba-tiba kulihat seorang wanita keluar dari pintu rumah reyot. Kutaksir usianya belum tua seperti wanita yang marah-marah tadi. Pasti yang ini usianya lebih muda. Ia berjalan ke arah sumur, sambil membawa setumpuk pakaian. Tapi, karena tumpukan pakaian yang dibawanya jauh lebih tinggi dari badannya, Ia oleng, lalu ambruk bersama pakaian-pakaian itu. Dengan cekatan Ia segera duduk dan memungutinya. Entah kenapa, kakiku tiba-tiba berjalan ke arahnya, lalu membantunya memunguti pakaian. Selang beberapa detik, Ia menoleh, kupikir Ia akan memukulku, tapi tidak, Ia tersenyum. Senyum yang sangat manis. Dan itu kali pertama aku bertemu Giyanti.

***
Seminggu setelah itu, aku resmi tinggal bersama Giyanti, katanya “Aku kesepian. Tinggallah bersamaku dan Ayahku”. Tanpa pikir panjang, aku mengiyakan permintaannya. Kulihat Ia begitu rapuh. Dan akupun yakin Ia tak akan menyakitiku. Seperti aku yang tak akan pernah melukainya.

Sejak aku tinggal di rumah Giyanti, hidupku berubah. Badanku sudah mulai agak gemuk. Giyanti pun ikut senang. Setiap hari kami selalu melakukan segalanya bersama-sama. Tak ada satu detikpun kulewati sendirian. Kecuali ketika Ia bilang ingin buang air di jamban. Kupikir, inilah akhir ceritaku. Bahagia. Tanpa kesedihan dan dihantui kematian Ayah dan Ibuku. Aku rela mati di pelukan Giyanti, atau mati untuk Giyanti. Bagiku, itu adalah hal paling terhormat jika kita bisa mati untuk orang yang kita cintai.

Tapi, Tuhan dan semesta seperti tidak menjawab doaku. Pagi itu di bulan Juni, Ayah Giyanti terlihat murung. Ada sesuatu yang ingin Ia bicarakan dengan Giyanti.
“Nduk, Ayahmu ini sudah renta. Hidupnya pasti sudah ndak lama lagi. Yaa..paling satu atau dua tahun lagi Ayah sudah dipanggil Gusti Alloh”, kata Ayah sambil menggenggam tangan Giyanti. “Hus! Ngomong opo toh! Jangan suka sembarangan ah kalo ngomong! Nanti doanya didengar Yang Di Atas, baru tau rasa Ayah!”, jawab Giyanti sambil menarik tangannya. “Lah..itu bukan asal ngomong, Nduk. Namanya umur siapa yang tau kan?”, kata Ayah dengan senyum kecilnya. “Ya ndak usah omongin itu dulu toh, Yah! Yanti mau masak air dulu untuk Ayah mandi. Pagi-pagi sudah ngomongin mati!”, jawab Giyanti ketus. Ketika Ia hendak berdiri, Ayahnya menarik tangannya, “Nduk, kamu itu sudah harus kawin. Kalo Ayah mati, ada yang jaga dan urus kamu nanti.” Giyanti mengerutkan alisnya, “Ya nanti juga kawin kalo sudah ada calonnya!”. Lalu Ayah berdiri, mengambil tas lusuhnya dan mengeluarkan selembar foto, “Nah, kamu masih inget toh sama Pak De Rustam? Dia punya anak lanang gagah, Nduk, namanya Tirto. Umurnya baru 32 dan dia punya usaha narik delman sendiri. Lumayan lah untuk jadi bojomu, ini fotonya”.
Giyanti bingung, tapi Ia tetap mengambil foto itu.

Aku, yang berada persis di depan pintu, tak percaya dengan apa yang kudengar. Apa-apaan ini?! Bukankah hidup Giyanti sudah cukup walaupun hanya denganku?! Kutarik Giyanti untuk menyudahi percakapannya. Tapi Ia malah menepis dan menyuruhku keluar. Gila! Aku tak percaya! Lalu kucoba sekali lagi menariknya keluar, tapi pukulan Ayah malah mendarat di wajahku. Giyanti kaget. Tapi, Ia bergeming. Aku lari. Lari sekencang-kencangnya. Semua mimpiku hancur. Apa artinya tiga tahun kebersamaan kami?! Kenapa Ia tidak mau ikut denganku ketika aku memaksanya keluar?! Apa dia juga berpikir ingin menikah?! Ah, persetan! Kenapa di dunia ini harus ada pernikahan?! Kami saling cinta, apa itu saja tak cukup kuat?! Bajingan!

Sejak itu aku selalu berbuat onar di rumah Giyanti. Termasuk di kebun Ibu Darliah. Tak jarang, ku rusak beberapa tanaman sayurnya. Atau kali lain, ku kotori baju-bajunya. Giyanti marah besar. Marah yang tak pernah kulihat. Aku melakukan ini supaya Ia tau kalau aku tak suka Ia menyetujui perkawinannya dengan laki-laki bangsat itu! Ia memang belum mengiyakan, tapi Ia tak terlihat menolaknya! Rasanya aku mau meledak setiap hari! Ayah selalu membicarakan laki-laki busuk itu setiap kali Giyanti sedang bersamaku. Setiap itu juga aku langsung menarik Giyanti atau berbuat onar di rumah. Hingga puncaknya, Ayah mengusirku. Dengan nada bicara yang amat sangat tinggi dan menakutkan, Ia mengambil parang dan diarahkan kepadaku. Ia bilang aku harus pergi kalau sudah tidak berlaku baik lagi di rumah. Giyanti memohon dan menangis. Tapi Ayah semakin marah. Ia nyaris benar-benar membunuhku seketika. Tapi Giyanti berteriak. Lalu, Ia memintaku pergi. Sejauh mungkin.

Aku tak punya pilihan. Aku pergi. Tapi, aku tak meninggalkan kampung. Aku ingin kembali. Aku tak bisa hidup tanpa Giyanti. Mungkin besok, Ayah akan memaafkanku. Maka kuputuskan untuk bermalam di salah satu pos hansip yang selalu kosong.

***

Keesokan harinya aku terbangun oleh desas-desus orang sekampung. Katanya, Giyanti akan dibawa ke kampung sebelah untuk dikawinkan di masjid sana dengan si Tirto. Jantungku berdebar. Darahku seperti mengalir deras. Aku menggertakkan gigiku.

Aku berlari, sekencang mungkin menuju rumah Giyanti. Tapi rumah itu sudah kosong dan terkunci. Lalu kulihat jejak ban sepeda tua mengarah ke alun-alun. Aku mengikutinya. Aku yakin ini sepeda yang membawa Giyanti pergi.

Benar saja, setelah berlari tanpa henti, aku menemukan Giyanti diboncengi Ayah dengan sepeda rongsok. Kupanggil Giyanti. Ia menoleh. Matanya terbelalak. Spontan, Ia menepuk punggung Ayah dan memintanya berhenti. Ayah menoleh. Ia melihatku, lalu turun dari sepeda. Kemudian wajahnya berubah menjadi merah dan marah. Aku menerjangnya dan berhasil menimpanya. Tapi, Ia berhasil melemparku ke samping. Kemudian menendangku sekeras mungkin. Giyanti menangis. Aku meringis kesakitan. Lalu kulihat Ayah bersiap lagi dengan sepedanya sambil menyuruh Giyanti naik.

“Edan!! DASAR ANJING GILA!!”, maki Ayah sambil mengayuh sepeda. Aku terkapar. Keempat kakiku lemas. Aku melihat Giyanti menangis dan menjauh. Aku melolong kesakitan. Tubuhku sakit. Hatiku lebih sakit. Aku berharap aku mati saat itu juga. Lalu, entah dari mana asalnya, aku ingat perkataan Ibuku, “Jika kamu sudah menghadapi ujung usiamu, mintalah untuk hidup kembali menjadi wujud yang berbeda. Yakini saja itu. Itu adalah salah satu cara makhluk seperti kita bertahan hidup. Ibu dengar itu dari para Pedanda di Pura sewaktu Ibu kecil”.

Segera aku terkesiap. Aku harus mati, demi memiliki Giyanti. Kemudian aku berlari. Berlari kencang menuju tebing. Tak jauh dari situ, ada hutan yang memagari tebing curam. Ya, ketika sampai, aku tak menghentikan langkah kakiku. Aku terus berlari menyongsong jurang, aku siap terjun ke laut sambil kuniatkan sesuatu yang tak pernah terpikirkan sedikitpun olehku sejak kecil: aku ingin terlahir menjadi seorang laki-laki.

***
09 Jan 2018 08:13
444
Cilandak, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta
1 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: