oranment
play icon
Bayangan Itu Hanya Satu Warna
Cerpen
Kutipan Cerpen Bayangan Itu Hanya Satu Warna
Karya novrinasnur
Baca selengkapnya di Penakota.id

Mereka mentertawai bayangan, mengartikan segalanya dengan absurd dan tak memiliki warna yang jelas. Melihat sekitar mencari bayangan untuk tertawa lebih kencang, makin kencang, bahkan sangat kencang.

Aku masih mengikuti alur cerita tentang harapan, ketidakpastian, dan mungkin sedikit kepercayaan. Mereka (bayang-bayang) masih menarik untuk ditertawakan, tapi apakah aku akan terkukung dalam waktu yang lama untuk menertawakan setiap bayang yang aku lihat? Tapi kali ini saat aku mulai mengikuti alur, mereka balik menertawakanku, adakah yang lucu dariku?

………..

Pagi yang cerah tapi tidak secerah pikirku. Ibu, ayah, adik-adikku, berkata hal yang sama “hari ini cerah, hari ini cerah, hari ini cerah” sampai aku bosan mendengarnya. Mereka tak berteriak-teriak seperti itupun aku mengerti hari ini cerah dari suara burung-burung yang hinggap di pelataran rumah lalu mereka bersenda gurau bersama yang lain menceritakan mimpi indahnya tadi malam, sesekali menceritakan sanak keluarganya, meskipun akupun tak tau apa yang mereka bicarakan. Berbeda lagi jika hari tak cerah, keadaan rumah seperti bunyi tv yang ditekan tombol mute, hening tak ada yang berteriak seperti biasanya, tapi itu dulu.

 Hari ini pun tak ada yang meneriakan suaranya, hanya suara kilat yang beradu cepat memainkan iramanya menciptakan notasi-notasi mayor memekakan telinga. Mungkin mereka marah, tapi apa yang mereka marahkan?

Pagi ini aku duduk diatas kasur, ditemani boneka panda dengan tinggi setengah lengan dengan corak putih hitam dan daun suji dimulutnya, warna yang indah. Beberapa saat berselang rambatan serangga bergerak perlahan diatas lenganku “hmm mungkin itu semut, ya mungkin itu semut”. Tapi apa warnanya? Semut merah atau hitam, entahlah akupun tak bisa membedakannya, yang penting aku tak merasa sendirian lagi dipagi ini.

knock,knock,knock….” Suara pintu diketuk secara perlahan dengan irama yang konstan.

“yah, itu ayah bukan”

“bukan non, ini bibi. Non udah bangun”

“udah bi, masuk saja”

“ini non bibi bawakan tongkatnya, kemarin kan patah katanya”

“Ya sudah kuduga bibi akan membawakan barang itu”,

Mungkin saat ini sosok bibi lah yang menemani kesendirianku di rumah akhir-akhir ini setelah 1 tahun lalu dokter memvonisku menderita penyakit Glaukoma . Sebuah penyakit yang menyerang setiap saraf didalam organ mataku, menghilangkan setiap warna cerah secara perlahan hingga hanya satu warna yang terdapat dipandanganku yaitu hitam. Sudah satu tahun bibi membantu memastikan obat terminum tepat waktu, obat tetes mata selalu menetes 3 kali sehari dan satu minggu sekali terapi laser retina untuk mengembalikan fungsi saraf yang terputus. Tapi kurasa itu hanya membuang waktu saja.

Kembali ke pagi hari, Ya benar hari itu tak ada yang meneriakan suaranya, sudah 3 bulan tidak ada suara yang terdengar dirumah ini. Semenjak perpisahan kedua orang tuaku suara itupun hilang, suara dimana kebahagiaan, kesenangan, dan ketenangan dicampur dalam satu kemasan sederhana yang tak pernah bosan kudengar tiap pagi,

”aku rindu suara berisik mereka”.

“non sarapan pagi dulu yuk” sela bibi dilamunan ku

“tidak bi, aku tidak lapar. Oh iya bi apakah ibu atau ayah tidak berkunjung hari ini?”

“tidak non yang bibi tau, mereka masih diluar kota ayah ke Jepara dan ibu ke Surabaya.”

“bi aku ingin bertanya, apakah tuhan tidak sayang padaku? mengapa mereka merampas semuanya dariku?”

“non gak boleh nanya seperti itu, tuhan sayang non kok. Tuhan juga gak merempas semuanya non masih punya bibi”

Saat itu kurasakan hangatnya pelukan kasih sayang, meskipun kutahu itu bukan dari ibuku, tapi aku merasa sosok itu mewakili ibu yang entah kemana. Tetesan air kurasakan terjatuh dilengan kananku, aku tau saat itu bibi menangis. Tapi mengapa ia menangis?

………

Pandangan satu warna ini sangat mengganggu, menghalangi semua aktifitas yang biasa dapat kulakukan dengan mudah tanpa meminta tolong orang lain. Sekolah mungkin adalah tempat yang indah, tempat riang bersama teman mencurahkan keinginan, menyalurkan bakat, serta menerima ilmu. Tapi itu dulu satu tahun yang lalu, mungkin sekarang mereka malu pernah mengenal diriku. Diriku yang hanya dapat melihat satu warna tanpa objek-objek dasarnya. Diriku yang tak bisa membantu siapapun malah membutuhkan bantuan saat melakukan apapun, dan diriku yang merasa sendiri dalam kegelapan yang ramai disekitarku.

Mungin ini balasan atas perbuatanku dimasa lalu atau entahlah, akupun tak ingin mengingat apapun yang berada dimasa lalu mereka seperti hantu yang akan merusak masa depanku, yang jelas sekarang banyak orang tertawa didalam bayang-bayangku, mereka hitam tanpa wujud dengan suara keras mengolok-olok keterbatasan yang aku miliki.

“Siapa yang merokok?”

“Maaf, saya yang merokok. Anda terganggu?”

“iya saya terganggu, bisa tolong dimatikan atau saya pergi dari sini?”

“oke sebentar saya matikan, maaf saya tidak mengetahui ada anda dibelakang saya.”

Minggu sore ditaman yang redup disamping lampu taman berbentuk bohlam besar dengan sorot cahaya terbatas berlomba memberikan penerangan melawan mega yang merah, itu satu tahun lalu saat aku berada ditempat yang sama dan diwaktu yang sama, dan sekarang kuharap masih sama. Dulu kutahu kursi itu hanya satu jajar, dibelakang ada danau kecil buatan dan sekeluarga bebek sedang mengajari anak-anaknya berenang tapi sekarang ada dua kursi jajar serta saling membelakangi.

“Apa yang kamu lakukan disore ini? mengapa kamu tak pulang?”

“itu urusanku bukan urusanmu, permisi saya duluan”

“nona janganlah marah, saya kan sudah meminta maaf atas rokok tadi, oke mari saya antar pulang.”

“tidak usah saya pulang sendiri” meraba kekanan-kekiri mencari tongkat yang harusnya ada disebelah kananku.

“nona mencari ini! Ini terjatuh mari saya antar pulang. Saya memaksa, anggap saja permohonan maaf atas asap rokok tadi.

Tak kusangka masih ada yang memperdulikanku, suaranya lembut tak keras tapi memberitahukan ketegasannya. Ia tahu aku berjalan dengan menggunakan alat bantu tapi ia tak bertanya sedikitpun masalah itu padaku, padahal setiap orang akan menanyakan hal tersebut, tapi ia tidak. Ia tak menggenggam tanganku tapi kurasakan tutur bahasanya menggenggamku agar aku tak tersesat ditaman itu. Alam bawah sadarku mengatakan ia baik.

“Cat biru, nomer 37. Ada sangkar burung nuri didekat gerbang. Kita sampai”

“maaf semenjak anda mengantar saya, saya belum mengetahui nama anda. siapa nama anda?”

“oh iya saya lupa memperkenalkan nama saya, saya Remi. salam kenal. Sudah malam saya pamit . Sampai jumpa lagi.”

………..

Remi, semenjak pertemuan minggu sore itu ia sosok pria yang selalu terbayang dipikiranku, tapi seperti apa ia? aku mencoba menggambarnya dalam pikiranku. Mencoba menginpretasikan suaranya menjadi suatu wujud yang hanya aku dan tuhan tau bagaimana hasilnya, aku mulai dari matanya yang datar tetapi agak serius, rambutnya yang dibelah pinggir kekanan, sampai bibirnya yang tipis ranum merah. Aku menggambarnya dalam pikiran. Selain sosoknya sering hadir dimimpiku Remi juga hadir dirumahku, ingin mampir katanya. Aku tak pernah peduli dengan alasannya tapi yang jelas aku nyaman dan tak merasa sendiri saat ia mampir kerumahku, ia membawakan tawa kembali pada hidupku. Aku merasa dipeluk dalam obrolan itu meskipun aku tau ia tak melakukannya, mungkin 25 menit berbincang bersamanya menjadi 25 menit indah dihari itu. Aku rasa aku mencintainya, ternyata benar cinta itu buta. Hanya dengan mendengar suaranya tanpa wujud apapun, hanya warna hitam, sejak saat itu aku mulai menyukai warna hitam itu.

“Mau minum apa mas remi?”

“Air putih aja, mas gak lama kok hari ini mampirnya”

“mau kemana memang?”

“tidak kemana-mana hanya ada urusan saja”

Urusan, benar saja kata itu membuat sosok pria yang membuatku nyaman hilang. Tanpa kata perpisahan apapun, tanpa jabat tangan terakhir, tanpa sapaan diakhir, dan tanpa kata cinta ia pergi. Satu lagi kesenangan dalam hidupku hilang. Apa yang akan kuperbuat setelah ini? Dunia ini agak terasa tak adil untukku. Padahal baru sebentar kesenangan itu terasa.

……………

Tiga bulan sudah Remi sosok pria lembut dengan karakter tegas, humoris dan sedikit konyol hilang tidak ada kabar, tak ada arti yang berkesan untuk dimaknai, tak ada yang perlu dimengerti tentang persoalan-persoalan dengan konflik standar, dan tak ada kata-kata kiasan yang dapat menutupi kegundahan yang tak terobati.

“lebih baik aku tidur, aku butuh istirahat menenangkan semuanya”

“Hari ini cerah, hari ini cerah, hari ini cerah. Knock,knock,knock nak bangun nak hari ini cerah.”

Hari ini cerah? berisik sekali diluar, tapi siapa yang berisik seperti itu. Ini bukan mimpi aku sadar aku juga baru bangun. Apa ayah dan ibu berkunjunng sepagi ini?

“Hari ini cerah, hari ini cerah, hari ini cerah. Knock,knock,knock non bangun non banyak orang diluar.”

Banyak? siapa saja suara diluar lebih dari 4 orang siapa saja yang berkunjung?

“Hari ini cerah, hari ini cerah, harin ini cerah. Knock,knock,knock hei bangun tenang aku tidak merokok pagi ini.”

Seperti suara Remi, apakah itu dia?

“Selamat ulang tahun kami ucapkan, selamat sejahtera kita kan doakan, selamat ulang tahun kami ucapkan, selamat panjang umur dan bahagia”

Pagi itu mungkin menjadi pagi terindahku seumur hidup, akupun bersyukur atas kekurangan ataupun kelebihan yang ada pada diriku. Dan aku baru sadar banyak yang memperhatikan aku selama ini.

………….

Aku masih mengikuti alur cerita, menambahkan bumbu-bumbu penyedap dalam setiap konflik, dan meramunya mencapai hal yang sulit ditebak. Sekarang aku mulai bersahabat dengan mereka (bayang-bayang) mengakrabkan kebersamaan, dan tertawa bersama dengannya. Mereka sangat menyenangkan. Dan yang jelas cinta bukan sekedar kata-kata tapi tindakan dari angka 0 yang berubah menjadi 1.

END


calendar
07 Oct 2019 13:59
view
198
wisataliterasi
Bogor, Jawa Barat, Indonesia
idle liked
2 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
close
instagram
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
close
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh:
example ig