Pundak-pundak di dekatnya getar gempa
Petaka ini mengguncang mereka lagi
Dari beranda, dayu kedasih tak terdengar hingga nyaring.
Pelan berbisik, mengapa?
Mengapa air mata selalu susur sungai?
Mengapa pula kita harus mengayuhnya dengan
lengan sendiri?
Dan hari depan, musim tak akan lagi sama di rumah ini
Kau membakar tubuh kawanku, tetapi kobar juga menghanguskan dadaku
Adakah seorang yang terbebas dari cela-dosa?
Kaulihat sendiri durjana menikam durjana
Dan di telapak telah tergenggam Izrail seraya mengacung jari, "Akulah pengadil! Akulah pengadil!"
Tapi bajing seorang jaharu tak tahu hukum setimpal!
Tanah celincing akan dikenang jadi sejarah purba
Sisa abu Mira akan melesap di bawah cahaya
Mira, aku terluka
Kematianmu, kekal amarah kami meski di dalam sujud terbenam doa
Serbuk bedakmu tak akan mengikis terembus waktu
Dan rona pipimu, Mira,
akan tertinggal pada bekas gincu di cermin kusam itu
Puisi untuk saudara transpuanku, Mira, yang mati terbakar hidup-hidup oleh 7 orang Bajing Loncat di daerah Celincing, Jakarta Utara pada Sabtu, 4 April 2020. Setelah dipukuli dan dianiaya, tubuhnya disiram bensin lalu para pelaku membakarnya.