Balada Jilbab 3 Generasi
Cerpen
Kutipan Cerpen Balada Jilbab 3 Generasi
Karya rmezaya
Baca selengkapnya di Penakota.id
Waktu itu tahun 2012. Sudah kali ketiga aku menghabiskan setengah hari sekolahku di ruang guru pada minggu itu. Rasanya sudah menjadi rutinitas baruku: masuk kelas di pelajaran pertama, dikirim ke ruang guru pada istirahat pendek, mendengar ancaman halus sampai caci maki hingga waktunya istirahat panjang, lalu dikirim pulang pada bel pukul dua. Ini sungguh mengganggu! Aku sangat ingin bisa masuk jurusan IPA ketika kenaikan kelas tahun depan. Nilai-nilaiku harus di atas rata-rata! Bagaimana mungkin aku bisa mengikuti pelajaran dan mendapatkan nilai terbaik jika aku tak bisa ada di kelas?

Sesaat aku tergoda untuk menuruti saja apa maunya bapak dan ibu guru yang terhormat. Kalau aku turuti, pasti aku bisa bebas dari siksaan harus duduk di kursi bobrok tak seimbang di pojok ruang guru selama berjam-jam, mendengarkan petuah maupun hinaan. Kalau aku ikuti perintah mereka, pasti aku bisa kembali fokus ke pelajaranku dan kembali menjadi murid kesayangan para guru yang dipuja-puji karena prestasi lomba debat nasionalku. Tapi rasanya berat sekali membayangkan aku mengkhianati kepercayaanku. Rasanya pikiranku akan runtuh dan hatiku akan terpecah belah jika aku tidak bertahan dan hanya ikut apa kata orang.

Jilbab. Inilah sumber semua kekusutan ini. Sejak para wakil rakyat di kabupatenku menerbitkan aturan jilbab sebagai bagian dari seragam sekolah, aku dan seluruh siswi sekolah negeri di Bako Timur harus memakai jilbab ke sekolah. Sejak saat itu pula statusku di sekolah berubah dari siswi teladan menjadi anak pembangkang. Semua karena aku tidak mau berseragam jilbab. Rasa mual akibat menahan berontaknya pikiranku selalu terasa setiap kali aku disodori kain putih segi empat yang seharusnya menutupi kepalaku. Nampaknya menjadi nasionalis saat itu berarti berarti mendahulukan ketuhanan yang maha esa sebagaimana diartikan oleh sesama.

Kafir kau! Ungkapan itu hanya satu dari bermacam hinaan yang diucapkan bapak dan ibu guru yang kuhormati setiap kali kulantunkan mantraku: ini adalah rambutku, badanku, hidupku dan matiku. Kemudian dengan panjang lebar mereka memberikan petuah dan menjelaskan wajibnya berjilbab menurut agama, dan juga menurut Perda sekarang. Di mata mereka aku telah melanggar hukum dunia maupun hukum akhirat. Telinga mereka tak bisa mendengar suara bergetarku yang menahan tangis sembari menggaungkan hak-hak kebebasanku. Hari ini, ancaman semakin berat: pengusiran dari sekolah.

Waktu itu tahun 1982. Sudah kali ketiga ibuku menghabiskan setengah hari sekolahnya di ruang guru minggu itu. Air matanya sudah kering di pipi namun rasa sakit di hatinya masih basah dan perih. Ibuku melihat para guru itu satu per satu. Ini adalah wajah-wajah manusia yang dulu menjadi panutannya, yang senantiasa mendukung sampai ia berhasil terpilih menjadi Paskibraka tingkat nasional, dan memuji prestasinya mempertahankan ranking 1 di SMA unggulan itu. Namun hari itu, wajah-wajah di hadapan ibuku memperlihatkan kemurkaan dan kebencian yang belum pernah dilihatnya.

Makar kau! Tudingan itu terlontar untuk ibuku yang masih remaja belia. Arti kata makar saja ia tidak mengerti betul. Kemudian para guru menjelaskan panjang lebar pentingnya mengikuti aturan pemerintah dan perlunya berhati-hati agar tidak jadi orang yang terlalu religius. “Bahaya untuk bangsa,” katanya. Mereka tidak habis pikir mengapa ibuku bisa terpengaruh oleh orang-orang sesat sehingga berani melanggar aturan negara.

Jilbab. Itu jugalah sumber kekusutan hidup ibuku di kala itu. Sejak Kementerian Pendidikan menerbitkan aturan tentang seragam nasional, para siswi sekolah negeri dilarang memakai jilbab karena dianggap tidak sesuai dengan seragam yang seharusnya. Padahal beberapa bulan sebelumnya ibuku baru saja mengumpulkan segenap keberanian untuk menjalankan apa yang ia percaya sebagai kewajibannya sebagai umat Tuhannya. Keberanian untuk menutup aurat yang saat itu tidak dikenal di kalangan pemuda-pemudi, ia dapatkan dari hasil mencari Tuhan.

Setiap hari ancaman semakin berat. Ibuku harus memilih apakah ia akan mempertahankan kepercayaannya atau mengikuti tuntutan sekolahnya. Pada hari terakhir sebelum ujian kelulusan, dengan berurai air mata Ibuku setuju untuk menanggalkan jilbabnya supaya bisa mengikuti tiga hari ujian. Ia lantas menyimpan kain segi empat warna putih itu di tasnya, menyelip di antara buku pelajaran yang telah habis dilahapnya. Perutnya mual, hatinya hancur terkhianati pikirannya. Ibuku hanya berharap Tuhan mengerti kemampuannya hanyalah sampai di situ saja. Memang menjadi nasionalis di kala itu berarti mengorbankan kepercayaan pribadi demi apa yang dianggap benar atas nama bangsa dan negara.

Saat ini tahun 2042. Sudah kali ketiga putraku menghabiskan setengah hari sekolahnya di ruang guru minggu ini. Video call dari guru pembibingnya sudah berulang kali kuterima. Terlihat di sana wajah putra kebanggaanku yang kusut masai, tak berdaya lantaran semua gagdetnya diambil paksa dan ia harus berdebat dengan para guru tanpa referensi bacaan. Ya, jilbab juga menjadi sumber kekusutan di kehidupan putraku. Tentunya ini bukan tentang ia menentang aturan pemerintah mengenai kewajiban atau larangan memakai jilbab. Kita semua tahu saat ini tidak ada orang yang tidak memakai jilbab di sekolah. Semua siswa dan siswi, Islam ataupun lainnya, muda ataupun tua, semua memakai jilbab di kepalanya. Semua terlihat seragam, rapi, santun dan tanpa cela.

Permasalahannya, putraku bersikeras menulis tugas laporan tentang sejarah jilbab di sekolah. Para guru melarangnya menggali-gali informasi dari arsip-arsip dan situs tua karena terdapat perintah melupakan sejarah. Aku tak ingin dia mengikuti jejakku yang sok pahlawan dan harus putus sekolah di SMA karena mempertahankan kebebasanku. Dengan malu-malu kuberharap dia lupakan keingintahuan itu lalu ikuti saja kemauan gurunya. Lebih baik mengganti tema laporan sekarang daripada menyesal di belakang. Memang menjadi nasionalis saat ini berarti menjaga keteraturan dan selalu melihat ke depan. Tidak mungkin ada ruang untuk belajar dari kesalahan dan keberhasilan masa lalu. Pertanyaan yang tak akan terjawab, bagaimana kita bisa sampai di sini?
02 Jul 2018 16:20
177
Jakarta, Daerah Khusus Ibukota Jakarta
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: