Saat itu adalah sahur pertama di bulan Ramadhan. Aku membuat perjanjian yang harus ibu setujui. Yang isinya, jika aku berhasil puasa penuh maka ibu harus membelikan aku banyak baju baru sesuai kemauanku. Seusai salat subuh, aku merasa waktu berjalan begitu lama. Sampai aku ketiduran di ruang tamu. Dan bangun-bangun sudah jam 2 siang. Aku putuskan untuk salat zuhur dan kembali merebahkan diri di sofa. Dari sana aku merasa waktu seperti berlari, atau mungkin memang aku yang berlari. Karena ibu terlalu rewel untuk menyuruhku bolak-balik ke warung. Sungguh melelahkan. Sampai tiba waktu asar dan semua kembali seperti dikejar waktu. Mulai dari gas habis, galon kosong, batu es tidak ada, juga garam yang entah hilang ke mana. Aku dan ibu sama-sama sibuk. Seperti tidak ada anggota lain di rumah ini.

Azan magrib berkumandang. Semua sudah siap santap-menyantap. Adikku Andre yang saat itu berusia 5 tahun pun disuruh ayah untuk memimpin doa berbuka puasa—dua tahun lalu, aku pun pernah seperti dia.

Setelah merasa kenyang pada perut masing-masing. Dan sebelum akhirnya ibu menyuruh kami semua beribadah. Aku menagih janji pada ibu. Tentang perjanjian sahur tadi.

"Bu, Alhamdulillah aku berhasil puasa penuh. Berarti ibu jadikan membelikan aku baju yang banyak?"

"Loh, kok? Kan masih ada besok puasanya. Gimana sih kamu,"

"Tapi kan bu, aku hanya bilang puasa penuh. Ibu mengiyakan, kok, tadi sahur. Bukan berarti puasa sebulan, bu."

"Ya, enggak bisa gitu dong, Daf. Puasanya ya mesti penuh satu bulan full. Bukannya sehari,"

"Ah! Ibu. Saat sahur tadi, ibu mengiyakan. Tapi sekarang? ...."

"Ya kamu lucu sih. Maksud ibu iya juga kan karena penuh satu bulan. Bukan penuh satu hari,"

"Aku tidak mau salat magrib!"

"Ya, terserah. Nanti biar aja kamu masuk neraka sendirian,"

"Ibu...!"

Ibu hanya terkekeh mendengar lelucon yang dibuat anaknya.