Aku Terlambat
Cerpen
Kutipan Cerpen Aku Terlambat
Karya sithaafril
Baca selengkapnya di Penakota.id
Aku adalah manusia yang dulunya menentang konsep cinta pada pandangan pertama. Bagiku, cinta adalah proses, bukan sekedar tatapan instan yang kemudian mendebarkan hati dan berbuah ikatan. Tapi, aku salah. Ternyata konsep tersebut benar dan sekarang, aku menjadi orang yang tersiksa karena pesona pada pandangan pertama. Pesona darimu, lelaki yang berhasil mengamnesiakanku dari luka di masa lalu. Luka yang mengendap bertahun-tahun, perih yang menyiksa berbulan-bulan dan sakit yang sempat kukira tidak ada obatnya. Teruntukmu Dzee, aku menulis ini sebagai tanda terima kasihku sekaligus pengakuanku yang selama ini diam dan berpura-pura biasa saja.
***
Aku tidak peduli dengan reaksimu setelah membaca ini, Dzee. Entah akan menjadi risih, entah akan menjadi benci, atau justru akan terharu, aku benar-benar tidak peduli. Aku hanya menuruti kata hatiku untuk menulis apa yang aku rasakan karena aku tidak berani berkata jujur tentang perasaanku secara langsung di depanmu. Mungkin, kamu akan berpikir ini lucu. Bahkan aku sendiri juga merasa ini konyol. Tapi, bukan cinta namanya kalau tidak dibumbui ketololan yang hakiki. Haha, entahlah Dzee. Aku bingung harus memulai dari mana, toh semanis apapun kalimat yang aku rangkai juga percuma. Aku sudah terlambat mengakui secara jujur perihal apa yang aku rasakan. Aku terlalu nyaman untuk berpura-pura biasa hingga akhirnya ada perempuan lain yang berani menyatakan perasaannya padamu terlebih dulu. Dan ya, pada akhirnya aku pun kehilangan lagi. Tapi, tidak masalah. Aku tetap bersyukur masih diberi kesempatan Tuhan untuk merampungkan tulisan ini agar kamu tahu, sebenarnya aku mulai merasakan hal yang berbeda di hari pertama kita bertemu. Ya, tepat di malam itu, tanggal enam bulan sembilan tahun lalu.
Dzee, aku tidak akan menuliskan kronologi jatuhnya hatiku padamu. Sebab, terlalu panjang jika aku harus mendeskripsikannya. Aku hanya ingin kamu mengerti bahwa sampai detik ini, aku masih menyimpan rasa bersalah atas kecelakaanmu. Kamu adalah lelaki kedua di luar keluargaku yang berhasil menciptakan rasa takut akan kehilangan setelah Hafi. Ya, saat aku berada di belakangmu dan melihatmu tersungkur di aspal, aku sadar, aku takut kehilanganmu. Padahal kita belum dekat dan aku belum mengenalmu lama. Namun, rasa takut itu benar-benar menghujam jantung dan menghantuiku. Aku sering menyalahkan diriku sendiri, padahal kamu sudah berkali-kali bilang aku tidak bersalah. Tapi, aku sudah terlanjur takut dan trauma. Jadi, tolong maklumi rasa takut dan bersalahku yang berlebihan ini.
Dzee, apa hakekat cinta menurutmu?
Apakah cinta itu abstrak?
Hehe, aku yakin kamu punya definisi cinta menurut pemahamanmu sendiri. Namun jika boleh aku bicara, maka izinkan aku menjelaskan definisi cinta menurutku. Tolong jangan ditertawakan, apalagi dianggap sebagai kalimat bualan khas pujangga karena aku anak sastra. Ini murni dari hasil pemikiranku sendiri dan ini juga hasil dari pemaknaan hidup selama aku bernafas dan akrab dengan kata “cinta”.
Jadi, cinta bukan sekedar kata yang tersusun atas lima huruf dengan dua vokal dan tiga konsonan. Bukan!
Cinta adalah keikhlasan. Entah itu berarti ikhlas untuk melepaskan atau justru ikhlas dalam menerima segala kekurangan dan perbedaan yang ada dalam sebuah hubungan. Intinya satu, yakni ikhlas. Dan aku, iya aku sedang berusaha mengikhlaskanmu saat ini.
Aku memang sedang berusaha untuk berdamai dengan diriku sendiri. Aku berusaha meredam ego dan memaafkan kepecundanganku yang tidak berani jujur atas rasa yang menyiksa batinku. Aku ingin mengikhlaskanmu bahagia dengan perempuan lain meski aku sadar bahwa itu adalah hal yang berat. Namun, apa hendak dikata Dzee? Aku terlambat.
Aku benar-benar terlambat mengungkap sesak yang memberatkan dadaku. Aku terlambat menceritakan mimpi-mimpiku yang selalu menghadirkan sosokmu. Aku terlambat bilang bahwa aku menyayangimu dan aku terlambat untuk mengakui rasa nyaman yang sempat aku rasakan. Aku terlambat.
Aku tidak akan membencimu karena kamu tidak salah. Aku juga tidak akan menyalahkanmu karena aku yang salah. Aku yang terlalu cepat mengagumi pesonamu dan aku juga yang terlalu takut kehilanganmu. Padahal, kamu bukan siapa-siapaku. Aku hanya sedikit kecewa dengan memori yang sempat terekam dalam ingatanku saat kita masih bisa dekat seperti dulu.
Oh iya Dzee, masih ingat saat kita berteduh di depan ruko kosong malam itu? Kalau tidak salah, itu momen kedua kita boncengan setelah satu hari sebelumnya kita berangkat ke tempat meeting bersama. Ya, sepertinya malam itu Tuhan sengaja memainkan rerintik di bawah langit yang terhiasi ranum sinar rembulan. Memang benar, tidak ada pertanda hujan karena langit juga tidak menunjukkan awan mendung. Namun saat laju motormu mulai berjalan cepat, tiba-tiba hujan turun tanpa disangka-sangka.
“Kamu kedinginan?”, tanyamu dengan nada datar.
“Enggak, santai aja!”, kataku.
“Kita neduh aja dulu, ya!”, tambahmu sambil menuju ruko yang kosong dan agak remang itu.
Cukup lama ya Dzee kita saling diam. Sesekali kamu melempar senyum dan aku hanya membalasnya dengan kalimat, “Kok nggak reda-reda, ya?”.
Dzee, aku rindu momen itu. Meski hanya setengah jam, namun entah kenapa malam yang berhias hujan itu terasa begitu romantis. Hmmmm, tapi ya sudah lah ya! Semua tinggal kenangan, entah bisa terulang lagi atau tidak, aku juga tidak tahu. Aku hanya bisa meyakini bahwa Tuhan Maha Baik, jadi jika memang kamu diciptakan untuk melengkapi hidupku ya pasti kita akan dipersatukan meski banyak pihak yang menentang.
Tidak hanya satu atau dua saja, bahkan ada lebih dari tiga orang yang menentang kedekatan kita. Mungkin salah satu faktor yang menjadikan mereka tegas menentang adalah sikap angkuhmu saat bertemu dengan teman-temanku dan gaya sombongmu yang terkadang memang menjengkelkan. Jujur, aku juga tidak terlalu suka dengan sikapmu yang semena-mena. Aku paham kamu baik, tapi caramu yang sering menggunakan kalimat sarkas membuat orang lain enggan berteman baik denganmu. Apalagi sikap angkuhmu yang sering mengabaikan kata terima kasih. Memang sepele, tapi sebagai orang timur yang terlahir sebagai kaum beradab, harusnya kamu paham bahwa hidup di tanah Jawa harus berdasar pada konsep “kajen kinajenan”. Kamu harus bersedia menghargai jika memang ingin dihargai karena orang lain tidak akan pernah mau menghargai orang yang tidak bisa memberikan penghargaan pada sesamanya.
Dzee, entah aku yang bodoh karena terlalu kuat dalam memperjuangkanmu hingga mengabaikan segala pertentangan yang memberatkanku. Atau memang pesonamu terlalu hebat hingga menjadikanku budak hati seperti ini, yang pasti logikaku telah mati.
Ya, logikaku memang mati. Jika hidup dan bekerja dengan baik, mungkin aku akan membencimu. Sebab, aku juga termasuk dalam kategori manusia yang tidak terlalu suka dengan sikap songong dan sombong seperti yang melekat pada dirimu. Namun apa daya Dzee, seburuk-buruknya sikap yang kamu pertontonkan, toh hatiku sudah terlanjur jatuh. Naluriku berkata bahwa jatuhnya hati ini hanya akan melahirkan konsekuensi di mana aku harus siap mengabaikan segala pertentangan yang ada di sekitar. Sekalipun nalarku bicara bahwa kebodohan mutlak seorang perempuan adalah ketika hatinya terlanjur jatuh dan jiwanya telah tersihir dengan pesona lelaki yang nyatanya belum pasti menjadi miliknya.
Ah, sudahlah. Mau muter ke mana aja juga akhirnya tetap merujuk pada statement akhir yang menguatkan bahwa aku ini memang bodoh. Sudah tahu terlambat, namun tetap juga bertahan. Kurang bodoh apalagi aku? Kurang tolol, gimana? Ha?
Ini bukan masalah peka atau tidak peka, ini bukan tentangmu, tapi aku. Mungkin aku yang terlalu terobsesi untuk bersama kamu. Aku yang terlalu jauh berkhayal dan terlalu dalam berharap. Bahkan aku juga terlalu lancang menjadikan namamu sebagai objek di setiap doaku. Aku terlalu egois dengan memintamu pada Tuhan. Ya, aku memang keterlaluan.
Dzee, maaf jika akhirnya aku pun menjadikanmu objek dalam tulisan ini. Aku sudah tidak tahu lagi harus bicara dengan media apa. Aku juga tidak tahu harus bersikap bagaimana karena aku seperti orang yang terhambat canggung. Aku canggung untuk memulai obrolan lagi denganmu. Aku canggung untuk bercanda apalagi sekedar menyapamu seperti dulu. Aku malu, aku kecewa, aku benci, tapi aku juga sayang. Aku terlanjur sayang dan yakin dengan keputusanku untuk tetap memperjuangkanmu di tengah kekonyolan ini.
Bagaimana tidak konyol?
Aku yang sejatinya anak sastra dan mendapat mata kuliah semiotika, ternyata gagal membaca tanda. Aku harusnya peka dan paham dengan pertanda alam karena aku mempelajarinya, bahkan aku juga mendapat nilai A pada mata kuliah tersebut. Tapi, apa daya Dzee? Rasa percayaku yang teramat dalam padamu, ternyata menjadikan kepekaanku berkurang dan aku gagal memaknai hal yang seharusnya mudah diterka.
Aku gagal mengetahui bahwa ada perempuan lain yang tidak terlalu suka dengan kedekatan kita. Aku gagal memahami bahwa selama ini dia menanyakan tentangku karena ia juga menaruh hati padamu. Aku tidak terlalu memperdulikan sikapnya yang beberapa kali melihat aktivitasku di media sosial karena aku berpikir, mungkin dia ingin tahu siapa aku agar sahabatnya tidak salah mendekat dengan orang lain. Tapi, aku salah. Aku gagal mengimplementasikan ilmu tanda yang aku pelajari di kasus ini. Aku salah mengartikan sikapnya dan akhirnya aku pun terlambat.
Ya, sekali lagi, aku terlambat. Aku benar-benar terlambat jujur dan mengakui rasaku padamu. Tapi, sudahlah. Toh, sekarang aku sudah mengungkapkan apa yang aku rasakan melalui tulisan ini. Tulisan yang entah kapan akan kamu baca atau mungkin akan kamu abaikan, aku tidak peduli. Setidaknya, aku sudah jujur. Jika memang kamu tidak membacanya, toh akan ada orang lain yang membaca. Bisa jadi ada salah seorang kenalanmu yang ikut membaca dan akhirnya menyampaikan padamu. Sebab, seperti bangkai yang akan tercium busuknya, rasaku ini pun akan ikut terkuak juga pada waktunya.
Dzee, doaku menyertaimu. Entah berujung jodoh atau tidak, aku akan tetap mendoakan kebaikanmu sebagaimana aku mendoakan diriku sendiri. Sebab bagiku, kamu tetaplah anugerah yang baik dari Tuhan. Anugerah yang layak aku syukuri dan semoga bisa aku perjuangkan sampai tiba saat di mana aku harus berhenti dan menerima kenyataan. Baik itu kenyataan sebagai pendamping hidupmu atau tetap sebagai temanmu.
Selamat menikmati hari-harimu, Dzee.

Tertanda,
aku yang masih dan mungkin akan terus-terusan merasa bersalah atas patahnya tanganmu.
15 Mar 2018 01:43
116
Semarang, Jawa Tengah
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: