Ménék Langit
Cerpen
Kutipan Cerpen Ménék Langit
Karya sobrunjml
Baca selengkapnya di Penakota.id

Goplek mlongo. Jam 9 pagi nanti genap dua hari ia tidak tidur. Matanya sudah kriyip-kriyip, kelopaknya bergelayutan, hatinya berayun-ayun dari satu gumpal awan ke gumpalan lainnya, sementara pikirannya, entah nyangkut di dimensi ruang sebelah mana.


Goplek belum tidur, dan masih akan belum tidur. Ada seorang tamu datang, mengaku sebagai teman lama. Goplek ngowoh saja, tanda tak ingat, dan si tamu enggan mengingatkan. Hanya say hallo kepada Goplek yang duduk di serambi rumah, lantas langsung nyelonong ke dapur bikin minuman. Ajaib. Bukan polahnya, tetapi keyakinan di dalam hatinya bahwa di dapur Goplek pasti ada sesuatu yang bisa diseduh.


Si tamu kembali menghampiri Goplek di serambi. Meletakkan segelas air putih di meja kayu dengan setengah menghentak. Duduk menghadap Goplek. Sorot matanya serius. Seperti ingin membedah kening Goplek. Tapi Goplek masih tetap ngowoh air wajahnya.


"Ini hari libur. Dan saya tidak mau menikmati hari libur tanpa pengetahuan mendasar tentang sesuatu yang melatari peliburan hari itu. Ibarat ada tanggal merah di kalender, saya harus tahu kenapa dicat merah, cat merahnya beli di mana, apa alasannya dicat, dan siapa yang melakukan pengecatan. Jadi, Isra' Mi'raj itu apa?"


Goplek sedikit tersentak kali ini. Bukan karena pertanyaannya, tapi karena Goplek tidak ngeh kalau hari ini adalah hari libur. Memang, bagi pengangguran, ruang dan waktu punya pola perilaku serta sifat kosmologinya sendiri.


Tapi kekagetannya itu tidak sampai muncul ke area garis-garis wajahnya. Namanya juga Goplek, hatinya tidak bisa diukur melalui mimik atau sorot matanya. Kecuali Tuhan dan Malaikat, kebanyakan manusia biasanya tertipu oleh raut wajahnya.


"Isra' Mi'raj itu peristiwa."


Singkat, bulat, flat, dan tanpa gairah. Sekali lagi, sambil ngowoh.


"Hee lampor, siswa hari pertama yang masuk PAUD juga tahu kalo Isra' Mi'raj itu peristiwa, maksud saya, peristiwa itu kan bisa merupakan dongeng, khayal, sejarah, sebuah ide, konsep, gagasan, atau fenomena."


"Isra' Mi'raj itu sebuah peristiwa yang menjadi fenomenologi karena mengandung ide, gagasan, serta konsep langsung dari Allah tentang kehidupan yang kelak diyakini oleh beberapa manusia hanya sebagai dongeng sejarah dan khayal."


Memang sulit menggali Goplek. Terkadang untuk menjawab satu pertanyaan, kalimatnya sengaja digiring terlebih dahulu mengelilingi planet-planet, Sirius, Pollux, Aldebaran, bahkan hingga Rigel dan Blue Hypergiant. Tapi tamu kita ini nampaknya sama gendhengnya sehingga tak begitu saja menyerah. Semakin berputar, semakin dikejar.


"Baiklah, karena ia memang merupakan firman serta gagasan Allah langsung, saya tidak akan berani menganggapnya sebagai dongeng apalagi khayal. Tapi untuk mengokohkan anggapan itu, saya juga mesti tahu kenapa Isra' Mi'raj bukan sekadar dongeng sejarah yang khayal. Saya butuh tahu di mana letak fenomenologi peristiwa itu sehingga ia menjadi sebuah konsep yang akan selalu mutakhir mengenai kehidupan."


Malaikat, jin, para leluhur, para masyayikh dan Dzu Walayah serta makhluk-makhluk astral lain yang nangkring di atap-atap langit mulai membenahi posisi duduknya agar bisa lebih fokus menyimak percakapan dua orang gendheng ini. Kiai Sapu Jagad sangu kacang, sementara kompatriotnya, Kiai Sapu Angin, mulai menyulut rokok pertamanya.


"Isra' Mi'raj adalah peristiwa di mana Rasulullah ménék langit pada suatu malam, ditemani Jibril al-Amin, dengan didahului perjalanan kilat dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. Sepulangnya dari Sidrat al-Muntaha, Rasulullah membawa perintah sholat lima waktu dari Allah Swt. untuk disampaikan kepada ummat manusia."


"Di mana letak fenomenologinya sebagai sebuah konsep tentang kehidupan?"


"Sebagian orang yang menganggap Isra' Mi'raj sebagai khayalan belaka adalah orang-orang yang di dalam hidupnya hanya mengerti tentang jasad, dan tanpa pengetahuan tentang rohani. Isra' Mi'raj adalah peristiwa rohani, dan untuk mengerti betapa dahsyatnya konsep rohaniyah yang dikandung oleh peristiwa itu, yang harus dipakai ialah sensor rohaniyah.


Terlebih yang menceritakan peristiwa ini adalah Qur'an, bukan buku sejarah apalagi buku pelajaran sekolah. Qur'an itu abadi dan tanpa keraguan. Maka konfigurasi ruang dan waktu dari setiap peristiwa yang diceritakan oleh Qur'an menjadi berlaku tanpa batas dan sekat. Qur'an adalah kenyataan masa lalu sekaligus masa kini dan masa datang. Tinggal seberapa tajam mata kita sanggup mengupas ayat demi ayat di dalamnya supaya aktif menjadi konsepsi baru di tiap penggalan waktu. Isra' Mi'raj memang dialami oleh Rasulullah, tetapi jika kita sebagai ummatnya tidak berhak ikut mengalaminya juga, untuk apa Allah ceritakan kepada kita? Meskipun tidak harus dengan kronologi fakta empirik yang sama persis, setidaknya secara substansi kita pun harus ber-mi'raj.


Oleh karena yang mungkin kita alami dari kisah Isra' Mi'raj adalah substansinya, maka aspek-aspek dari kisah itu pun mesti kita rubah formatnya ke bentuk yang lebih substantif. Ambil satu per satu. Misal Masjidil Haram, karena letak bangunannya yang berada di Mekkah, dan oleh karena Mekkah identik dengan perjuangan Rasulullah dalam membangun fondasi syari'at mahdloh ummat Islam, maka Masjidil Haram menjadi logis untuk kita anggap sebagai simbolisme ibadah mahdloh. Sementara Masjidil Aqsa yang berada di kota Jerussalem, sebuah kota yang hingga kini jika ditilik secara psikologi global internasional adalah wilayah yang paling membutuhkan sentuhan tangan dan kasih sayang sosial, maka ia jadi perlambang dari ibadah mu'amalah, kerja sosial.


Kemudian berikutnya Sidratul Muntaha, puncak dari langit yang berhasil disambangi oleh Rasulullah, bisalah juga kita pahami ia sebagai sign dari puncak ma'rifat seorang manusia. Hingga pada akhirnya perintah sholat lima waktu yang menjadi hadiah--bukan saja perintah--dari Allah.


Di sinilah Isra' Mi'raj menjadi konsepsi yang akan selalu mutakhir bagi perjalanan rohani manusia. Sebab untuk menadapatkan kado rohaniah yang berupa cinta, kasih sayang, rizqi, pengayoman, perlindungan, kekuatan atau kesabaran dari Allah, manusia mesti terlebih dahulu menapaki fase perjalanan ulang alik Masjidil Haram-Masjidil Aqsa, semacam perjuangan untuk selalu menyeimbangkan gerak langkah ibadah mahdloh dan ibadah mua'amalah secara terus menerus. Hasil dari intensitas ulang alik dua hal itu adalah tegangan arus listrik vertikal yang memungkinkan kesadaran manusia untuk ménék langit sampai ke puncak ma'rifat, yang dalam perjalanannya mesti di antar oleh keimanan. Di puncak ma'rifat itulah manusia menemui kado-kado rohaniah titipan Tuhan.


Juga yang tak boleh luput ialah kesadaran substantif mengenai waktu dari termungkinkannya prosesi mi'rajul hayat itu. Ialah malam hari, bukan pagi buta, siang bolong, atau senja rabun. Tetapi malam. Al-Isra'. Malam adalah sepi sunyi yang lengang. Setiap fase dari 'Isra' Mi'raj' manusia hanya memungkinkan untuk mencapai maksimalitasnya jika manusia senantiasa berada dalam keadaan sunyi, sepi, tenang, dan lengang. Bukan pada keadaan hati yang ribut, kisruh, gusar, gaduh oleh tipu daya hologram duniawi."


Jarum jam tepat menunjuk angka 9. Di akhir kalimatnya, tempurung kepala Goplek jatuh melunglai. Ilernya menetes, mengantarnya ke alam mimpi. Si tamu gantian ngowoh, juga sekian banyak lelembut yang sedari tadi belum beranjak dari posisi duduknya di balkon langit.


Pamulang, 3 April 2019.

04 Apr 2019 13:09
231
Jalan Dokter Setia Budi Pamulang, Pamulang Tim., Pamulang, Kota Tangerang Selatan, Banten 15417, Indonesia
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: