Sedulur Papat, Limo Pancer
Cerpen
Kutipan Cerpen Sedulur Papat, Limo Pancer
Karya sobrunjml
Baca selengkapnya di Penakota.id

Pagi-pagi sudah kedatangan empat orang tamu dari desa Sedulur Papat, kecamatan Limo Pancer. Namanya aku, aku, aku dan Aku. Entah bagaimana caranya mereka bisa masuk ke sini. Padahal seluruh pintu sudah kukunci tepat sebelum beranjak tidur semalam. Juga jendela-jendela yang tak pernah kubuka kancingnya. Apakah dari lubang ventilasi? Entah juga, sebab yang kutahu rumah ini tak punya ventilasi. Aku sangat menutup diri bahkan kepada hembusan angin.


"Kopi atau teh?"


"Kopi."


"Kopi."


"Teh."


"....."


Aku yang terakhir tak memilih apapun. Hanya diam. Jadi segera saja kutinggalkan mereka menuju dapur.


Setelah dua gelas kopi dan secangkir teh terhidang bersama jajanan seadanya, masing-masing aku memberi laporan, semacam rekap kerja selama sebulan. Ini memang kunjungan rutin. Keempat aku bersama aku sendiri telah berjanji untuk mengkhususkan waktu guna berdialog, berdiskusi dan berunding tentang segala sesuatu. Kami menghitung apa-apa yang mesti diperbaiki, dikurangi, ditingkatkan, dihapus, diganti, diperbarui, atau dimodifikasi.


"Selama sebulan ini aku berhasil menuntaskan puasa. Tentu, puasa makan dan minum. Dengan kata lain yang berpuasa hanya perutku, belum hati apalagi pikiranku. Nafsu masih belum tergenggam liarnya. Ia senantiasa menggeliat-geliat. Prasangka masih sayup-sayup berhembus. Api pikiran terlalu besar nyalanya, sehingga terkadang kubakar orang lain dengan kelicikan-kelicikan siasatku. Antara waspada dan sangka buruk belum terpilah dengan baik. Pikiran sering batal karena dua hal ini selalu gagal dipisah dan diidentifikasi. Hati pun menjadi ikut batal karena tidak ada pengendalian dari pikiran yang selalu salah menentukan pijakan. Kalau kepala dan dada batal, percuma perut berpuasa, karena puasa perut belum cukup untuk mengendalikan sesuatu yang berada di bawah perut, yakni bagian yang paling liar dan berbahaya dari manusia. Kalau bisa, ke depannya kau mesti lebih kejam kepadaku. Puasa kita harus meningkat dimensi pencapaian serta wilayahnya.", aku yang pertama memulai dengan uraian tentang puasa. Kalimatnya terlalu samar sehingga aku hanya bisa merespons dengan anggukan pelan.


Aku yang kedua segera menyeruput teh di cangkir. Lantas seperti biasanya, memejamkan mata. Kini gilirannya untuk bicara.


"Aduh, pasti baca prosa lagi!" aku sedikit menyela.


"Hatiku bulan ini adalah hati yang gerimis. Biasanya setelah bertemu dengan orang itu hatiku adalah hati musim semi yang merekahkan banyak hal, cerah dan hijau aromanya. Namun dari lima kali pertemuan dengannya kemarin, yang aku jaring hanya mendung dan gerimis. Sorot matanya mengarak warna abu-abu. Dari langit jatuh rintik air yang mengemas kepedihan dan kesedihan. Dia bawakan kepadaku cerita-cerita tentang kegelapan, kesendirian, dan kesunyian yang mesti ia panggul sendiri."


"Kalau begitu kau harus jadi tanah yang merebah! Gerimis harus bertemu dengan tanah agar lahir pohonan. Setelah itu tunggulah matahari terbit. Kalau matahari terbit, dahanmu akan rimbun. Kalau sudah rimbun, engkau akan jadi pusat keteduhan bagi siapapun. Dengan begitu, gelap, sunyi, sepi bukanlah kutukan. Melainkan sumber tenaga untuk menerbitkan guna bagi lainnya!", kata aku yang pertama tadi kepadaku setelah mendengar prosa pendek dari aku yang kedua.


Hawa pengap mulai menguar ke sekeliling area ruang tamu. Dinding-dinding tebal yang mengelilingi kami bagai mengurung dan memusatkan segala sesuatunya di ruangan ini. Seperti menolak apapun yang datang dari luar, barangkali takut menjadi gangguan bagi kami.


Crek..crek..jesss! Aku yang ketiga menyulut sebatang rokok.


"Lhoo...nggarai!"


"Sumuk, jingan!"


Aku yang pertama dan kedua menghardik aku yang ketiga, tetapi nampaknya tidak merubah apapun. Aku yang ketiga justru mengepul-ngepulkan asapnya ke berbagai penjuru ruangan. Belum sampai lima menit, ruangan sudah penuh kungkungan asap di setiap sudutnya.


"Kalian semua ini sok!", aku yang ketiga mulai gantian berbicara. "Yang pertama sok filosofis-religius, yang kedua sok melankolis! Mbel! Wahai aku yang pertama, apakah setiap manusia harus mencapai level puasa yang setinggi itu, yang tidak sekadar makan dan minum? Ayolah, yang murah hati. Jangan menerapkan standar muluk kepada semua manusia. Manusia itu beragam jenisnya. Syukuri saja kalau ada manusia yang hanya mampu puasa perut, toh lumayan, daripada tidak berpuasa sama sekali. Perintah puasa makan dan minum lahir karena sejatinya manusia pasti tidak akan mampu jika diperintahkan untuk puasa dalam hal-hal yang lebih besar dan sunstansial. Kok kamu malah menuntut yang manusia pasti tidak mampu mencapainya. Aneh!


"Dan kamu, aku yang kedua. Kamu ini cengeng betul. Terlalu kejeron. Terlalu dalam menyelami segala hal. Kisah cintamu itu bukan untuk didramatisir. Terima saja sewajarnya. Jangan lebay. Kamu bisa mati oleh pikiran dan perasaanmu sendiri jika terlalu dalam meresapi sesuatu. Tempatkan semuanya pada posisi yang tepat. Jangan terlalu lembek, tapi jangan sampai jadi batu!


"Sudahlah. Ayo hidup yang wajar. Jangan terburu-buru untuk bernafsu mengurusi hal-hal besar. Kerjakan saja hal-hal kecil yang mampu kita jangkau dan bereskan. Kita atasi dulu diri kita masing-masing. Kita bulatkan terlebih dahulu diri kita. Bagaimana bisa sesuatu yang belum tegak menegakkan kemiringan?"


Setelah aku yang ketiga menuntaskan bicaranya, ruangan mendadak dingin meski keadaannya masih sama. Remang-remang, pengap, dikungkung asap rokok, dan tanpa semilir angin. Setiap sudut ruangan menjadi lengang hingga amat sangat terasa tiap kali waktu berdenyut dari satu sekon ke sekon berikutnya. Bahkan kulit telapak kaki yang menapak di atas lantai sanggup merasakan gerakan air yang meliuk-liuk di dasar bumi.


Semua sudah berbicara. Tetapi Aku yang terakhir tak kunjung beranjak dari diamnya. Sepanjang obrolan kami tadi, Aku yang keempat hanya diam mengamati. Entah memang tak ingin bicara atau terlalu banyak hal yang dipendam sehingga huruf dan kata tak bisa menampungnya.


"Halo, ada yang ingin dikatakan?", aku coba memulai.


"....."


"Bagaimana tanggapanmu tentang aku yang pertama?"


"......"


"Kalau aku yang kedua?"


"......"


"Yang ketiga?"


"....."


"Aku?"


"....."


"Jangan sia-siakan keberadaanmu di sini. Katakanlah barang satu dua kalimat."


"......"


"Jangan membuat kami bingung."


"....."


"Ngambek nih?"


"....."


"Sedang menguji kami berempat ya?"


"....."


"Membiarkan kami dalam kebuntuan?"


"....."


"Kepada siapa lagi kami mengadu dan minta petunjuk?"


"....."


"Kami hanya bertanya kepada yang paling pantas dimintai jawaban."


"......"


"Tidak merasa sebagai yang paling pantas dimintai jawaban?"


"....."


"Kami berempat bisa limbung dan hilang arah."


"....."


"Sampai kapan diam?


"....."


Aku yang keempat sama sekali tak bergeming. Teh dan kopi di gelas sudah habis. Setelah beberapa saat tadi ruangan dingin, kini ruangan membeku. Ketiga aku dan aku menunduk di hadapan Aku yang kelima. Tersadarlah kini, bahwa sesulit apapun mengurai firman, tetap lebih sulit mengurai diam.



Pamulang, 19 Juni 2019.

19 Jun 2019 12:46
258
No., Jl. Dr. Setiabudi No.26, Pamulang Tim., Kec. Pamulang, Kota Tangerang Selatan, Banten 15417, Indonesia
2 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: