Tamu dari La Mancha
Cerpen
Kutipan Cerpen Tamu dari La Mancha
Karya sobrunjml
Baca selengkapnya di Penakota.id

Goplek sedang keranjingan nukang akhir-akhir ini. Dua hari lalu dia betulkan engsel pintu kamar mandi rumah, kemarin ia rakit kembali saluran air di wastafel, dan hari ini jatahnya balé bambu tempat para pemuda kumpul yang ia reparasi. Konon, kalau Goplek sedang rajin melakukan kerja fisik seperti ini, itu tandanya sedang ada masalah besar yang menghinggapi isi kepalanya. Jadi, ia melakukan kerja fisik sebagai bentuk pelarian kecil supaya pikirannya tidak buntu, stress dan mati tertindas. Soalnya, kalau mau dinilai sungguhan secara teknis maupun estetis menurut ilmu arsitektur (baik yang akademis modern atau akademis purba), hasil kerja Goplek pastilah jauh dari kata 'baik' apalagi 'indah'. Lha bagaimana, Goplek ini sejak tamat SD hingga hari ini tak pernah bisa menarik garis lurus dengan pulpen walaupun sudah dibantu penggaris. Kalau ia bikin kolom angket seperti dalam pelajaran akuntansi, hasilnya selalu lebih mirip gambar pagar miring. Begitu orang datang mengejek, ia selalu kethus berkilah, "katuranggan tanganku ini katuranggan tangan seorang penari, bukan katuranggan tangan seorang akuntan atau sekretaris penghamba perusahaan kapitalis yang hidupnya selalu dibayang-bayangi oleh problem kredit dan cicilan sampai mati!"


Mbooook, sombong benar. Padahal sampai saat ini Goplek tak kunjung jadi penari dan jumlah problem hidupnya sama banyak dengan para akuntan maupun sekretaris perusahaan yang ia tuduh sebagai hambanya perusahaan kapitalis itu. Buktinya, pagi ini dia melarikan diri dari salah satu problem hidupnya dengan cara ndandani bilah-bilah bambu balé yang sudah mulai lepas dari tempatnya. Dengan ketrampilan seadanya, ia coba bereskan semuanya secara perlahan. Ketika sedang fokus memasang bambu sebilah demi sebilah, Goplek sayup-sayup mendengar suara derap kaki kuda dari kejauhan. "Setahuku, ini bukan zaman Angling Dharmo atau Anusopati. Ini zaman Spotify si kotak musik berbayar, Go-Food si pelayan orang-orang malas, dan keranjang belanja Shopee yang luas pasarnya melintasi seribu dimensi. Kok masih ada orang yang bepergian naik kuda?"


Derapnya mulai mendekat. Alat-alat segera disingkirkan, Goplek berdiri menghadap ke jalanan depan rumah. Ia tatap titik di ujung jalan sana dengan mata agak memicing. Sketsa sosoknya mulai tertangkap. Dua orang dengan beda perawakan yang kontras duduk di atas punggung dua ekor kuda. Setelah semakin mendekat ke arah Goplek, penampakannya menjadi semakin jelas. Satu orang bertubuh tinggi kurus, sedang satu lainnya berpostur lebih pendek dan tambun.


Melihat ada sesosok pemuda yang berdiri memandangi mereka, keduanya buru-buru menarik tali kekang, dua kuda meringkik dan langsung memarkir diri tepat di halaman rumah Goplek. Keduanya turun dan bergegas menghampiri Goplek yang masih mematung di beranda. Mata Goplek menyapu tubuh dua orang itu dari atas ke bawah kembali ke atas lagi, persis mesin deteksi di sebuah bandara. Si kurus mengenakan jubah baja khas prajurit abad 9 dengan sebuah baskom yang terbuat dari kuningan nangkring di atas kepalanya. Sementara si tambun lebih mirip budak dengan pakaian karung goni yang compang-camping membungkus tubuhnya. Kalau dilihat dari wajahnya, mereka berdua ini pasti orang Eropa. Tetapi juga pasti bukan turis. Turis kan rapi, lagipula orang Eropa itu bangsa terhormat, ras unggul, lambang kemajuan dunia, masa berpenampilan semrawut begini? Janggal sekali.


"Selamat pagi anak muda! Perkenalkan namaku Alonzo Quinjano, dan teman tambunku ini bernama Sancho Panza. Kami berdua berasal dari La Mancha, Spanyol. Kami telah mengembara jauh dan mengalami berbagai hal..."


"Lhoooooo! Don Quixote!" Goplek memotong tanpa permisi.


"Kau kenal kami wahai anak muda? Mengagumkan!" sambut Don Quixote dengan wajah berseri.


"Namamu cukup terkenal di sini, Pak Quixote. Meskipun sebagai orang Spanyol, pamor popularitas kalian di sini masih kalah jauh dari Fernando Torres dan David Villa. Wah wah, mari duduk. Lesehan saja ya," Goplek mempersilahkan kedua tamunya untuk duduk lesehan di beranda. Menuang dua gelas teh manis, dan menyuguhkan jajanan kecil sisa lebaran kemarin. "Jadi bagaimana ceritanya kok bisa sampai sini?"


"Jadi begini anak muda," ternyata Sancho yang menjawab. Don Quixote sibuk nyeroki remahan nastar dalam toples. "Sebenarnya kami berdua akan bergerak menuju Afrika, hendak menemui seorang Barbar bernama Hamid bin Ali. Di tengah perjalanan, ketika kami sampai di sebuah hutan lebat yang mengerikan, kami dihadapkan pada sebuah lubang hitam yang amat besar! Lubang itu diam membentang. Seperti pembatas antar dua dimensi. Kami penasaran, maka kami masuki lubang hitam itu. Setelah langkah kaki kami masuk, di dalam lubang itu ternyata masih sama hutan. Hutan itu kami sibak sampai berhasil keluar dan bertemu jalan ramai. Ketika kami bertanya dengan salah seorang yang kami temui, dia bilang kami sedang berada di Banyuwangi."


"Ooo. Aku kira kalian datang ke sini hendak menemui Mpu Gandring untuk membetulkan pedang, jubah, atau perisai kalian yang penyok."


"Dari Banyuwangi kami terus bergerak sampai pagi ini bertemu denganmu. Oh iya, ngomong-ngomong kami sudah sampai di daerah mana ini, wahai anak muda?" Don Quixote meneruskan.


"Pekalongan."


Obrolan berjalan mengalir. Matahari semakin merangkaki dinding langit namun belum ada satupun pemuda yang bangun. Dul Kuntul sempat mengintip dari dalam, tetapi nampaknya tidak begitu heran dengan pemandangan aneh dua tamu Goplek pagi ini sehingga ia kembali nyelonong masuk ke dalam kamar.


"Tadi kau bilang namaku cukup terkenal di negerimu, bagaimana ceritanya?" Tanya Don Quixote penuh rasa kepo.


"Sebelumnya nyuwun sewu ya kalau penjelasan saya nanti menyinggung perasaan njenengan. Nama anda itu mulai terkenal di sini sejak buku karangan Pak Cervantes yang mengisahkan petualangan anda itu masuk ke sini, kemudian dibaca dan direkomendasikan oleh hampir seluruh sastrawan dalam negri. Sejak saat itulah khalayak mengenal kisah Don Quixote, seorang ksatria bodor yang malang. Bahkan salah seorang sastrawan asal Nigeria mengatakan bahwa jika ada satu karya yang patut dibaca oleh ummat manusia sebelum datang ajal, itulah kisah anda. Walau bagiku, itu terkesan lebay dan menjijikkan. Kalau memang manusia harus membaca sesuatu sebelum mati, ya bacalah kitab suci, setidak-tidaknya. Hahaha!"


"Siapa sastrawan itu? Berani-beraninya! Apakah dia mengundang mata pedangku untuk mampir di urat jantungnya?! Don Quixote memang populer, tapi jangan sampai lebih populer dari Tuhan!"


"Wah, Pak Quixote kok ternyata religius."


"Kadang-kadang."


"Tetapi sebetulnya kenapa sih, Pak, anda itu selalu bertingkah konyol begitu? Kincir angin anda bilang seekor monster, koloni domba anda teriaki pasukan Ali Farfan, dan gubuk lusuh anda sebut kastil impian. Wkwkwk."


"Menyelamlah lebih dalam, Nak," suara parau Don Quixote mengubah air mukanya menjadi lebih serius. "Sesungguhnya aku tak bodoh. Aku hanya terlihat seolah-olah bodoh. Kalian yang bodoh akan menganggapku bodoh. Namun bagi kalian yang punya ketajaman, akan bisa menemukan rahasia di balik kebodohanku."


"Tolong dijelaskan lebih panjang."


"Baik. Kupilih satu adegan. Yakni ketika aku dan Sancho menginap di sebuah gubuk reot yang kusebut kastil impian itu. Menurutmu apa?"


"Ya njenengan memang halu."


"Xixixi, anak muda hasil peradaban sungsang," Don Quixote terkekeh meledek tapi segera ia kembalikan raut wajahnya ke dalam aura kesungguhan. "Aku sebut gubuk jelek itu sebagai kastil impian karena aku tak pernah bisa dipengaruhi oleh realita di luar diriku. Bila aku mendapat realita buruk, aku katakan ia indah! Seluruh realita kurekayasa karena aku berdaulat terhadap diriku sendiri. Bagiku, pandangan mengenai kaya-miskin, sejahtera-melarat, bahagia-derita, atau baik-buruk, tidak ditentukan oleh fakta objektif di luar diriku. Melainkan ditentukan oleh sistem kerja alam berpikirku. Dunia tak bisa membuatku sedih karena aku tidak menganut definisi kesedihan yang diciptakan oleh dunia. Aku ciptakan definisiku sendiri. Gubuk atau kastil tidak ditentukan oleh bentuk empiriknya, tapi ditentukan oleh pikiranku terhadapnya. Sekarang aku tanyakan kepadamu, apakah oncom menurutmu enak?"


"Tidak."


"Apa makanan enak yang ada di pikiranmu sekarang?"


"Ayam pop RM. Sederhana."


"Di situlah letak sumber kesedihan manusia abad 21."


"Lhoo, gimana?"


"Kau bilang oncom tak enak, karena pikiranmu berdiri di ayam pop. Kriteria enak yang kau genggam pun masih berdasar kriteria yang diciptakan oleh pihak-pihak di luar dirimu. Hilangkan ayam pop dan temukan kenikmatan oncom, makan oncom itu akan menjadi enak. Yang membuatmu sedih adalah makan oncom sambil memikirkan ayam pop. Oncomnya tak enak, ayam popnya tak dapat. Begitulah yang terjadi pada adegan kastil impian itu. Yang menyebut bangunan itu gubuk reot adalah orang sekitar, kalau aku sebut ia kastil impian, mau apa? Jika kusetujui bahwa bangunan itu adalah gubuk reot---sebagaimana orang banyak, aku akan tersiksa dan tidurku tak nyaman. Tapi kalau aku sebut ia kastil, hatiku akan lega dan tidurku pasti nyenyak. Hidup ini kadang berlaku tidak sesuai dengan kehendakmu, Nak, maka pintar-pintarlah merekayasa keadaan. Berdaulatlah kepada pikiran dan hatimu. Ciptakan standarmu sendiri, jangan terlalu mengikuti standar dunia hari ini, sebab standar kehidupan hari ini berkiblat kepada materialisme duniawi. Kesedihan dan kebahagiaan orang saat ini sangat bergantung kepada format-format material: harta, jabatan, gelar, status sosial. Bagi mereka yang tidak memiliki itu semua, dunia akan menyebutnya sebagai orang yang gagal. Betapa dangkal dan teramat menyedihkan kehidupan manusia di zamanmu ini, Nak. Usiamu masih muda, segeralah ciptakan standar-standar baru mengenai segala hal dalam kehidupan yang tidak mengekor kepada materialisme, melainkan spiritualitas. Ciptakan 'kastil impian', 'monster', dan 'pasukan Ali Farfan' di dalam batok kepalamu, jangan mau ditipu oleh hologram kehidupan!"


Panjang tepuk tangan Goplek menutup penjelasan Don Quixote. Panjang juga lamunan di dalam tepuk tangannya itu. Sepanjang kebingungannya juga terhadap siapa yang gila dan siapa yang waras, mana yang sedang berhalusinasi dan mana yang dalam keadaan normal hari ini. Tepuk tangan Goplek berhenti. Berhenti jugalah seluruh kenyataan hari itu.


"Dulu Don Quixote berhalusinasi setelah membaca sebuah buku. Kini giliran aku yang berhalusinasi setelah kubaca buku mengenai orang yang berhalusinasi setelah membaca sebuah buku."


Bogor, 7 Juli 2019.

07 Jul 2019 10:32
157
Jl. Babakan Lb. No.34B, RT.4/RW.6, Balungbangjaya, Kec. Bogor Bar., Kota Bogor, Jawa Barat 16116, Indonesia
3 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: