Bulan Darah
Cerpen
Kutipan Cerpen Bulan Darah
Karya tepianwarna
Baca selengkapnya di Penakota.id

Apa yang membuatmu sulit percaya ketika ada yang berkata bahwa ayah-ibumu adalah seorang pemberontak dari sebuah desa terpencil yang tak ada dalam peta dan mati secara mengenaskan puluhan tahun lalu? Ketika kubuka sebuah buku saku pemberian almarhum nenek, aku mengetahui semuanya. Aku mengetahuinya dengan terang dan mata yang berkaca-kaca. Aku terbayang seorang lelaki diseret sepanjang jalan menuju sebuah hutan di ujung desa. Seperti dalam film-film thriller yang kutonton bersama anak-anakku setiap pekannya, aku bayangkan kepala yang remuk dan mata yang terlepas dari tempat seharusnya. Lalu kubayangkan kubangan darah, serupa dalam catatan itu, membentuk arus yang asing, lalu menyeruak aroma amis yang membuat lambungmu menjadi asam dan membuat isinya ingin keluar berhamburan.


*


Tahun-tahun menjadi sulit ketika segerombol pasukan misterius datang dari arah utara desa pada suatu malam yang diterjemahkan rintik. Angin berhembus sayup, melantunkan lagu pepohonan. Pasukan itu mengaku utusan dari Jakarta, lengkap dengan senjata-senjata mereka, membawa selongsong peluru, menembakkannya ke tubuh orang-orang yang telah tercantum dalam daftar catatan yang dibawa salah seorang anggota.


“siapa lagi yang akan kita bunuh, tuan Sukri?”


Salah satu dari anggota pasukan itu bertanya pada lelaki yang berdiri paling depan dari barisan. Menghisap kreteknya berkali-kali.


“cari keluarga Lasmana dan bantai mereka semua!”


“laksanakan, tuan!”


*


Tahukah kau, anakku, ketika aku dibawa oleh Sukri dan kawanannya ke tengah hutan di tengah sayup dinihari, angin seperti mati, dan purnama menjelma kubangan darah, saksi atas maut yang bergelimpangan bagai rontoknya daun-daun dihujam ajal? Kau selalu takut dan membayangkan aku menjadi hantu yang diam-diam kembali dari masa lalu. Tak ingatkah kau, anakku? Betapa derai air mataku menuliskan catatan ini, mengingat bahwa kau tak akan pernah melihatku lagi. agar anak-anakmu, cucu-cucumu, yang datang kemudian bisa membaca kekejaman yang pernah dan akan terus mengulang sepanjang kedap zaman. Aku tak pernah tahu bagaimana kau melewati hari-hari setelah penghancuran desa, setelah kematian menjadi tembok pemisah antara kita. Ketika Sukri menyuruhku untuk mengucap permintaan terakhir sebelum ia menyuruh anjing-anjingnya yang berjumlah ratusan untuk menyerbuku dengan moncong-moncongnya yang mampu memuntahkan peluru, tubuhku bergidik(dan aku merasa sangat ketakutan. Tiba-tiba salah satu dari mereka memberiku buku saku untuk dituliskan sesuatu, ya, di sanalah aku menuliskan semuanya, Sarinah, kau, juga nenekmu yang hanya bisa mengelus dada di rumah, melapangkan dirinya sendiri agar tetap tabah melewati hari-hari yang kian hancur terserak). Aku terbayang orang-orang yang telah mati lebih dulu dengan tubuh bersimbah darah. Di atas darah yang menggenang aku melihat pantulan purnama di langit Alas Klawu, merah dan merekah kemarahan. Aku memandang ke arah anjing-anjing dengan moncong senapan itu, lalu aku membayangkan bahwa mereka adalah sebenar-benarnya anjing yang patut untuk dihajar habis-habisan oleh negara karena kekejamannya, bukan kami yang jelata dan latah ini. Kalimat-kalimatku deras mengalir di buku saku itu, segala hal yang terjadi di Alas Klawu kutuangkan di sana, agar terang segala pandangan, agar jelas jejak panjang ketidakadilan. Sukri tersenyum licik memandang ke arahku, ia berpikir aku menyerah, ia berpikir aku sedang berdoa pada malam, yang selama ini diyakini mereka sebagai sarang persembunyian anjing-anjing kudisan. Ini istilah mereka untuk menyebutku dan orang-orang desa yang selalu mengadakan percakapan bersama pada waktu dinihari.


Dengarlah, aku tak bersalah. Tuduhan itu tidak benar adanya. Aku belum mampus sebagaimana yang mereka pikir selama ini. Selongsong peluru yang dimuntahkan memang membunuh tubuhku, tapi tidak dengan jiwa yang menghuninya. Aku melayang, menembus kegelapan demi kegelapan, mencari ruang baru untuk persinggahan ajal. Karena sejak dulu aku selalu mengira kematian hanya membuat kita sedih sejenak, lalu datang kegembiraan lain, kesenangan lain, yang tiada berbatas. Dan kau terbuai-buai bagai diombang-ambing perasaan yang dilanda cinta.


Catatan itu, catatan itu, anakku, mereka memulangkannya ke rumah nenekmu. Ketika ingin diserahkan, Sukri berkata terlebih dulu, “jangan pernah buka mulut. Atau tubuhmu yang peot akan kuhancurkan dengan moncong anjing-anjingku!”


Nenek seketika diam membisu. Perlahan, tangannya menggenggam catatan itu. Setelah Sukri dan kawanannya pergi, ia beranikan diri membuka catatan itu, catatan sebelum kematianku.


*


“takutlah pada anjing!” itu adalah kalimat terakhirnya yang paling aku ingat, sesudah itu kusaksikan darah mengucur dari lambungku, deras, seperti alir arus yang legam! dan kusaksikan bayang-bayang purnama yang pucat, masih mengentalkan warna mawar yang baru rekah. Ah, tidak, itu bukan warna mawar. Itu warna darah yang terus dan akan terus, tumpah sebagai siksa sekaligus kutuk dari entah siapa. Kedatangan Sukri ke Alas Klawu pun bagiku seperti sebuah kiamat yang sengaja. Ia memisahkan aku dengan Alas Klawu, dengan segala keajaibannya, dengan segala ketakjuban atas hutan-hutannya yang rimbun, dengan segala rindu yang akan terus dan bergema, menjadi kata-kata yang deras mengalir di tiap lembar-lembar catatan ini.


Ketika peluru-peluru dimuntahkan dari moncong anjing-anjingnya, aku merasakan ledakan yang cepat, tapi mampu mengombang-ambingkan seisi perutku. Aku tidak takut pada anjing, dan selamanya tak akan takut! Kataku membela diri. Sukri kembali tersenyum. Kali ini dengan perintah yang lebih kejam.


“habisi dia! Lalu cincang tubuhnya dan buang ke jurang! Aku tak mau dengar lagi apa pun tentangnya. Dan besok, desa ini sudah harus bersih dari berbagai pengaruh anjing-anjing kudisan!”


*


Sukri tak mungkin tahu, bahwa aku sebenarnya tak mampus sebagaimana yang ia duga. Aku masih hidup. Menjelma gema dalam jiwamu, merekahkan kisah-kisah yang selayaknya kau dengarkan. Sukri boleh bilang aku anjing. Tapi ia lebih anjing! Kau tahu, waktu ibumu sedang dilanda kecemasan melihat banyak kawan-kawanku yang tewas bergelimpangan di jalan-jalan sepanjang desa, nenek telah memberi tahu, “jangan keluar dulu. Sukri masih bebas berkeliaran membawa ratusan anjing-anjingnya. Kau juga bisa kena nantinya. Jangan nekat, Barja!”


Aku tahu, jawabku. Jauh sebelum kau mengatakan itu. Aku tak mungkin menghindar dari takdir. Tapi kematian belum menjemputku, tak akan pernah. Kematian hanya membawa tubuhku yang berkucur luka-luka dan masa lalu yang menggenang dalam raga, menjelma serpih ingatan yang nyaris remuk. Tak lagi bisa dibedakan. Wajah Sukri jelas membayang di ingatanku, ia serupa dewa-dewa perusak dalam mitologi Jawa, sepasang matanya merah membelalak, ketika menjadi saksi bagi kematian anjing-anjing kudisan(lagi-lagi kusebut istilah ini, yang bagimu tampak sangat menyakitkan, tapi setidaknya menjadi jalan memulihkan ingatan tentang peristiwa yang sempat gempar di Alas Klawu).


Tujuh hari selepas pembunuhan di desa, Sukri dan kawanan anjingnya menghilang tak tentu rimba. Sebagian orang percaya bahwa ia mempunyai kesaktian, bisa datang kapan pun mau dan menghilang dalam waktu yang sangat cepat. Tapi nenekmu pernah bilang, Sukri sebenarnya adalah bagian dari perjalanan Alas Klawu. Ia memiliki masa kecil yang baik di desa ini. Hanya saja kedua orang tuanya terbunuh dengan cara keji pada tahun yang sudah buram diingat. Sanom dan Sima. Pasutri itu ditemukan tewas dengan tubuh gosong di tengah hutan, Sukri ada di sana. Ketika sekelompok orang menyeret-nyeret dan membantai ibu-bapaknya tanpa ampun. Konon, Sanom dan Sima adalah sepasang pertapa yang menekuni ilmu tenung. Sehingga membuat banyak orang membencinya, bahkan sengaja mengucilkannya dari pergaulan desa. Sukri dendam. Ia memendam masa lalunya yang pahit, lalu memutuskan pergi ke kota dan menjelma anjing yang kejam ketika kembali ke Alas Klawu, bersama ratusan moncong-moncongnya yang sanggup memuntahkan peluru.


Kau perlu tahu, anakku, bagaimana ia dengan kejamnya juga menyeret paksa ibumu ke rimbun belantara, menembaknya berpuluh kali, hingga langit menjadi saksi betapa mengenaskannya jasad ibumu. Dada bolong, usus terburai dikoyak golok Sukri, dan sepasang mata yang dicerabut hingga ke syaraf-syarafnya. Tidak! Jangan kau bayangkan, anakku, atau kau juga akan menjadi seperti Sukri, buas dan penuh dengan dendam masa lalunya yang kecamuk.


Jangan lagi kau tanya apakah aku menuliskan catatan ini sebelum kematian ataukah setelah kematian. Karena nyatanya catatan-catatan ini terus mengalir, deras, tajam menghujam, menjadi nyala yang tak akan padam bagi hari-harimu yang sendirian. Jika orang-orang menanyakan perihal aku, jawab saja dengan jujur. Katakan, katakan bahwa aku masih ada dan terus memantaumu lewat catatan ini, tutur silam ini, dan buatlah mereka terperangah dengan kisah-kisahku, meski belum bisa kau anggap ini sebagai suatu studi riset tentang benang merah tanah kelahiranmu yang abu-abu, antara Alas Klawu dan Jakarta.


Jangan kau merasa terbenani dengan beragam pertanyaan yang silih-berganti berdatangan membawa cerca, tapi baca saja catatanku ini, tuntaskan, lalu cobalah mulai menuliskannya sebagai suatu jazirah lain dari kehidupan masa lalu kita di Alas Klawu. Kau kubesarkan dengan banyak dongeng-dongeng dan kisah para leluhur yang menjadi hantu penunggu, tumbuh dewasa dengan jalin cerita-cerita tak masuk akal namun justru malah membimbingmu menjadi penulis yang berbakat.


*


Jika saja aku dapat kembali berjalan-jalan di Alas Klawu, setelah pembunuhan kejam itu, setelah Sukri dan kawanannya mencincang-cincang tubuhku dan membuangnya ke dasar jurang, setelah jiwa yang menghuni raga itu berteduh ke sebuah rumah singgah di kolong nirwana, membakar sesalnya sendirian dan berkata, “kau kubesarkan dengan alasan-alasan yang tak dapat kujelaskan hingga kapan pun. Kau terlahir sebagai seorang yang keras kepala dan selalu menolak menerima pembenaran apa pun dariku. Tapi kenanglah satu hal, bahwa aku, Barja Lasmana, tetap tinggal dalam dirimu, mengalir di sungai darahmu, menjelma ingatan yang tak akan menjadi tua, sampai kapan pun. Dan teruslah menggelandang di simpang kisah ini, anakku, agar jelas seluruh kisah-kisah yang kututurkan, agar terang pandanganmu menatap zaman yang kian terlupa bahwa kita pernah menjadi saksi bisu dari kekejian yang tak tercatat dalam diktat-diktat usang.”


 


 


Surabaya, Maret 2019


 

12 Jun 2019 08:07
408
Gubeng, Kota Surabaya, Jawa Timur, Indonesia
2 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: