KYAI JUHRI
Cerpen
Kutipan Cerpen KYAI JUHRI
Karya tepianwarna
Baca selengkapnya di Penakota.id


 Orang-orang Dusun Atas telah mengetahui selenting kabar yang berhembus dari mulut gerombolan samun yang menamakan diri mereka Pasukan Angin, ketika senja redup dan azan berkumandang di seluruh surau dusun itu. Kyai Juhri, panutan yang selama ini dibangga-bangga segenap warga, harus ditumpas karena dituding Pasukan Angin telah melakukan persekutuan dengan Tentara Rakyat yang datang dari Utara. Orang-orang kiri mereka bilang. Kaum setan. Pengkhianat bangsa. Penista agama dan tuhan. Di maghrib yang berkabut itu, Pasukan Angin mengepung rumahnya. Ia masih berada di dalam rumah untuk persiapan menuju surau ketika salah satu anggota dari kelompok penyerang mendobrak pintu. Tentu saja kyai tercekat. Bukan karena apa-apa. Seutas tasbih berbulir hitam arang tampak digenggam orang itu. Dan kyai sudah bisa menebaknya. Seseorang mencoba khianat dengan melucuti jimat yang menyimpan seluruh kesaktiannya. Ia menyerah. Dan tertunduk pasrah ketika gerombolan Pasukan Angin mengikat kedua tangannya, menggiring Kyai Juhri ke rimbun belantara di ujung Dusun Atas. Tepat di tengah malam yang dingin, para lelaki yang ronda memastikan dusun tak diserbu kelompok berbahaya mana pun, mendengar lengkingnya. Lengking pesakitan yang digorok lehernya. Di malam itu kami benar-benar yakin, Kyai Juhri, yang selama ini dibangga-bangga orang sedusun, telah dilucuti Pasukan Angin di rimbun belantara. Tanpa seorang pun berani menyelamatkannya. Karena ia kiri. Karena ia nyatanya berjimat. Menyekutukan tuhan. membuang muka dari larangan agama yang jelas-jelas mengharamkan benda itu. Dan pembantaian itu, pembantaian yang tak akan pernah bisa kulupakan. Aku melihat mayat Kyai Juhri dilemparkan ke Sungai Batang Kembang setelah Pasukan Angin menggorok batang lehernya. Awalnya mereka ragu untuk membuang mayatnya ke sungai. Mengingat seorang dukun mumpuni dan murid Kyai Juhri pernah berpesan agar jangan membuang mayatnya ke sungai. Sebab kesaktiannya akan kembali dan itu membuatnya hidup seperti sedia kala. Namun, seorang dari anggota Pasukan Angin, Ngarai Lamtana, mendesak kawan-kawannya untuk tidak memercayai takhayul yang diciptakan dukun-dukun. Atau kita sama saja dengan mereka yang kiri, katanya. Maka dengan kepastian dan doa-doa, mayat Kyai Juhri mereka lempar ke Sungai Batang Kembang. Dalam sekejap, mayat Kyai Juhri telah hanyut terbawa arus.

****

   Jangan pernah berdendam, cucuku. Terhadap siapa saja. Termasuk kepada Pasukan Angin dan keturunannya yang tersisa. Mereka menyebar ke seluruh penjuru dusun. Memastikan bahwa Padepokan Kyai Juhri beserta seluruh antek-anteknya telah habis tertumpas hingga ke akar. Tapi aku membantahnya. Aku membantah jika tugas mereka telah berhasil. Aku di sini. Aku Juhri Kumara Geni, kyai yang terbunuh dan dibantai secara keji itu. Dengarlah kisahku.

****

Ketika itu usiaku dua puluh dua tahun, seorang lelaki tua menghampiriku dalam mimpi. “kau akan menjadi penyelamat. Dunia akan mencatat kisahmu pada sejarah.” Jujur, aku awalnya tak percaya dengan omongannya. Tapi kemudian kudengar suara lainnya, “Dusun Atas akan terangkat wibawanya, dan kau akan dihormati sebagai seorang kyai.” Kata terakhir inilah yang membuatku tertarik dan membenarkan semua perkataan lelaki tua. Menjadi kyai? dihormati lagi. Dan tentunya mempunyai banyak pengikut dari kalangan apa pun, dari mana saja. “tapi kamu harus ingat. Tujuanmu bukan untuk dunia. Tujuanmu adalah amar ma'ruf nahi munkar, menegakkan kebenaran di bumi tuhan, dan mencegah segala bentuk kejahatan.” Lelaki tua itu mundur dan berbalik pulang ke arah semula di mana ia datang. Tapi sebelum ia menghilang, aku diberinya semacam ajimat untuk pegangan. “waspadalah. Musuh-musuhmu sangat cerdik dan licik. Mereka akan menyerangmu dari arah tak disangka-sangka. Kecerdikan mereka dua kali lipat kecerdikan kumpeni sewaktu mengepung Dusun Atas.” Maka kuterima ajimat itu. memang terkesan seperti benda biasa. Tasbih dengan bulir-bulir hitam arang. “punya leluhurmu, gunakan sebaik-baiknya. Jangan pernah beritahu kepada siapa pun, sekali pun orang terdekat.”

Siapa sebenarnya lelaki tua itu? ada hubungan apa dengan Padepokan Beliung Alif?

Aku belum selesai bercerita, cucuku. Dengarlah lagi.

Adzan subuh berkumandang lamat dari surau terdekat. Aku terjaga. Tasbih ajimat itu telah tergenggam di tanganku. ini bukan sekadar mimpi. Pasti ada hubungannya dengan lelaki tua yang memberiku jimat. Lalu aku menghadap pada kakek buyutmu, Ahmad Dullah, ba'da subuh. Mendengar pengakuanku, ia tertegun. Matanya berkaca-kaca. “sudah tiba saatnya bagimu untuk menerima perintah langsung dari Alam Cahaya. Semesta tanpa ruang dan waktu. Kau terpilih sebagai satu dari tujuh trah yang akan memimpin dusun ini menuju jalan cahaya. jalan yang terang benderang. Dan sekarang aku berhak memanggilmu kyai. Kyai Juhri. Kyai Juhri Kumara Geni. Cucu Kyai Ahmad Dullah.”

****

Orang sedusun dibuat geger oleh selenting kabar yang berhembus cepat mulut ke mulut. Kabar itu datang begitu saja dari Dajiman, murid terpercaya Kyai Ahmad Dullah. “aku melihatnya dikukuhkan sebagai penerus tunggal dari status kyai yang melekat pada diri guru besar Ahmad Dullah. Itu artinya, aku dan semua murid-murid di Padepokan, tak sekali pun bisa berebut gelar itu darinya. Dengan kata lain, kami tak mungkin bisa dikukuhkan sebagai kyai dengan resmi.”

Dalail, salah seorang murid yang lain, ikut nyeletuk, “bagaimana sih kamu ini? itu kan hak guru besar. Kalau memang keputusannya sudah begitu, ya terima saja. Jangan uring-uringan gitu.”

Sejak saat itu, lentingan kabar yang berhembus menjadi pembatas hubungan antara kelompok Dajiman dengan kelompok Juhri. Mereka saling bertentangan satu sama lain. Kelompok Dajiman yang merasa terlucuti sesama saudara seperguruan sendiri, melakukan pembantaian keji pada suatu malam. Mereka mengendap-ngendap ke Padepokan Merah Cakra di seberang Sungai Batang Kembang. Membantai satu-persatu pengikut dari Kyai Marsi, pemimpin padepokan tersebut. Tak ketinggalan, Dajiman dan kawan-kawannya juga membantai Kyai Marsi. Mayatnya dicincang dan potongan-potongan tubuhnya disebar di sekitar Padepokan. Lalu dibakar. Sebelum meninggalkan Padepokan Merah Cakra, Dajiman meninggalkan satu tasbih yang serupa dengan tasbih Kyai Juhri: berbulir hitam arang.

****

Bagaimana caranya Dajiman bisa tahu bahwa benda serupa juga dimiliki olehmu? Apakah ia mencuri dengar sewaktu kalian mengobrol dengan para murid terpercaya malam itu?

Dajiman dan komplotannya selalu punya cara sendiri untuk tahu rahasia perguruan. Dia tak segan-segan melakukannya dan menebar fitnah dengan riangnya ke seluruh dusun. Hingga antara Padepokan Beliung Alif dan Padepokan Merah Cakra saling bermusuhan. Memendam kemarahan yang tak ada sudah.

Apakah itu kemudian yang membuatmu tewas terbawa arus?

Bukan itu.

Tepat setelah api disulut antara dua padepokan, Dajiman menghilang. Bersama murid-murid lain yang memilih haluan kepadanya. Mereka juga melancarkan serangan fitnah yang tak kalah keji kepadaku dan seluruh murid yang tersisa di Padepokan Beliung Alif. “Kyai Juhri itu komunis kelas kakap, ia dan murid-muridnya membiarkan al-qur'an terinjak-injak kaki para dukun yang melakukan penyerangan sewaktu sebagian besar penduduk tengah bekerja di ladang.”

“Kyai Juhri membakar surau-surau yang berseberangan dengan ideologi kiri yang dianutnya sejak lama.”

“bakar Juhri!”

“bakar Juhri dan murid-muridnya, bunuh seluruh antek-anteknya yang tersebar di seluruh dusun!”

Maka terjadilah peristiwa berdarah itu. Dajiman mendadak kembali bersama ribuan orang yang meneriakkan takbir, membawa golok dan senjata-senjata tajam lainnya. Orang-orang yang dianggap meyakini ajaran Kyai Juhri, diseret paksa dan dibakar di tengah-tengah dusun. Padepokan Beliung Alif dirobohkan, mereka membakar murid-murid yang bersikeras tetap memihak pada Kyai Juhri dan ajaran-ajarannya. Mereka lalu membawaku. Menyeret dengan paksa. “akhirnya ketangkap juga kamu, pengkhianat!

“ulama sesat memang pantas dihukum mati!”

“jangan terkecoh, dia tukang sihir yang pandai. Lucuti jimatnya!”

“lepaskan serbannya, itu yang membuatnya tetap didukung sebagai pemimpin paling bijaksana!”

“orang-orang kiri pantas mati!”

“jangan biarkan darahnya menyatu dengan air. Atau roh nya akan kembali dan mewujud menjadi raga yang baru!”

Pasukan Dajiman terus berteriak-teriak memaki. Kyai Juhri benar-benar tersiksa. Seluruh tubuhnya penuh luka. Jubah kebesarannya compang-camping dikoyak golok. Jimatnya dilucuti sebelum ia diseret paksa. Orang-orang yang jumlahnya ribuan di belakang Dajiman, mereka itulah Pasukan Angin. Pasukan pembunuh paling keji yang pernah kutemui. Mereka haus darah dan kekuasaan yang memegang nilai-nilai tuhan. Mereka termakan hasut Damijan. Aku bukan komunis yang mereka tuduhkan.

****

Dan aku pun tiba di rimbun belantara. Hutan yang tak pernah diberi nama. Bahkan oleh penduduk Dusun Atas. Belantara yang gelap, tanpa cahaya. Jalanku satu-satunya untuk memasrahkan diri adalah dengan berdoa. Memohon kepada Dzat Maha Tunggal. Pemilik seluruh izin dan kuasa. Napasku sudah putus-putus. Nyaris berjeda. Aku tak bisa lagi membedakan antara hidup dan mati.

Dajiman maju terlebih dulu, menyibak pasukannya yang mengelilingiku seraya berjaga-jaga, kalau sekonyong-konyong kesaktianku pulih.

“akhirnya kami bisa menangkapmu, Juhri. Sayang, seorang murid yang kau anggap orang terpercaya itu berkhianat dan memberi tahu pada kami tentang ajimatmu yang telah diisi para leluhur.”

“sekarang sudah saatnya kamu mati, Guru Juhri.”

Suara yang begitu dikenal oleh Kyai Juhri. Ia tertegun begitu menangkap sosok wajah yang belum terlalu lama dikenalnya. Jarsim Salim, seorang yatim yang datang dari luar Jawa. Keturunan Arab-Sumatra. Rupanya dia seorang pengkhianat kelas teri. “sudah kuduga, kamu akan tertangkap secepat ini, Guru. Tapi sebelum itu, ijinkan aku untuk mencungkil kedua bola matamu. Sebagai bukti pada langit dan bumi, bahwa kau telah mampus!”

Aku mengijinkannya. Dengan satu syarat.

Apa syaratnya, kek? Apakah Kyai Juhri benar-benar mati dan hidup kembali karena jasadnya disatukan dengan air?

Kau tampak tak sabar menunggu kisahku. Dengarlah..

Dajiman dan Jarsim Salim sama-sama tertegun. Syarat ini pastinya bukan main-main. Dan sudah tentu, Kyai Juhri akan kembali pulih dengan seluruh kesaktiannya, meski tanpa jimat. Tak mau ambil pusing, Jarsim Salim meminta golok miliknya yang telah dirajah air yassin di empat puluh jumat. Ia menggorok batang leher Kyai Juhri dengan tangkas. Kepala itu nyaris jatuh ke tanah. Tapi ditahan oleh tangan Dajiman. “roh nya akan kembali dan dia bisa hidup lagi!” Maka tubuh dan kepala itu dibuang secara terpisah. Bagian kepala dibuang di Sungai Alas Kencana, berbatasan dengan arah utara Dusun Atas, sementara bagian tubuh dibuang di Sungai Batang Kembang. Sungai yang mengalir di ujung rimbun belantara hutan tanpa nama. Kisah Kyai Juhri pun melegenda. Sebagian orang yang diam-diam percaya kepadanya meyakini bahwa kyai itu punya ilmu rahasia yang tak banyak diketahui musuh-musuhnya. Konon, setelah tubuh dan kepala itu dibuang di sungai yang berbeda, pada malam harinya orang-orang Dusun Atas melihat Kyai Juhri berjalan limbung memasuki salah satu surau yang tersisa setelah peristiwa berdarah. Mulanya warga tak yakin itu Juhri. Tapi setelah mereka mendekat ke surau dan benar-benar bersalaman dengannya, mereka pun dibuat yakin itu Kyai Juhri yang pada pagi hari sebelumnya terbunuh dengan cara keji.

****

Mengetahui bahwa Kyai Juhri kembali tanpa mengalami luka yang parah, kelompok Dajiman dibuat berang. Termasuk Pasukan Angin. Mereka dibuat tercengang-cengang. Ilmu apa sebenarnya yang dimiliki pimpinan Padepokan Beliung Alif itu?

Dajiman mengatur rencana baru. Ia belum mau jera. Ia kembali berkumpul bersama komplotannya. Membuat strategi matang.

Strategi itu, cucuku, tak pernah berhasil mereka lakukan terhadapku. Karena aku tahu jauh sebelum mereka merencanakannya. Lelaki tua itu yang memberi tahu padaku. Lelaki tua dengan baju lusuh dan janggut yang putih memanjang menyentuh tanah.

Bagaimana akhir riwayat mereka, kakek? Ceritakanlah padaku, agar jelas semuanya. Agar terang pandanganku tentangmu.

****

Di malam jumat yang dingin, Desember 1965, mereka mengepung rumahku. Aku sengaja tak mengunci pintu. Kubiarkan orang-orang Dajiman mendobraknya. Tapi ternyata tidak. Di antara komplotan Dajiman aku mencium bau parfum yang khas. Ya, itu parfum Ahmad Dullah, leluhurmu. Dajiman menangkapnya. Dan menyeretnya dengan paksa. Dengan terpaksa, Ahmad Dullah membongkar seluruh ilmu kesaktian yang kumiliki, termasuk ilmu yang paling rahasia. Warisan Dullah. “dia hanya bisa mati bila ditikam dengan senjata tajam yang sudah direndam tujuh hari tujuh malam bersama tasbih ajimat..”

Komplotan Dajiman kembali meringkusku dengan mudah. Waktu itu mereka menemukanku tengah demam di atas ranjang. Sesuai apa yang dikatakan Dullah, Dajiman yang licik itu menikam dadaku dengan keris yang sudah direndam tujuh hari tujuh malam dengan tasbih ajimat, maka aku pun terkulai ke tanah. Dengan dada yang koyak. Bersimbah darah. Dajiman puas melihat itu. Ia memerintahkan Pasukan Angin untuk menguburkan jasadku tepat di halaman padepokan baru yang didirikannya. Sementara Ahmad Dullah dibiarkannya lepas. Menghilang tak tentu rimba. Akhir 1965, sekelompok tentara datang ke Dusun Atas dan membantai Dajiman beserta pengikut-pengikutnya. Termasuk ribuan anggota Pasukan Angin. Ahmad Dullah ada di antara kelompok tentara itu.

Telah kuselesaikan apa yang seharusnya selesai, cucuku. Telah kuakhiri kisah masa muda yang penuh dengan darah dan air mata. Agar kelak kau tahu, bahwa aku, kakekmu, Juhri Kumara Geni, masih sama seperti dulu. Aku bukan kyai. bukan pula kiri. Aku tetaplah anak seorang pengasuh padepokan yang hancur karena huru-hara di tahun-tahun yang penuh pembantaian.


Surabaya, Maret 2018 



28 Jun 2019 16:29
304
Banjarbaru, Kota Banjar Baru, Kalimantan Selatan, Indonesia
2 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: