Ketika sebagian dari warga kota memilih melupakannya, tujuh anak pengamen di bawah jalan layang malah mengenangnya sebagai pahlawan tanpa potret terbaik dalam sejarah peperangan. Ia dijuluki dengan nama pangeran kunang-kunang, atau sebutlah seorang yang gemar duduk mencangkung di puncak gedung-gedung dan merekam wajah langit ketika senja mulai angslup dan tak seorang jua pun dari kami yang peka dengan keadaan itu. Baginya itu adalah keindahan. Keindahan yang tak melulu dituliskan menjadi puisi-puisi. Keindahan yang tak lekas tanggal dan lebih memilih dituliskannya dalam narasi-narasi cerita pendek. Suatu ketika, kota diserbu ratusan tentara. Mereka menamakan diri sebagai Duli Keadilan. Tapi bagi pangeran kunang-kunang, keadilan tak pernah ada di kota ini. Ia hanya menjadi mimpi bagi mereka yang terpuruk didera nasib sebagai warga jelata. Karena tak pernah ada yang menginginkannya menjadi milik kami. Karena tak pernah ada yang menginginkannya menjadi sepasang mata kami. Tuan Duli mengira kami buta. Padahal kami memiliki mata yang sempurna. Bisa membedakan kejadian-kejadian khayal dan kejadian yang nyata terjadi di hadapan. Mereka tak pernah sesumbar di hadapan koloni-koloni warga kota yang mendukungnya, karena sebenarnya mereka sedang menutup kedoknya dengan topeng kepura-puraan. Nyatanya mereka tetap hantu yang sewaktu-waktu bergelora untuk menumpas kami, menembak dengan senjata-senjata mematikan. Kami tak takut. Karena pangeran kunang-kunang selalu mendoakan kami. Ia seorang pendoa yang taat dan gemar berkata-kata dalam baris narasi. Ia suka dengan segala kegilaan. Ia percaya pada keajaiban. Ia percaya bahwa mukjizat masih nyata di tengah-tengah kota. Meski sudah tak cukup banyak orang lagi yang berharap pada keajaiban, ujarnya pada suatu sore. Kami bertemu di puncak ketinggian sebuah menara yang telah dilupakan. Pangeran kunang-kunang menyulut batang kreteknya, menghembuskannya perlahan-lahan. “kau tahu, Arsinah, sudah seberapa lama kota ini tak disebut sebagai suaka para anjing?”
Aku menggeleng. Pertanyaannya sungguh di luar dugaan. Atau ia sedang berharap pada sebuah mukjizat, di mana pada masa yang jauh berlalu, anjing-anjing sering melakukan persalinan di rumah sakit kota dan membesarkan anak-anaknya dengan perilaku yang haram jadah. Maka dari itu, katanya, kita perlu waspada pada wabah anjing. Semakin hari semakin banyak yang jadi gila karenanya. Kehilangan kewarasan. Orang-orang di kota ini semakin jauh dari kebenaran dan norma-norma dalam nubuat. Padahal kita pun adalah bagian dari mereka. Sudah selayaknya merasakan kegilaan-kegilaan itu, Arsinah. Tapi kita bukan apa-apa. Kita hanya pejalan remang yang mencari letak arus maha jernih. Kita mencari kebenaran. Sebelum mereka menculik kita lagi, seperti dulu. Tidakkah kau ingat ketika suamimu diciduk di rumah kontrakannya, tengah berkumpul bersama tujuh belas kawan-kawannya yang lain, tengah berdiskusi dan menyimak tutur sejarah kelam dari belasan buku kiri?
Mereka tak bersalah, Arsinah. Mereka hanya bagian dari ketidakadilan. Kita berusaha keluar dari kungkungan itu. Tapi semakin jauh kita berjalan, semakin jauh kita menghindar, Duli Keadilan selalu siap dengan senjata-senjata di tangan, mereka menyelipkan barisan para anjing yang selalu siaga di mana-mana, mereka akan menjemput kita, kau dan aku, pada hari-hari yang telah ditentukan. Arsinah, bukankah kita sama menduga, bahwa kebenaran pada akhirnya hanya bermuara pada anjing-anjing yang mati suri, yang sewaktu-waktu bangkit dari tidur nyenyaknya, menyebarkan kembali wabah ekstremis seperti yang terjadi puluhan tahun lalu? kita akan menjadi dongeng dan dituturkan dalam buku-buku non-kanon. Kita hanya akan menjadi luka yang bertahun-tahun kembali dari kesedihan. Berupaya pulih, namun tak mampu.
Apa gerangan makna keadilan dan kebenaran, bagimu, pangeran?
Kurang lebih sama: mengedepankan luka yang telah dikubur, menggalinya kembali, dan bersedia mempertanggungjawabkannya.
Siapa yang harus bertanggung jawab?
Duli Keadilan. Mereka adalah bagian dari sejarah kota ini. Mereka tak terlacak. Mereka selalu sembunyi. Mereka kembali di saat-saat genting seperti sekarang. Ketika zaman mulai berisik dan kita hanya bisa menjadi penonton di luar lingkaran.
*
Setelah bertahun-tahun kepergiannya, perlahan Arsinah mulai mengerti bahwa ucapan pangeran kunang-kunang ada benarnya. Kota Silap bukanlah sebuah kota yang berwajah lugu ketika huru-hara terjadi puluhan tahun silam. Ia telah menjadi saksi bagi lautan peperangan. Darah yang tumpah ke jalan-jalan. Teriakan orang yang dibakar dalam gedung-gedung. Belasan perempuan yang meloncat dari apartemen-apartemen. Mayat yang mencari janji. Kebenaran. Keadilan. Bedanya sangat tipis. Pangeran kunang-kunang telah membuktikan ucapannya.
Arsinah mungkin tak pernah tahu, bagaimana Kota Silap yang megah dan penuh dengan lelucon menyedihkan bisa demikian hidup dan terus tumbuh di atas penderitaan yang lama terkubur dalam suram tanah. Arsinah hanya kerap kali menduga, Duli Keadilan telah menjadi dongeng usang di kota ini. Duli, sebagaimana yang diceritakan pangeran, adalah lanskap terdepan dari hulu peperangan yang tak kenal jeda dan ampun. Sejarah barangkali telah alpa, bahwa langit pernah mendung bergulung-gulung, membakar tangisnya dalam tungku nirwana, melihat ketidakadilan yang seakan tontonan sehari-hari penduduk Kota Silap.
*
Pangeran kunang-kunang, apa lagi yang bisa kau ceritakan padaku tentang Kota Silap? Aku ingin banyak tahu darimu.
Tak ada yang bisa kuceritakan lebih banyak. Aku tumbuh dalam pertengkaran-pertengkaran para anjing di kota ini, menjadi satu-satunya saksi yang meyakini bahwa mukjizat pernah turun dengan wajahnya yang lain.
Seperti apa mukjizat yang kau maksudkan?
Dulu, ketika Duli Keadilan membabat habis sekumpulan etnis yang dituding sebagai pemicu peperangan, ada seorang pemuda yang datang dan berusaha melerai pembantaian itu. Ketua Duli menanyakan apa tujuannya datang melerai dan ia hanya menjawab, “kita sesama pemuja tuhan. layakkah melakukan hal yang demikian?”
Pertanyaannya membuat Duli Keadilan berang. Salah seorang dari mereka menembak tepat di jantungnya. Sementara anggota-anggota yang lainnya menembak pelipis dan keningnya yang dilumuri cahaya.
Lalu apa yang terjadi? Apakah pemuda itu mati dengan tubuh yang bersimbah darah? Ataukah wajah yang remuk nyaris tak bisa lagi terbaca?
Peluru-peluru yang menghujani pemuda itu seakan-akan menembus dinding baja. Tubuh si pemuda tak mengalami lecet atau pun luka sedikit pun. Perlahan, ia mengudara. Tubuhnya mengambang di atas tanah. Dan ia merentangkan tangan. Punggungnya bercahaya, dan aku melihat ia meneteskan air mata. air mata yang tak biasa. air mata seorang yang disucikan. Air matanya deras mengucur, membuat beberapa jalanan tergenang. Duli Keadilan dibuat tercengang-cengang dengan insiden hari itu. Sebuah peristiwa yang tak akan mereka lupakan.
*
Apakah ada seekor anjing yang semalam menyusup ke dalam tidurmu? Tanya pangeran kunang-kunang kembali terlintas di kepala Arsinah. Pertanyaan yang diajukannya tepat bertahun silam, sebelum ratusan peluru deras menghujani tubuhnya hingga tersungkur penuh darah.
Aku tak tahu. Tapi aku bisa merasakan endusan napasnya. Napas yang menderu dan penuh geram. Napas yang terus-menerus dan tak putus. Aku membayangkannya sebagai bagian dari lelucon malam hari.
Berarti kau tak bisa tidur dengan nyenyak selama menetap di Kota Silap. kau harus enyah. Menghilang dari barisan para anjing.
Tapi mereka akan mencariku, pangeran. Mereka akan datang dan mendobrak pintu rumahku yang kumuh. Mereka akan bertanya apakah aku masih menyimpan album catatan harianmu yang kusimpan rapat-rapat dalam kotak kayu di ruang bawah tanah. Dari album itulah aku tahu tentang sejarah Kota Silap. Kau menuliskannya seperti babak-babak dongeng yang melenakan. Membuatku percaya jika ketidakadilan terus tumbuh dan membiak di kota ini, menjelma anjing-anjing yang senantiasa didera lapar.
Dan jika mereka berhasil menemukannnya, kau akan jadi santapan segar yang kesekian. Tubuhmu dikoyak-koyak. Mereka akan membuang bagian-bagian tubuhmu yang telah hancur ke tempat yang berbeda dan saling berjauhan. Karena sebagian percaya, kau bukan seorang manusia biasa. Kau adalah turunan pertapa sakti. Memiliki segudang sihir. Dapat bangkit setelah mati.
Mereka hanya mengada-ngada, Arsinah. Jangan percaya. mereka pasti juga akan membujukmu. Mereka akan bertanya padamu di mana aku bersembunyi. Mereka juga akan bertanya di mana kau sembunyikan catatan harian milikku yang bertutur tentang kegilaan para anjing. Jika mereka dapat menemukannya, tamatlah aku.
Seperti yang kau duga, mereka tentu saja akan membawa tubuhku jauh ke dalam hutan, menyeret-nyeretnya bagai bangkai yang penuh dengan lumuran dosa.
*
Aku mencintaimu, Arsinah, ujar pangeran kunang-kunang pada suatu malam. kau harus tahu, setiap kita telah ditentukan oleh lorong-lorong yang menyediakan banyak arus. Kita tinggal pilih ingin melewati yang mana. arusnya sangat tajam dan dalam. Kau harus jeli dan membaca dengan jernih. Jangan sampai terjebak. Atau kau akan celaka dan dipenuhi sesal demi sesal. Seperti mereka yang gegabah untuk menetap di kota ini, menikahi keturunan-keturunan anjing, membual tentang perangai Duli Keadilan. Adakah kau berpikir mereka raja, Arsinah? Adakah kau menduga mereka adalah bagian dari kesedihan yang tersembunyi di dada warga jelata, hidup dalam naung kumuh rumah-rumah rapuh, menyisir senja setiap sore, mengais harapan yang tercecer sembarangan di jalan-jalan, berebut jatah, lalu mati dalam keterasingan suara?
Kita saksikan Kota Silap dengan segala keajaibannya, perang yang tak ada sudah, kedatangan manusia dari penjuru langit, bunuh diri para wanita muda di hari silam, dan banyak kenangan-kenangan yang menjadi batu di tiap penjuru, monumen terbaik yang diukir tangan para perupa, dan kita tak akan pernah lupa.
Apakah keajaiban selalu diukur dari seberapa banyak penderitaan yang mendera, pangeran?
Barangkali iya. Karena kita yang demikian percaya. Karena kita yang kadung mengerti bahwa luka terus ditumbuhkan dalam ingatan yang tak pandai menyurat obituari kisah. Kita hanya dalih. Dari sebagian yang terbujuk. Kita hanya episode tahun-tahun tugur yang terus mengulang, tak tahu sudah seberapa jauh jejak menempuh.
Apakah pangeran percaya keajaiban selalu datang dari langit yang telah diberkati?
Tergantung dari seberapa dalam kita memaknai rindu. karena semakin sunyi kita pada barisan kisah yang kubagi, maka akan semakin khusyuk kepalamu menampung tajuk-tajuk warna dari sebagian peristiwa. Peristiwa yang tak akan kau lupakan. Juga namaku yang akan terus kau kenang.
Sekarang aku tahu. setelah kau pulang, pangeran, semakin tampak ketidakadilan yang merongrong seisi Kota Silap. Mukjizat telah kehilangan wajahnya yang asali. Orang-orang sudah tak butuh lagi doa. Mereka hanya butuh kebenaran dari segala yang kau ceritakan. Karena kau adalah bagian dari kota ini. Karena kau adalah bagian dari kesedihan yang memilih arus maha hening. Sebab itulah kita setia percaya, bahwa yang pahit akan mudah dikenang, bukan sebagai lelucon yang amatir, sudah sepantasnya patut diperdengarkan bagi telinga tegar menampung.
Bertahun-tahun, setelah kepergiannya yang sunyi, kami masih kerap mendengar banyak pembual di kedai kopi yang mengisahkannya. Ia selalu menjadi buah bibir yang tak lekas pudar dari dinding ingatan kami. Ia seorang pahlawan dari balik kertas, menyuratkan kegelisahan-kegelisahan di Kota Silap. Ia wakil dari seluruh keluh. Pada malam-malam tertentu, sebagian kami percaya, ia kembali sebagai puluhan kunang-kunang yang berebut masuk ke ruang-ruang kota. Mencari Arsinah.
Surabaya, Februari 2019