MEMBACA KAFKA
Cerpen
Kutipan Cerpen MEMBACA KAFKA
Karya terumbukata
Baca selengkapnya di Penakota.id
Sangat mengesalkan jika sebuah aktifitas tergantung pada kondisi fisik. Hampir setiap hari ia merasakan sakit kepala yang nyaris tak tertahankan selepas bangun tidur. Biasanya, ia akan menuju dapur dan mengambil segelas air putih serta menenggak pil pereda nyeri untuk membunuh sakit di kepalanya itu. Beberapa orang teman dekatnya pernah menyarankan agar ia memeriksakan penyakitnya itu ke dokter dan ia selalu menolak dengan alasan ia tak akan siap menerima vonis dokter jika ternyata penyakitnya itu adalah penyakit berbahaya dan mengharuskan kepalannya di bedah. Ia tidak ingin mengalami kejadian seperti itu sebab ia menganggap kepalanya adalah satu-satunya aset yang paling berharga dan mampu menghidupinya selama ini selain banyak fakta membuktikan bahwa orang yang pernah di bedah kepalanya, mereka tidak akan pernah “kembali utuh” dan ia takut meskipun masih membayangkannya.

Tidak berbeda dengan hari itu. Seharusnya, ia menghabiskan satu buku yang beberapa tahun terakhir ini ia cari dengan berkeliaran dari satu toko buku ke toko buku lain di kota kecil tempat ia tinggal. Dan, buku itu sebenarnya ada di daftar nomor seratus dua puluh sembilan dari buku catatan yang ia beri nama “Daftar Buku Buruan” dan selalu tersimpan dalam tasnya yang kumal beserta laptop dan biasanya beserta satu novel atau buku kumpulan cerita yang secara serampangan ia beli di toko-toko buku yang di anggapnya lebih sering mengecewakan karena koleksinya yang itu-itu saja.

“Seharusnya, toko buku menyediakan bahan bacaan yang bagus untuk konsumennya,” gerutunya suatu kali.

Ia memang agak sensitif terhadap konsumsi bacaan yang seharusnya menjadi salah satu tanggung jawab pemilik toko buku dan jika perlu seharusnya hanya menjual buku-buku yang “layak” baca terutama bagi anak-anak seumuran sekolah menengah. Mungkin saja ia terpengaruh ucapan pengarang yang pernah ia baca bahwa ketika akan menghancurkan sebuah bangsa, maka hancurkan kaum mudanya dengan literasi yang tidak bermutu macam novel-novel cinta picisan remaja sekarang. Itu hanya akan membuat bangsa ini menjadi bangsa yang mencetak generasi-generasi cengeng dan cengeng tidak akan mendapatkan ampun dari para kapitalis yang berkuasa menciptakan kondisi mirip slogan hidup bagi para penghuni hutan: siapa yang kuat maka ia yang menang!.

Aku tahu, ia banyak membaca tulisan-tulisan Marx, Feurbach, atau Angels bahkan beberapa dari buku bacaannya yang pernah ia ceritakan padaku adalah tulisan-tulisan dari para ulama meskipun aku sangsi apakah ia pernah menamatkan kitap suci yang berada di sudut paling ujung di rak bukunya baris paling atas.

Malam itu, ia baru mendapatkan Kafka, sastrawan murung kelahiran Praha, dan dalam pesan singkat yang ia kirimkan padaku ia akan “menghabisinya” esok hari. Begitu bersemangat ia hingga sampai pukul sepuluh malam ia berpamitan untuk tidur. Membaca Kafka, baginya adalah sebuah anugerah dan ia rela membunuh jam malamnya hanya untuk Kafka. Padahal, biasanya ia akan beranjak ke tempat tidur ketika hari menjelang subuh. Hal ini membuatku berfantasi tentang hal itu; mungkin baginya, membaca Kafka sama fantastisnya dengan perayaan hari kemerdekaan.

TIGA hari kemudian kami bertemu. Masih dengan gayanya yang khas, ia tidak pernah benar-benar kelihatan segar meski telah mandi, dengan tas kumal yang aku tahu isinya akan tetap selalu sama. Di tempat favorit kami, setelah memesan dua cangkir kopi hitam, ia membuka tas kumalnya dan mengeluarkan Kafka-nya dan menyodorkannya padaku. Aku agak terkejut, bukan karena paksaannya agar aku mengambil buku itu, tetapi karena buku itu masih bersampul plastik dan dengan tempelan harga yang dipaksa di hilangkan tapi tidak pernah benar-benar hilang semakin menandakan bahwa ia belum membuka buku itu.

Ia mengerti keterjutanku dan tersenyum, setelah pesanan kopi kami datang ia membuka perbincangan dan melunaskan keterkejutanku dengan mengatakan agar aku membacanya lebih dulu. Sebuah kehormatan, pikirku. Dan, aku, lebih tepatnya kami, tidak pernah benar-benar tahu mengapa kami sangat menyintai bahkan memuja buku-buku terutama buku-buku sastra klasik dan filsafat.

“Kepalamu lagi?,” tanyaku.

“Tidak. Aku hanya ingin kau yang membukakan buku itu untukku,” ucapnya.

Mendadak, jantungku berdebar sangat kencang. Belum pernah ada orang yang benar-benar memperlakukanku berdasar apa yang paling aku inginkan. Bahkan perempuanku yang malah seringkali uring-uringan ketika kuajak pergi atau tanpa sengaja mampir ke toko buku. Aku meletakkan buku itu diatas meja warung kopi. Sampul dengan dua warna; hitam dan krem yang bertengger nama penulisnya “FRANZ KAFKA” di bagian paling atas dan di bawahnya adalah salah satu lukisan Picasso yang terkenal dan judul buku yang diambil dari judul kumpulan cerita Kafka sendiri; Metamorfosis.

Akupun belum pernah membacanya. Hanya sekedar pernah mendengar nama besarnya yang telah memberikan satu aliran baru dalam penulisan abad kedua puluh dan bagi penulis-penulis sesudahnya. Yang tidak lagi membedakan mana kenyataan dan mana imaji. Semuanya membaur menjadi satu. Fiksi adalah kenyataan itu sendiri.

Ia mengamatiku dengan takzim dan membiarkanku berkecamuk dengan pikiranku sendiri. Terlihat di ujung mataku kemudian ia mengambil buku yang lain dan mulai membacanya sejenak dan mengeluarkan laptop miliknya. Ia terus sibuk dengan dunianya sementara buku di hadapanku belum juga kujamah dan selama itu pula, keinginannya belum aku kabulkan. Ia melirikku dan tergambar seulas senyum yang mencurigakan. Ia tahu, aku sangat menginginkan buku itu. Dan, lagi-lagi aku harus menebak, apa yang sedang ia pikirkan?.

Buku itu tetap menjadi saksi pertemuan kami yang sunyi. Kami lebih banyak bicara terhadap diri kami masing-masing atau lebih tepatnya ia masih dengan laptopnya dan aku dengan pikiranku sendiri. Kafka, Kafka, dan Kafka….hanya itu yang ada di pikiranku sedang ia kulihat tambah sibuk dengan membolak-balik halaman buku bersampul jingga dan mengambil satu buku lagi dalam tasnya tanpa bicara sepatah katapun. Kedai tempat kami bersinggah juga semakin ramai dan gelak tawa terdengar di setiap sudutnya. Suara lelaki dan perempuan meriuhkan suasana yang tetap tak mampu merubuhkan beku di antara kami.

Tak terasa telah kuhabiskan secangkir kopi dan niatku untuk memesan secangkir lagi terpotong oleh suara seseorang yang asing, jelas ia seorang wanita dengan logat yang baru kudengar sekali ini. Suaranya yang renyah menarik perhatiannya saat memanggil lelaki di depanku ini dengan sebutan yang asing, bahkan selama aku mengenalnya, tak pernah nama itu kudengar dari mulutnya; Gregory. Dan aku hanya terhenyak mendengar kawanku ini dipanggil begitu oleh seorang perempuan yang jelas bukan dari Indonesia. Tinggi semampai dan jika boleh aku menilai, dada dan pinggulnya ideal dipadu dengan tinggi tubuhnya, dengan rambut hitam ikal sedikit pirang, bermata buah plum, dan saat mendekat aroma vanili samar-samar tercium dari tubuhnya.

Ia berdiri dari tempatnya dan menyambut kedatangan perempuan itu yang kutahu namanya adalah Margareth asal Italia, setelah kami berkenalan. Dalam pikiranku, ingin aku bertanya; berapa banyak perempuan Italia yang bernama Margareth?.

“Ini temanku yang sempat kuceritakan padamu beberapa waktu lalu, Margareth.”

“Aku sungguh ingin membaca karyamu dan bertanya sedikit tentang itu, Mr. Sandono,” katanya sambil menoleh ke arahku.

Aku tidak tahu arah pembicaraan ini. Dan sejenak, dungu menghuni kepalaku.

“Sengaja aku tidak memberitahumu San, bahwa hari ini kau akan aku kenalkan pada Margareth. Ia sangat tertarik dengan “Pembunuh” dan ingin mewawancaraimu mengenai novel itu. Jika kau beruntung, Margareth akan menawarkan karyamu itu ke penerbit luar negeri untuk pameran buku di Bologna tahun depan.”

Pikiranku seperti lumpuh. Ketidakpercayaan menghinggapi relung dada. Sekali ini mungkin aku tidak akan percaya terhadap perkataannya. Beruntung, Margareth mengetahui kebingunganku. Ia menyadarkanku dengan mencoba meyakinkanku tentang niatannya itu dengan memberiku kartu namanya. Sejenak kuperhatikan kartu nama itu dan tertulis disana nama dan alamat serta nomor telepon tempat dimana ia bekerja. Di tengah keterkejutanku, aku tidak menyadari Pramono mengemasi semua barangnya dan berpamitan.

“Sebaiknya, kalian berdua kutinggalkan agar lebih leluasa membicarakan niatan Margareth.”

Lelaki itu berlalu tanpa pernah memalingkan mukanya lagi kepada kami. Sejenak, kuperhatikan sesaat sebelum ia beranjak, ada kepuasan yang terpancar dari air mukanya yang kukenal setelah bertahun-tahun dan ini baru kulihat hari ini. Saat ia mempertemukanku dengan Margareth.

“Ia memang lelaki misterius dan kami bertemu saat kami menghadiri persiapan Frankfurt Book Fair beberapa waktu lalu,” jelas Margareth.

Aku tidak menimpali perkataan Margareth. Aku hanya merasa bahwa aku mengenal Pramono dengan baik dan aku salah. Ia memiliki nama lain, Gregory Ileiych Kafka, nama yang di berikan oleh ibu angkatnya semasa kecilnya yang murung. Tentu saja Margareth yang memberitahuku. Dan aku masih separuh membaca Kafka.





13 Feb 2018 22:48
123
Kediri, Jawa Timur
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: