ER
Cerpen
Kutipan Cerpen ER
Karya terumbukata
Baca selengkapnya di Penakota.id
“Barangkali kau harus mencari kelucuan-kelucuan dalam hidupmu agar kau tidak cepat menua dan segera masuk liang kubur,” begitu kataku padanya. Sebab, menurutku hidup yang ia jalani terlalu serius.

“Sekalipun itu tidak lucu, begitu?,” sanggahnya.

“Tentu saja. Untuk mencari bahagia kau tidak perlu harus serius dalam tiap persoalan yang menghampiri dirimu seperti tamu yang tidak di undang dan kau mendampratnya sedemikian rupa dengan kemarahan-kemarahanmu. Tapi aku selalu menganggapnya sebagai sebuah lelucon.”

“Hei, Bung…hidupmu terlalu santai.”

“Jadi apa kau juga berpikir saat aku menikahimu, itu juga merupakan bentuk santai atau leluconku kepadamu, sayang?.”

Ia hanya diam. Seperti merenung tapi tidak seorangpun diijinkan mengetahui apa yang ia pikirkan. Sama seperti Er saat malam pertama dengan Fe di sebuah kamar pengantin untuk beristirahat setelah seharian memasang tampang bahagia padahal lelahnya setengah mati. Er tidak pernah mengetahui isi pikiran Fe saat mereka berdua dalam kamar dan menikmati malam pertamanya. Baru setelah beberapa tahun mereka berumah tangga, Er bertemu dengan Ge, karyawan baru pindahan dari kota pahlawan, dan dengan enteng mulut Ge berseloroh padanya,”apa kau tahu siapa yang dibayangkan suamimu saat kalian meneguk nikmatnya malam pertama pengantin baru?.” Sambil nyengir Ge berlalu, membuat hati Er mengumpat dan ingin melemparnya dengan sepatu.

Ge, barangkali adalah makhluk yang keranjingan dengan lelucon-lelucon. Er bahkan pernah berpikir sinting, barangkali Tuhan sedang tertawa saat membentuk dan menurunkannya ke dunia. Barangkali, Tuhan juga membatin bahwa siapa saja yang berhadapan dengan Ge, maka ia akan di buat menderita gemas. Er menceritakan padaku kekesalan-kekesalan hatinya saat bertemu dengan Ge, di mana saja. Di kantor, di jalanan, di mall, di toilet, di bandara, di terminal, di mana saja, bahkan dengan gemas, aku mengetahuinya saat Er bercerita tentang Ge dengan segala keusilannya sembari meremas sprei atau memeluk guling dengan erat, ia mengaku pernah berdoa kepada Tuhan agar melenyapkan saja spesies seperti Ge dan sejenisnya. Aku semakin kuat berkesimpulan bahwa Er dalam menjalani hidupnya terlalu serius. Sebab bagiku, Ge bukan ancaman akal sehatnya, selain Er memang seorang yang sangat rasional.

Perlahan aku penasaran dengan Ge, apa mungkin ia adalah jenis manusia yang jauh lebih santai dariku. Sebab, Er mau menikah denganku hanya karena kesantaianku menjalani hidup. Dari hal itu aku mulai mahfum, sedikit demi sedikit, Er mau menikah denganku hanya karena ia butuh penyeimbang. Ia merasa bahwa aku adalah orang yang ia butuhkan setiap saat, walaupun barangkali tanpa ia sadari bahwa, sekali lagi, ia terlalu serius dalam hidupnya meski sesekali aku juga memaklumi kegilaan-kegilaannya. Tapi ia tidak pernah ingin mengubah itu, lebih tepatnya mengakui hal-hal itu menjadi karakternya.

Dalam hati aku ingin bertemu makhluk bernama Ge ini. Suatu saat pasti aku akan bertemu dengannya. Aku yakin itu. Sejangkah saja sebenarnya. Ge adalah anak buah Er dan aku suaminya. Kapan saja aku ingin bertemu bahkan tanpa alasan yang jelas sekalipun, aku pasti bisa menemuinya. Dalam hati aku sedikit cemburu. Kenangan itu datang begitu saja tanpa di minta. Aku mengenal Er dari hal-hal yang konyol dan akhirnya aku bertemu dengannya di sebuah rumah ibadah, itupun di tempat ramai. Belakangan baru aku mengetahui dari pengakuannya bahwa ia sengaja mengajakku bertemu di tempat ramai disebabkan karena jika aku berniat berbuat tidak senonoh terhadapnya, ia tinggal berteriak saja dan orang-orang akan dengan ikhlas mendaratkan pukulan atau tendangan kepadaku tanpa kesulitan. Aku tertawa saja mendengar pengakuannya. Itu salah satu kekonyolannya yang tidak akan aku lupakan sampai kapanpun, dan barangkali salah satu alasanku yang paling kuat mengapa aku mau menikahinya. Ia merancang segala sesuatunya dengan keinginannya, kecuali aku. Barangkali saja, aku adalah satu-satunya hal yang baginya adalah sesuatu yang tidak akan pernah selesai berurusan dengan rasionalisme-rasionalismenya atau rencana-rencananya terhadapku dan memang aku buat seperti itu, sebab cinta adalah bagaimana membuat seseorang tidak pernah lepas dari memperhatikan pasangannya, bukan?. Selain banyak hal umum yang terjadi di lingkungan sekitar, anak misalnya. Bukannya apa, aku hanya ingin menjadi satu-satunya orang yang ada dalam hati dan pikirannya. Itu saja. Dan aku akan membuat Er seperti itu sepanjang nafas kami masih beriringan.

Seperti biasa, pagi selalu menjadi bagian waktu paling sibuk bagi kami. Dan segala kekonyolan-kekonyolan selalu saja terjadi. Bukannya aku tidak memperhatikan, namun aku baru menyadarinya akhir-akhir ini dan aku sangat menikmatinya. Dari situ aku mulai menyadari bahwa ternyata pilihanku menikahi Er tidak salah. Perlahan tapi pasti cinta mulai meremaja di hati meski usia kami sudah tidak mungkin masuk dalam kategori remaja. Tapi apa salahnya, aku mencintainya dengan kesadaran yang benar-benar baru. Mencintai dengan kesadaran yang mendewasa dan lebih saling memahami bahwa segala kekurangan dan perbedaan di antara kami benar-benar merekatkan ikatan batin di antara kami. Terserah apa kata orang, ini adalah cinta kami dan persetan dengan mulut manusia-manusia nyinyir.

Pagi itu pula dengan kesadaran perasaan yang baru, seperti kilat dengan kecepatan cahaya dan suara, sekaligus menjadi perasaan yang jengkel. Telepon genggam di meja makan tempat Er menyediakan kopi untukku setiap pagi, sebuah pesan masuk. Karena aku merasa tidak ada apapun lagi di antara kami setelah malam pertama itu terjadi, aku santai saja membuka pesan itu.

“Maaf, Yu. Saya membatalkan jadwal hari ini.” Pesan itu datang dari Ge. Aku mengumpat dalam hati. Sialan, sepagi ini ia sudah ingin merusak suasana rumah tangga kami yang dengan susah payah aku jaga sedemikian rupa. Bahwa sebenarnya, pesan-pesan semacam itu sering mampir ke telepon genggam Er di waktu yang sama dari anak buah Er yang lain. Tapi ini dari Ge. Nama yang seringkali keluar dari mulut Er sebelum kami tidur berpelukan atau bercinta, misalnya, di malam hari. Sebenarnya aku tidak pernah merasa semarah ini, bahkan seringkali aku yang menenangkan Er jika ada pesan-pesan semacam itu. Namun kali ini rasa itu benar-benar berbeda. Apa ini pengaruh dari kesadaran-kesadaran baru yang baru saja aku alami?. Dan mulai hari itu, aku menganggap Ge adalah sebuah ancaman. Jika aku bertemu dengannya nanti akan aku beri tanda padanya bahwa Er, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, adalah bebunga di hati dan pikiranku. Semangatku dalam bekerja, menjadi bara nafasku dalam menghadapi sempitnya keadaan yang menyesakkan dada dalam pekerjaanku, dan satu-satunya nama yang menjaga hati ini agar tidak berpaling kepada perempuan lain sekalipun itu lebih cantik dari segi fisik dari Er. Aku membanting gelas kopiku dan meninggalkannya ke kamar mandi. Dan melalui sudut mata yang sebentar, aku melihat Er sedikit kaget dan dengan wajah bertanya-tanya mengarahkan pandangannya padaku. Sambil meninggalkan meja makan mengambil handuk untuk mandi, aku menggaruk-garuk kulit kepala dengan gusar dan masuk ke kamar mandi dengan membanting pintunya.

Sekembalinya berdandan ala kadarnya, dan memang begitulah aku, aku kembali ke meja makan dengan Er duduk di seberang tempat duduk yang biasa aku duduki untuk sarapan dengan kepala tertunduk. Begitu juga dengan Er. Tidak seperti biasanya. Mungkin, Er tahu apa yang ada dalam pikiranku. Beberapa waktu kami di sergap kesunyian.
“Mas?,” begitu sapanya memecah keheningan. Dan baru kali itu ia menyebutku begitu setelah sekian lama kami menikah. Aku tidak menghiraukannya dan tetap diam. Ia menggerakkan tubuhnya untuk mengambilkan aku sarapan. Dengan masih tetap terdiam aku memperhatikan gerak-geriknya. Lembut sekali, seperti seorang ibu yang melayani anaknya dengan penuh kasih sayang.

“Apa ada yang salah denganku?,” lanjutnya dengan meletakkan piring yang di pegangnya ke hadapanku. Ia kembali duduk. Dari intonasinya pagi itu, ia berbeda, tidak seperti biasanya. Lebih lunak di telinga dan menyiratkan sayang meski aku tahu, ia adalah orang yang paling anti berkata mesra bahkan terhadap suaminya sendiri.

Dengan masih terdiam aku meunjukkan raut ketidaksenangan padanya dan baru kali itu aku melakukannya terhadap Er. Beberapa saat aku tidak menyentuh piring berisi sarapan pemberiannya. Tanpa di duga, perlahan ia menyentuh punggung tanganku dengan lembut. Menggenggamnya sedemikian rupa, namun bukan itu yang membuat aku terkejut dan perasaan marah berubah menjadi sayang yang meluap-luap. Namun, setelah ia mengatakan sesuatu yang membuatku bersumpah dalam hati bahwa aku akan mempertahankannya mati-matian apapun yang akan terjadi di kelak kemudian hari.
“Jadi, kau…?, coba kau ulangi sekali lagi!,” kata-kataku terbata, lidahku kaku, perasaanku tidak jelas menggambarkan apa. Air mataku mengalir tanpa sengaja. “Iya, Mas. Aku hamil.”


15 Feb 2018 08:03
92
Kediri, Jawa Timur
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: