Cuma Lima Gram
Cerpen
Kutipan Cerpen Cuma Lima Gram
Karya tolears
Baca selengkapnya di Penakota.id
UJUNG gunting menyentuh pelipisku. Dinginnya menusuk, dan bertambah mencekam sebab posisiku telentang di lantai keramik pukul sebelas malam. Kami tidak biasa seperti ini.

Gorel menduduki perutku dan gunting yang seminggu sebelumnya kubeli, ia pegang dengan tangan kanan. Seperti kubilang, kami tidak biasa seperti ini: bertengkar sampai salah satu di antaranya perlu senjata untuk memenangkan argumen atau hal lain.

"Kau tahu, seharusnya kau tidak membiarkan barang itu lenyap!" Gorel membentak dan liurnya menyembur ke wajahku.

"Aku lupa. Sumpah! Aku lupa di mana meletakkannya. Kemarin, sebelum kau pulang kemudian kita berpesta, mabuk, lalu tidur sampai tadi pagi, barang itu masih di tempat biasa aku menyimpannya."

Aku mengatakannya dengan ketenangan serupa lelaki yang digiring oleh kerumunan orang untuk kemudian disiksa. Tapi, Gorel, aku sangsi apakah ia mengira kalau aku betul-betul tenang atau hanya berusaha menampakkan sikap tenang.

"Aku yakin isi kepalamu sanggup memikirkan kalau barang itu penting, sebagaimana bola matamu yang sebentar lagi kucongkel!" Gorel kembali membentak dan liurnya tetap bercipratan.

Sebetulnya, sikap tenang yang kuperlihatkan adalah kubuat-buat dan, pada saat yang sama, aku memikirkan jawaban yang masuk akal bagi Gorel. Kami sudah dua tahun menikah. Selama itu, bertengkar sampai perlu senjata untuk memenangkan argumen atau hal lain hanya pernah terjadi sekali--dua dengan sekarang. Yang pertama saat ia memergokiku, di kamar kami, sedang bersanggama dengan teman dekatnya.

Tidak mungkin kukatakan barang yang semestinya besok sampai ke tangan, kata beberapa temanku, pemadat pengidap psikopat, tertinggal di wastafel toilet umum atau tempat lain di mana saja. Kebiasaan lupa tak banyak menggelendoti hidupku. Gorel bukanlah interogator, tapi ia tahu itu. Jadi, kalau kubilang lupa menaruh kembali barang itu ke celana dalam, tentu bukan gagasan yang dapat dengan mudah diterima isi kepalanya.

"Jawab, Tolol!"

"Coba tenang sebentar dan, gunting di tanganmu, kau tahu aku empat tahun tinggal di Banten. Mending kauambil dua botol bir dan kita bicara baik-baik."

"Apa jaminan kau di sana empat tahun lalu kebal terhadap gunting? Kan, bisa saja, kau cuma jadi penjaga kolam renang umum dan bukannya belajar ilmu kebal," katanya masih dengan berteriak-teriak. Alangkah tenangnya kalau setiap manusia lahir dibekali peranti untuk mengatur telinga menjadi budek sementara.

Berteriak, bagi sebagian atau kebanyakan orang memang menjadi ciri ketika emosi. Tetapi, berteriak, sepertinya bukan alasan otak tak mampu bekerja dengan baik untuk menciptakan ketenangan sebagaimana kenormalan pukul sebelas malam di kompleks perumahan. Gorel orang semacam itu. Banyak orang semacam itu. Tapi tidak dengan jiranku.

***
MEREKA pasangan muda. Dua hari silam, mereka mengundang kawan masing-masing untuk berpesta yang berakibat jalan menuju rumahku berhiaskan tamu-tamu yang mabuk dan tertidur di rerumputan pukul dua dini hari. Teronggok seperti buah bintaro busuk, kalau kubilang tahi terkesan merendahkan. Sementara di halaman, pasangan tuan rumah masing-masing memegang sebotol San Miguel sembari mengisap secara bergantian, lintingan yang aku tahu dari jenis apa. Mereka menawariku, tapi aku sedang tidak selera dengan keramaian dan memilih masuk rumah.

Malam setelahnya, aku bertemu yang laki-laki di sebuah pub. Ia dikelilingi tiga perempuan, dan baru sadar ketika aku duduk di sebelahnya: memesan sebotol bir.

"Abang, kan, tetanggaku? Sering kau ke sini, Bang?" tanyanya dengan masih disibukkan tiga perempuan--satu di pangkuan.

"Yah, lumayan. Kau sendiri?" Aku membakar rokok dan melirik perempuan di pangkuannya.

"Semenjak menikah dan pindah rumah, pindah juga tempatku buang sial. Tiga kali ini, aku ke sini, Bang."

"Ya, ya, ya. Bagaimana tinggal di sini? Betah?"

"Betah, Bang. Orang-orang di sini punya selera hidup yang tinggi. Tak banyak mereka buang-buang suara, asal puas makannya."

"Yah, begitulah. Mereka tahu bagaimana jadi manusia. Omong-omong, kutinggal dulu, ya. Kapan-kapan, mainlah ke rumahku."

Setelahnya aku pulang. Tak banyak kegiatan yang kulakukan hari itu. Paket sudah kuantar. Aku sedang tidak punya kemauan buat membonsai kamboja. Gorel ke luar kota dan baru akan pulang sehari kemudian.

Pukul sebelas malam, ketika kuparkir sepeda motor, seseorang memanggil-manggil dengan sebutan "Bang" dan aku tidak peduli. Setelah kutemukan kunci pintu dan bersiap membukanya, seseorang menepuk bahuku.

"Abang dipanggil kok diem aja, sih?" kata perempuan yang berjiran denganku. Dingin malam tidak mengubah pilihan celana kolor pendek dan kaus putih kebesaran yang dipakainya. Belakangan kuketahui, jemari tangan kanannya mengapit lintingan yang menyala. Asapnya wangi.

"Jadi, tadi kaupanggil aku?" tanyaku. Kau, kan, tidak harus menoleh ketika mendengar sebutan yang biasa dipakai orang untuk memanggilmu, atau kau akan malu?

"Iya. Mainlah ke rumahku. Banyak minuman. Sebentar lagi kedaluwarsa," katanya merayu.

Hans, jiranku, tidak pulang malam itu. Aku tahu sebab ketika aku mendusin pukul lima pagi di ranjang kamar tidur rumahnya, Hana masih ada di sebelahku. Kami telanjang.

***
"PUKIMAK, kau! Masih sempat kauperlihatkan ketololan dengan melamun saat sebentar lagi matamu kucongkel!"

Gorel, perempuan yang kutemui enam tahun lalu di acara peluncuran buku di sebuah kafe. Perempuan yang telah lima tahun menghias hidupku, dua tahun membohongi orangtuanya untuk diam-diam tinggal bersamaku di sebuah kamar kontrakan di kompleks yang kalau kusebut sarang tikus mungkin lebih terlihat menjijikkan. Perempuan yang selalu menyebut kalau Star Wars adalah serial film yang biasa-biasa saja. Perempuan yang pernah membentakku di toko buku ketika kuambil buku karangan Tere Liye dan sebelumnya ia menyarankan agar kubeli buku karangan Pramoedya Ananta Toer atau Eka Kurniawan atau A.S. Laksana atau sekalian buku khotbah saja. Perempuan yang seringkali menulis puisi dan memaksaku mendengar bacaan puisinya yang, menurutku, lebih pantas disebut cara pembina upacara membual-bualkan amanat. Perempuan yang seringkali menjadi lawanku beradu siapa yang paling kuat minum tuak. Perempuan yang saat ini duduk di perutku, memegang gunting di tangan kanan sementara rokok menyala di sela-sela jemari tangan kiri yang aku tidak sadar kapan ia membakarnya, adalah istriku yang bagaimanapun, aku menyayanginya--kalau kubilang cinta terlalu muluk-muluk.

Aku tidak mungkin mengatakan barang itu, dua paket heroin masing-masing lima gram yang besok harus sampai ke tangan pemadat pengidap psikopat, tertinggal saat aku mabuk dan saling menelanjangi bersama Hana di kamar tidur rumahnya. Atau, stasiun-stasiun televisi akan ramai menyiarkan berita pagi tentang dua unit rumah di Perumahan Bekasi Timur Bercahaya yang sengaja dibakar salah satu penghuninya. Lagi pula, akan sangat tidak lucu kalau berita semacam itu betul-betul tersiar oleh sebab apa pun. Kendati sangat mungkin, para penghuni Perumahan Bekasi Timur Bercahaya adalah orang-orang yang gemar membakar sesuatu.

Perumahan ini dikenal dengan para penghuninya adalah gadun, perampok, pencuri, pemadat, dan segala yang mendekati profesi-profesi tersebut. Dan masing-masing sukses dalam bidang yang digeluti. Perumahan ini juga terkenal dengan kreativitas para penghuninya.
Bekasi Timur Bercahaya adalah satu-satunya kompleks perumahan di kecamatan yang kutinggali, yang menang lomba menghias kompleks untuk merayakan HUT Kemerdekaan, lima kali berturut-turut. Pertama, kami merakit dan meletakkan robot tentara yang akan hormat kepada siapa saja, di tengah gapura kompleks. Kedua, kami menerbangkan balon udara dengan pemutar musik yang mendendangkan instrumental lagu Indonesia Raya. Ketiga, kami membuat tepi jalan di kompleks Perumahan Bekasi Timur Bercahaya bersinar merah-putih di setiap malam di bulan Agustus. Keempat, kami menyerahkan satu unit mobil yang digunakan sebagai perpustakaan keliling lengkap dengan buku-buku di dalamnya. Kelima, bulan lalu, kami membuat acara layar tancap, memutar film dokumenter Jagal dan Senyap dan tidak ada satu pun aparat yang berkeberatan apalagi membubarkan. Yang pertama, benda itu sekarang teronggok menyedihkan di halaman KORAMIL.

"Baiklah, baiklah. Kukatakan yang sebenarnya dan kau bebas melakukan apa saja, dengan syarat: kau turun dari perutku dan ambillah dua botol bir lalu kita bicara baik-baik.”

Aku menyerah dan menyerah dan menyerahkan apa pun konsekuensi yang akan terjadi setelah kukatakan alasan di balik tidak adanya barang itu.

"Baik. Apa saja? Semau-mauku?" tanyanya.

"Ya! Apa saja."

Gorel turun dan berjalan pelan menuju dapur sambil terus merongseng. Pada saat bersamaan, terdengar pintu depan diketuk.

"Orang tolol macam apa yang bertamu selarut ini?! Kaulihat. Dan kalau kaukabur, kau tahu aku bisa menemukanmu," katanya, dengan bersungut-sungut.

Kubuka pintu depan dan terkejut di waktu bersamaan. Anjing! Di hadapanku, Hans dan Hana menyeringai seperti keledai yang mabuk setelah mengira kalau ganja yang barusan mereka telan adalah rumput yang biasa mereka santap.

"Selamat malam," kata kedua makhluk di hadapanku.

"Malam. Ada apa, ya?" tanyaku.

"Terima kasih, Bang. Barangnya sampai lebih cepat dari perjanjian. Ternyata Hana tahu lebih dulu kalau kurir itu adalah kau," katanya, lalu tertawa. "Ini uangnya." Hans menyodorkan amplop cokelat. Aku terkejut, sebentar kemudian, kembali tenang.

Tentu saja aku tidak tahu bagaimana cara Hana menjelaskan kenapa barang itu sudah ada di tangannya untuk ia berikan kepada Hans. Aku juga tidak tahu berapa jenis alasan yang Hana berikan kepada suaminya. Dan apakah Hans curiga kemudian dendam kepadaku dan Hana, sama sekali tidak kuketahui. Yang kutahu, kalau Hans, pemadat pengidap psikopat itu mengeluarkan kemampuannya sebagai psikopat--dengan atau tidak disengaja aku tidak peduli, adalah hal yang sama sekali tidak bisa dikatakan baik-baik saja.

"Hai. Ternyata kalian, tetangga baru. Masuklah, kita minum-minum sedikit," kata Gorel. Setelah meletakkan dua botol Prost Beer di atas meja kopi ruang tamu, ia melanjutkan, "Atau kalian mau menonton film? Aku punya banyak DVD film-film bermutu, karya sutradara Quentin Tarantino, Stanley Kubrick, Woody Allen, Asghar Farhadi, dan banyak lagi. Film-film Bollywood juga banyak. Tapi, kalau kalian kepingin menonton Star Wars, sebaiknya kalian pinjam saja DVD itu dan menontonlah di rumah." Anjing! Ia sama sekali tak melirik kepadaku.

"Ah, gampanglah itu, Cik. Kapan-kapan. Kami cuma mau ngasih uang ke Bang Moko. Barangnya sudah sampai," kata Hans ramah. Kau tahu, kan, seorang psikopat tak memiliki banyak perbedaan dengan pengidap agorafobia atau ketakutan terhadap keramaian ketika yang bersangkutan merasa tenang dan senang?

"Ya, sudah. Kami pamit dulu, ya, Bang Moko, Cik ... siapa?" tanya Hana.

"Gorel," ia tersenyum.

"Ooh, maaf. Belum kenalan. Ya, sudah, kapan-kapan saja kami mainnya, ya? Selamat malam," kata Hana sambil lalu bersama Hans.

Aku menutup pintu. Menguncinya. Ketika berbalik, aku tercekat, Gorel tak lagi di ruang tamu. Bir yang tadi ia bawa, ditinggal begitu saja. Mungkin ia tidak tahu, kalau makanan dan keluarganya, akan menangis jika dibiarkan.
05 Mar 2018 19:33
71
Kota Bekasi, Jawa Barat
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: