Dua badan jalangku
terbiar bertempiaran.
Dinyana sudra sedari mula,
pampangan koran mengundang lucah
lewat kamuflase petak-petak
—semua orang tahu itu payudara.
~
Kala mangata gagal luruhkan
repih purba dari pahatan Vulcan,
yang bisa kupungut tinggal pencilan:
mudita dan sangkuni jejal bergumulan,
sama-sama ingin jadi unggulan.
~
Kata-kataku, renjatmu, pintaku, tolakmu, pelukanku, tikamanmu, kecupanmu,
—tak satu pun datang
tepat waktu.
~
Roda brankar dan ubin tua
sibuk bertengkar.
Lubang kunci yang kauukir di lambungku
tak tahu mana aku, mana seprai:
kain putih, jadi merah
aku merah muda, jadi carik kertas.
Merah dan putih porakporandakan
dokter yang menekan luka,
Ayah-Ibu yang menggelar duka,
dan selimut yang dibungkuskan ke kepala:
jangan berdenyut,
inilah Hidup Barumu.
~
Sungkup peti ini tak usahlah kausingkap:
di dalamnya hanya dua onggok Diam
yang bisa busuk
bukan dua bongkah Emas
yang pangkal kaya.
~
Kala koyak-moyak kisahmu
masih likat di lipit-lipit kerai depan
tapi tak ada di halaman belakang,
kupikir jejak-jejakmu tak cukup jangkar
untuk buatku teliti runutkan,
hati-hati tuturkan,
mengapa leherku masih tertancap di antara bahu
yang ditunggangi Izrail di satu sisi,
dan putri kita di sisi satunya.
~
Dua badan jalangku
kaubiarkan bertempiaran.
Lalu kaupilih jalan ke kanan selasar
selagi aku menunggu
dikecup kawanan nasar.
~
~
[Jakarta, 19/03/2019]