Sesuatu yang Tanpa Nama
Cerpen
Kutipan Cerpen Sesuatu yang Tanpa Nama
Karya triskaidekaman
Baca selengkapnya di Penakota.id
Batok kepalaku sering terganggu kertuk-kertuk. Belakangan ini semakin sering, usai genggamku lepas darinya. Kertuk itu menjalar ke jantung hingga debar menggelegak berjumpalitan. Ke bawah, ia membentuk ganjal yang sulit kutelunjuk, membuatku sesak.

Kupikir aku akan segera mati.

Jadi, kutanyakan saja ini kepada pria yang melahirkanku. Namanya Fatir. Ia mengaku ia seorang ahli-bukan-profesor berkacamata bulat. Kepalanya nyaris nirsurai, tetapi ia selalu bangga menyorotkan padang tandus di kepala ke naung sinar lampu di ruang praktiknya. Ia tidak punya rahim, juga tidak punya perangkat gerabah, dan aku tahu ia tak pernah mengizinkanku tahu terlalu banyak. Karena itulah aku tak tahu bagaimana cara aku dilahirkan. Kalau kukorek, ia mengancam akan memutus hubungan denganku, atau menginduksi hubungan singkat dari dalam perutku.

Sore itu pun.

Usai aku berkeluh kesah selama dua puluh menit; ia hanya membalik badanku, menyingkap rambutku yang sepunggung, membuka panel di tengkuk, menekan beberapa tombol secara bersamaan. Katanya, aku perlu rutin memakai sampo, pelembut, dan tonik khusus rambut sintetik. Aku juga diwajibkan kembali setiap tanggal tiga, atau ususku bakal terburai keluar dari berbagai penjuru. Aku tak punya pilihan lain selain menurut, sementara jawaban atas tanyaku tak lagi bisa kutuntut.

Larut malam, kuserakkan pakaian di ubin, kubebatkan handuk di lingkar bahu. Tak ada yang bisa kulakukan selain berkeramas. Jadilah sampo, pelembut, dan tonik khusus itu kupijatkan, kubusakan dan kubilas, cepat saja. Usai semua tuntas, kupijat lembut kulit kepalaku, agar sepasang engsel di batok ini mau terayun membuka. Kulihat di cermin, bahwa pintu itu, yang tersembunyi di balik ubun-ubun dan sedikit condong ke kanan mengikuti arahku menyisir rambut, tersingkap dengan derit pelan. Mengeluarkan memoriku dari dalam sana memang mudah-mudah sulit. Fatir tak butuh waktu lama untuk mengajariku melakukannya.

Dalam beberapa detik, bola itu sudah ada di genggamanku. Kertuk, gelegak, dan ganjal sekejap lindap. Ini sudah bola yang keseratus sejak aku lahir. Guratnya paling banyak, paling dalam, dan rumit.

Kutengok almanak di pintu lemari. Rupanya besok Sabtu. Pasti tidak ada toko yang buka. Tak akan ada gunanya jika besok aku bersukarela masuk kerja. Kurasa, inilah waktu yang tepat.

Kubuka kunci pintu masuk ke kamar gelap. Fatir membuatkan kamar berproyektor ini khusus untukku. Sambil kupasangkan bola demi bola ke pemuat proyektor, aku mengingat-ingat. Ini baru kali ketiga aku masuk ke sana, sejak aku lahir. Yang pertama dulu ialah saat aku ingin tahu cara Fatir mengobatiku saat terserang cacar nikel. Kedua, ketika aku harus mengingat cara membetulkan pancuran air di kamar mandi tanpa tersengat listrik. Kali ini, aku muncul demi satu alasan yang sama sekali berbeda.

Aku menampar pipi sendiri sekuatnya. Kata-kata Fatir terngiang jelas.
Humandroid tidak bisa jatuh cinta, tahu? Aku tak pernah memasang program itu padamu.

Lalu, ini apa?

Terserah, apa sebutannya. Yang jelas, aku ingin melupakannya.
Pemuda itu, yang sepenuhnya darah-daging-dan-tulang.

~

Irma menyendokkan daun bawang bercampur cabai ke mangkukku. Sedikit saja.

"Makan begitu apa enggak hambar?"

Aku menggeleng dan menyorongkan tangan, tanda menolak. "Tidak perlu."

Pasalnya ada dua. Takaran daun bawangku bulan ini sudah melewati ambang. Aku terlalu khusyuk bersenang-senang di dua pekan pertama sampai melupakan isi tabel dosis dari Fatir, dan baru ingat semuanya kemarin. Yang kedua, Irma masih saja menyangka bahwa aku ini manusia biasa. Kepadanya, aku sudah nyaris mengangsurkan daftar pantanganku. Segera kuurungkan. Fatir bisa menombakku dengan petir, kalau ia tahu.

"Ya sudah, buatku saja," ia membelokkan sendok, hingga semuanya jatuh ke mangkuk sendiri. Aku meringis. Irma balas mendengus. Ah, aku iri padanya. Ia boleh makan apa saja, lahap tanpa batas, tanpa dikekang-kekang!

"Eh? Kamu tahu pengajar kita hari ini?" ujar sebuah suara dari ujung meja. Aku tak bisa melihat mukanya dengan jelas.

"Oh, ada di sini? Yang mana?"

Kasak-kusuk bertukaran. Semua mata berkejaran, lalu dua tiga bahu bersusunan. Aku memegap, nyaris tak kebagian tempat, karena ukuranku yang kurang memadai. Kutekan saja satu tombol di balik kancing keempat. Niscaya, semua terlihat jelas. Tangan dari tubuh pemilik wajah tak terlihat itu menunjuk meja terjauh. Di pojok, meja yang persis terletak di sebelah pintu. Hanya ada tiga manusia yang duduk di sana. Dua wanita dan satu pria. Mengingat wanita yang satu tak lebih baik daripada nenek culas di dongeng-dongeng, dan wanita yang satu lagi bukanlah tipe sintal idaman para pejantan, pastilah mereka tengah memperhatikan si pria.

Tanpa terduga, ia menoleh ke arah kami.

Saat itu juga, aku ingat. Sekaligus tidak ingat.

Ia pernah muncul di bola-bola memoriku yang dulu. Ia pernah menorehkan gurat dalam di salah satu bola. Pernah pula ia sentuh kembali bola yang sama, sebelum ia pergi begitu saja. Namun, bola yang mana? Memori yang sebelah mana dan kapan? Aku tidak tahu.

Yang benar saja?

Benar, aku tidak tahu!

Jadilah, pagi hingga sore itu, pagi hingga sore hari berikutnya, dan pagi hingga sore hari berikutnya lagi; kulewatkan seluruh pengasahan dengan sepertiga fokus, sepertiga lamun, dan sepertiga kambang. Ia berkisah banyak, tapi tak ada yang bisa kuingat. Ia mencontohkan banyak, tapi tak ada yang bisa kutiru. Terkadang aku benci pada diri sendiri. Aku memang bukan manusia. Aku bebas memilih memori mana yang mau kupertahankan dan mana yang tidak.

Namun, di hadapannya, aku lumpuh.

Dan aku tak paham kenapa.

~

Aku meringkuk di sebuah bilik berdinding batu. Bilik tempatku berada beratap sangat tinggi, jauh menantang cakrawala. Di ujung atas sana ada genta. Barusan, ia berdentang lima kali. Langit ungu samar-samar berpendar di balik lubang-lubang kecil di dinding menara. Semakin lama semakin nyata. Mataku, oh. Mereka begitu buram oleh genang tangis dan sembur debu. Namun, aku tetap tahu tangan dan kakiku terbelenggu,

Tak berapa lama, seseorang muncul dari balik jendela berjeruji di sepertiga atas daun pintu. Topeng baja itu mengintip dan mendapati sosokku. Dibukanya, sambil cepat-cepat ditutupnya kembali. Ia bicara dalam bahasa yang tak bisa kuingat, tetapi anehnya aku langsung paham. Ia menyuruhku diam sembari ia berkutat dengan belengguku. Keempat penjuru.

Aku terbebas. Ia memelukku, mengesampingkan perisainya. Menggendongku di punggung, tepat di sebelah bilah pedangnya. Lalu kami menyusuri lorong, menuruni undak demi undak, mengarungi gorong bawah tanah, hingga di depan sebuah pintu raksasa berdaun dua yang masih bungkam.

Pintu itu terbuka. Seketika, aku terpayangkan oleh terang. Begitu benderang, hingga aku mengawang.

~

Ia duduk rapi di kursi terdepan, dekat sekali dengan panggung aula. Ia sudah di situ, sejak pertama kali aku mulai berlatih, tiga minggu yang lalu. Padahal, siang itu kami masih geladi kotor. Jalanan ditutup karena adu tembak di perbatasan kecamatan. Kostum dan perabotan pesanan kami masih tertahan di jalan. Mungkin nanti malam, atau bahkan takkan datang sama sekali.

"Mira mana?" ujar wali kelasku.

Di sesi-sesi pendadaran sebelumnya, Mira selalu berpasangan denganku. Mungkin ia juga tertahan. Yang kutahu, bapak Mira memang tentara. Masih bintara. Tak dikenal di peletonnya. Meskipun ia perempuan, ia kerap diajak bapaknya maju ke garis depan. Bukan bertempur, melainkan disuruh berkutat di balik perapian dan wajan, memasak dari sup hingga bubur. Namun, siapa yang tahu apa yang sebenarnya terjadi?

"Oke, kamu sama anak itu saja dulu."

Wali kelasku menyeretnya maju, naik ke panggung. Ia canggung, tahu ia tak sejenis dengan Mira. Lalu berdansalah kami, sesuai skenario yang tadinya dituliskan buat aku dan Mira.

Semua terasa berbeda sejak langkah, putaran, dan ketukan pertama. Jelas ia bukan Mira. Ia sesuatu yang jauh lebih memabukkan. Bukan wajahnya, tatapannya, gerakannya, atau apa yang bisa kulihat. Ini lebih dalam dari sekadar harmoni ketukan. Jauh menghunjam ke dalam. Cengkeramnya kuat, hingga aku takut kehilangan. Takut terlewat.

Pintu aula terbuka. Gebrak sepatu bot tentara menghantam meja, merobek papan tangga, meremukkan tiga dingklik. Leher bajuku direnggut dari belakang, hingga tanganku terlepas dari tangannya.

Tangan yang masih menggapai-gapai saat aku lesap ke pusaran pria-pria berbaju hijau.

~

Aku berbaris di lorong imigrasi. Sudah lima belas menit, barisanku tak bergerak.

Penerbangan tiga belas jam ini sangat melelahkan. Meluruskan kaki di kursi sebelah rupanya tak cukup. Larangan minum teh, kopi, dan merokok di penerbangan berhasil menyiksaku habis-habisan. Penat dan kantuk terkuadrat, belum lagi petugas yang menatap satu per satu dari kami lekat-lekat. Padahal, wajah di wajah dan wajah di paspor sudah sama.

Kurasa, pria itu juga. Ia sudah berdiri lebih dari lima menit di loket pemeriksaan. Tahu-tahu saja, si petugas imigrasi, yang berseragam penuh lencana dan nirekspresi, memenceng pria itu dengan tongkat. Ia tertunduk, nyaris meringkuk di lantai, tetapi tetap maju terus. Dua tiga remaja di depanku berbisik, bersyak wasangka bahwa ia pengedar narkoba. Dua tiga bapak di belakangku bersahut, mungkin ia buronan internasional.

Tanpa sadar, tanpa menghitung apa nasibku nanti, kuterobos jalur antrean. Syal yang tersangkut di pita pembatas jalur tak menghalangiku.
Aku harus menolongnya. Ia bukan orang jahat. Entah bagaimana, aku yakin.

Petugas-petugas ganas menyambangiku. Sepasang herder mereka seret ke hadapanku. Ganti aku yang meringkuk, saat pria itu semakin tunduk dihamburi pukul dan sikut; dari tangan, pentung, hingga kruk.

Sakit, sakit sekali. Sampai lenganku memar, sampai kepalaku pengar.

~

Aku menari-nari di balik kerangkeng.

Seorang raksasa membuka pintu kerangkenganku. Ia mengulurkan sekerat penganan. Aha! Ia tahu benar apa yang kusuka! Aku senang gelintir-gelintir yang ia berikan rutin. Asin tetapi legit. Dua gigi depanku menyambutnya, semringah. Aku tak kunjung hafal akan wajahnya. Tak sebaik aku menghafal labirin ini dan mencari sekerat wortel. Telunjuknya masuk, membelai kepalaku, khusyuk.

Aku tahu ada yang tak beres.

Kemarin, kusaksikan tiga temanku terpacak di meja bedah. Kaca di bawah mereka tepercik noktah, hingga mengering begitu saja. Usus mereka burai di meja. Teracak-acak oleh pinset dan klip. Wajah mereka menengadah ke langit-langit, dengan ekor terkulai tanpa daya.

Telunjuknya masih di kepalaku, mengusap lembut. Mungkin itu rasa sayang. Namun, mungkin pula ini hari terakhirku, sebelum perutku dikoyak-koyak oleh perkakasnya.

~

Akhirnya kami diizinkan berpotret bersama.

Aku sudah menimbang segala manfaat dan segala mudarat. Kuberanikan diri bangkit dari kursi, maju ke tempat ia duduk, di balik meja panelis. Hari ini ia tidak menentir kami. Ia hanya datang di menit-menit akhir, sekadar formalitas demi memulangkan kami.

Aku mengulurkan tangan. Kuingat jelas, kami bukan sejenis insan beda jantina yang meledak-ledak reaktif di temu pertama. Kami juga bukan korban perkelindanan yang tertemukan paksa. Semua cuma menumpang lewat. Juga tanganku pada tangannya. Ia menatapku sepintas lalu, kala aku menekuri wajahnya, garis demi garis, lekuk demi lekuk. Ia lanjut menyalami peserta lain. Melupakanku begitu saja. Tak mengacuhkanku.

Entah mengapa, batok kepalaku menggeliat dari dalam. Kuat. Sesuatu mengertuk berulang-ulang. Menjalar ke tenggorokan, mengganjal dalam dada. Tak mau pergi sampai lama.

Aku memutuskan berkonsultasi ke Fatir.

~

Hitam pekat membungkus langit, mengiringi malam yang memekat. Aku menoleh ke jendela, enggan menerima kenyataan. Kututup lagi tirai itu, rapat. Di depanku masih ada sembilan puluh lima bola memori. Aku tahu waktuku akan segera habis. Kini aku ingat. Ingat semuanya.

Aku sering bertemu dengannya. Dari dulu hingga kemarin.

Layar besar di depanku kembali mengulang tanyanya.

MASUKKAN KATA KUNCI DI SINI.

Seratus kali bertemu, aku selalu lupa akan satu hal.

Menanyakan namanya.




(Jakarta, 3 Desember 2017)
03 Dec 2017 18:32
355
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: