Lika Liku Luki
Cerpen
Kutipan Cerpen Lika Liku Luki
Karya wisnuism
Baca selengkapnya di Penakota.id

Segala sesuatunya sudah ditakdirkan untuk diciptakan berpasang-pasangan. Begitu Tuhan berfirman. Suporter tim sepak bola yang menyayangi flare di tribunnya, calon sarjana semester akhir yang menikahi revisi skripsi dosen pembimbingnya, laki-laki klimis yang tidak akan mendua dari pomade¬-nya dan sebetulnya masih banyak remah lainnya. Hidung Luki pun juga sudah dikaruniai oleh Tuhan untuk mencintai wangi yang keluar bersamaan dengan hasil ekresi kaleng cat semprot.


“Psst... psst... psssttttt.........,” suara tercium dan wangi terdengar harum khas sesaat setelah topi kaleng Luki ditekan dan isinya keluar.


“Psst... pssst..... sett,” sambungnya sambil terus menekan sekalian merangkai garis-garis sketsanya. Walaupun mendapat tekanan, kaleng semprot lokal tersebut seakan-akan nyaman dibuat Luki. Tangannya tangan magneto, kaleng terus menempel tidak ingin lepas. Tiap garis yang ditariknya tidak ada satupun yang berakhir drips. Fill-nya yang solid, bentuk yang proporsional, perpaduan warna yang ciamik, serta ciri khas font yang dimilikinya pasti ada di setiap hasil yang dibuatnya. Entah bakat apa yang Luki miliki hingga can control nya terlihat begitu sempurna di mata para pecinta street art di negeri ini. Bahkan, writers di belahan galaksi Andromeda sekalipun juga sudah mengakui kebolehannya.


Wajar saja apabila can control Luki sesempurna itu, pasalnya ia sudah hampir membunuh lebih dari 300 tembok ukuran 4 sampai 3x2 meter selama karirnya. Ia biasanya menikam dan menggorok leher tembok-tembok jalanan yang ilegal dan yang dijaga oleh pasukan oranye ibukota. Menurutnya, selain sebagai suatu olahraga belaka, melakukan kegiatan itu merupakan sebuah protes dan sindiran yang ia buat teruntuk rezim yang berkuasa, aparatur, dan wabil khusus untuk negara ini. Sudah hampir 10 tahun Luki tidur dengan tangan yang penuh bercak cat sisa pemerkosaan paksa dengan korbannya dan ditemani dengan seranjang kardus berisikan ratusan kaleng cat semprot yang masih segar.


Ya, profesi utamanya ialah pembunuh tembok jalanan atau biasa yang disebut graffiti writer . Walaupun pekerjaan tersebut belum bisa dikatakan sebagai profesi karena tidak ada kode etik yang membatasi dan bahkan belum ada satupun organisasi yang menaungi kegiatannya itu, tetapi ia tetap menganggap kegiatan tersebut sebagai sebuah profesi. Entah mengapa ia begitu cinta akan kegiatan ini melebihi cintanya terhadap negaranya sendiri. Ia tidak pernah menggambar dengan tema Indonesia sekalipun, idealisnya sangatlah kuat. Sisanya di akhir pekan, ia hanya hobi mengajarkan murid sekolah dasar untuk menggambar dan melukis di waktu ekstrakurikuler sekolah tersebut.

~


“Hei tunggu, sedang apa kau di situ! Woi!” Teriak seorang laki-laki paruh baya yang membawa plastik belanjaan putih khas swalayan pinggir jalan, ia berteriak sambil menunjuk ke arah Luki.


Dengan masih mengenakan headset di telinganya, Luki menoleh sedikit ke belakang, namun ia tetap melanjutkan prosesi pembunuhannya sambil tak menghiraukan teriakan itu. Ia paham betul bahwa ia bukanlah seekor kucing kampung muda yang mudah digertak begitu saja. Dengan tenangnya ia tetap melanjutkan ritualnya itu. Terik tengah hari yang menyengat, dan Luki dengan ketenangannya tiba-tiba ditepuklah dengan keras pundaknya dari belakang. Sontak Luki terkejut dan reflek ia menepis tepukannya itu, ia pun melepaskan headset-nya dan ia sekarang dihadapkan dengan laki-laki yang berteriak tadi.


“Jika dipanggil ya menyahut dek! Punya telinga atau tidak sih?!” Kesal laki-laki itu.


“Oh bapak bicara dengan saya?” Sahut Luki dengan datar.


“Ndak, saya bicara dengan kaleng itu! Sebab kau tak punya kuping!” Jawab laki-laki itu.


“Oh baiklah, ini pak silakan. Saya berikan waktu 20 detik untuk mengobrol dengannya. Karena prosesi pembunuhannya belumlah selesai,” Luki menyodorkan kaleng cat semprotnya. Laki-laki itu langsung menyabet kaleng yang disodorkan Luki dan lantas ia menghampiri tembok yang sudah sakaratul maut itu.


“Pssst..... psst... pssssssssstttttt..” coret laki-laki itu dari ujung kiri barat daya hingga ujung kanan timur laut gambarnya. Walaupun wangi dirasakan oleh Luki, tetapi itu membuat gambarnya menjadi semrawut dan tidak sesuai dengan sketsa pembunuhan yang telah ia buat. “Ini hukuman karena kau ndak izin dahulu sebelum engkau menggambar di tembok ini.” Ganjar laki-laki itu sambil mengembalikan kaleng kesayangan Luki itu.


Jalanan tetiba bergetar, datanglah pak Polisi. Beliau berpakaian rapi, lengkap dengan serbuk puan tebal di antara hidung dan mulutnya, perut pakaian dinas yang dimasukkan ke celana, lencana berkilauan dan sepatu boots khas opsir lalu lintas disertai rompi hijau stabilo juga helm putih suci bersih dosa berjalan menghampiri mereka.


“Selamat siang, mohon maaf ada apa ini ribut-ribut?” Tanya pak Polisi pada mereka.


“Coba tanyakan saja pada bapak ini, pak.” Jawab Luki sambil menunjuk ke arah Laki-laki itu.


“Lho urusannya apa dengan saya? Tangkap saja pembunuh ini pak, ia tidak pantas untuk tetap hidup. Ia hanyalah perusak negara kita. Bayangkan pak, telah berapa ratus korban ia bunuh dengan kalengnya yang tajam itu. Hasilnya itu ya pasti kontra dengan pemerintahan, ia hanya bisa memprotes. Pembunuhan ini telah melecehkan negara pak. Papan pamflet, rolling door warga, poster calon kepala daerah hingga bendera negara ia berani coret. Warna serta keharumannya hanya antek-antek belaka! Sebetulnya ini yang lebih bahaya di Indonesia ketimbang tikus yang lebih harum, yang hobinya membeli big sedan dan wewangian Paris. Demi Tuhan, jangan biarkan kali ini ia lolos pak.” Elak laki-laki itu.


“Memangsih, yang ia lakukan itu ilegal. Apalagi dilakukan pada korban yang berdomisili di ibu kota.” Sahut pak Polisi


“Nah, hei kau dengar sendiri kan?” agak nyolot laki-laki itu kepada Luki.


“Sudah-sudah, kok ayah dengan anak malah tidak harmonis. Saya saja dengan istri dan anak saya baik-baik saja hubungannya. Sudahlah lebih baik saling memaafkan. Saksi mata pembunuhan dan pembunuh tidak selamanya harus bermusuhan kok.” relai pak Polisi.


Walaupun korbannya sudah dicampuri oleh sidik jari saksi mata, Luki tetap melanjutkan prosesi pembunuhannya. Ia pun tak bergetar sedikitpun dengan nasehat dari perut buncit opsir itu. Meski dianggap ilegal, ia terus menggunakan teknik serta kemampuannya sebagai pembunuh tembok profesional tingkat internasional untuk meneruskan ritualnya itu.


“Tututunggu sebentar pak...” pak Polisi agak tercengang, melirik dan menunjuk ke arah tembok si korban pembunuhan Luki.


“Kenapa?” Sambil tidak peduli dengan lirikan pak Polisi.


“Itu lihat.....” meyakinkan laki-laki itu.


Luki pun membuang kaleng kesayangannya yang sudah kosong itu ke tempat sampah. Menandakan Luki telah menyelesaikan ritualnya. Ia juga lantas merapikan barang bawaannya kembali ke dalam tas. Tanpa berkata ia bergegas untuk meninggalkan Laki-laki itu juga pak Polisi.

~


Latar keindahannya yang menggambarkan estetika bumi nusantara. Perpaduan warna yang tepat dan beragam memanifestasikan keberagaman suku serta agama di negara ini. Tak disangka-sangka tembok ilegal dengan coretan oleh saksi mata itu sekarang bertuliskan “INDONESIAKU”.


Sore itu seolah menjawab keraguan kedua orang tadi. Setiap orang seperti Luki yang pada umumnya tidak peduli akan negaranya sendiri pastinya tetaplah memiliki kecintaan yang terpendam walaupun sedikit.


“Memangnya kau membunuh untuk apa?” tanya Laki-laki itu.


“Jika saya perhatikan, negara saya ini sedang morat-marit. Saya ingin penguasa melihat rupa serta bentuk sebuah cinta melalui media ini, melalui ritual dan pemenggalan korban ini. Itulah alasan mengapa saya membunuh. Selain itu saya pun ingin membagikan sedikit keharuman hasil proses ekresi kaleng saya ini yang jauh dari harumnya nama negara ini.” Jawab Luki.

~


Graffiti di Indonesia memang dipandang negatif. Graffiti dianggap sebagai sesuatu yang merusak, tidak etis, kotor, berantakan dan mencirikan sebuah kekumuhan. Sebetulnya tidak seperti itu, begitu menurut pendek pengetahuan dan pengalaman Luki. Orang awam biasanya menyamaklan graffiti dengan vandalisme . Nyatanya, makna dan batasan mengenai graffiti dengan vandalisme ini betul-betul bertolak belakang. Graffiti itu merusak dan vandalisme itu memperindah. Apa ada yang salah? Silakan koreksi sendiri.


Ceger, 22 Mei 2017.

24 Apr 2018 22:02
329
Ceger, Kota Jakarta Timur, Daerah Khusus Ibukota Jakarta
0 menyukai karya ini
Penulis Menyukai karya ini
Unduh teks untuk IG story
Cara unduh teks karya
Pilih sebagian teks yang ada di dalam karya, lalu klik tombol Unduh teks untuk IG story
Contoh: