GAYAHIDUP
19 Feb 2019 09:50
739
Menyerang Amigdala, Langkah Tepat Melawan Hoaks

Penakota.id – Masifnya perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi (TIK) di era ini sudah tidak dapat dielakkan. Mengguritanya media termasuk media siber menjadi bukti akan adanya kemajuan tersebut.

Di era ini, bahkan media siber tengah menjadi wadah penyebaran informasi yang sangat berpengaruh bagi hampir seluruh masyarakat dunia, tak terkecuali di Indonesia. Penggunaannya yang mudah dan cenderung efisien membuat jenis media ini seolah menjadi primadona bagi semua kalangan.

Keberadaan hegemoninya yang kuat tidak hanya mengubah cara penyampaian informasi tetapi juga mengubah cara masyarakat mengkonsumsi informasi tersebut. Apalagi saat ini penyebaran informasi atau berita melalui media siber bukan hanya dapat dilakukan oleh situs berita yang sudah dikenal oleh masyarakat, namun oleh masyarakat itu sendiri.

Sayangnya kemajuan tesebut dinodai oleh keberadaan  informasi atau berita yang disebarkan secara individu atau berkelompok yang lebih banyak tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya atau hoaks. Bahkan, penyebaran informasi hoaks kini tengah menjadi persoalan yang cukup serius. Ia seperti “hantu” yang terus bergentayangan di linimasa setiap masyarakat yang dekat dengan TIK.

Kendati pemerintah lewat Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) telah menggalakkan program literasi siber guna meminimalisir sebaran “hantu” tersebut, nyatanya hal itu masih dianggap kurang efektif oleh beberapa pihak.

Pakar Neuroscience  dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Berry Juliandi menyampaikan, bahwa literasi informasi/siber masih dirasa kurang efektif untuk menangkal persebaran hoaks. Dalam diskusi bertajuk “The Science Behind Hoaks" di Jakarta, Senin (18/2), Berry mengatakan, semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin rentan terpapar hoaks.

“Salah satu penelitian yang dikeluarkan Yale University menyebutkan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin rentan terpapar kabar bohong,” terang Berry.

Berangkat pada hasil penelitian tersebut, Berry menyimpulkan bahwa upaya literasi bukan langkah tepat untuk memotong rantai persebaran hoaks. Diuraikannya, metode menurunkan kecemasan dan keraguan seseorang melalui permainan otaklah yang cocok untuk menjadi salah satu alternatif digunakan untuk menghalau penyebaran informasi tersebut.

Menurut Berry, seseorang dapat menerima berita bohong atau hoaks sebagai sebuah keyakinan karena ada bagian otak yang mengelola perasaan cemas dan takut bernama amigdala (bagian otak yang bertanggung jawab untuk mendeteksi rasa takut .red). Seperti halnya obat, kekhawatiran, kecemasan, dan ketakutan diberikan dalam dosis yang besar dan berulang-ulang sehingga menyebabkan peningkatan aktivasi pada amigdala seseorang.

Ia memberikan contoh pada kasus persebaran haoaks vaksin yang membuat orang menolak menggunakannya.

"Kita tanyakan keraguannya di mana? Setelah tahu alasan seseorang menolak menggunakan vaksin, maka kemudian kita 'sentuh' keraguannya dan kecemasannya dengan menyerang amigdala,” jelas Berry.

Bagi Berry, hal yang paling penting ialah ketika kita berhasil meredam ketakutan dan mengatasi keraguan atas suatu informasi sehingga seseorang kemudian dapat berpikir lebih rasional.

"Caranya dengan kita jelaskan manfaat penggunaan vaksin, kita redam ketakutannya dengan memberi informasi soal anjuran agama terkait vaksin. Jadi informasi ini menyerang amigdala, yang menurunkan ketakutan dan menjadikannya lebih rasional, sehingga yang sulit diterima lebih mudah masuk," sambungnya.

Cara seperti itu diyakini Berry akan berhasil. Apapun yang masuk ke dalam otak seseorang, hendaknya jangan mentah-mentah diterima, namun lebih baik ia disuguhi dengan sebuah keraguan. Ketakutan adalah kondisi mental yang muncul akibat ancaman serta kecemasan yang berimbas pada kekhawatiran.

Peran amigdala, lanjutnya, sebenarnya membuat manusia untuk selalu waspada dalam bertindak. Misalnya, hidup di alam liar atau menghindari buruan dari hewan predator.

Sementara itu, di kesempatan yang sama, Pakar Hubungan Sosial dari Universitas Indonesia (UI) Roby Muhamad mengutarakan, salah satu alasan seseorang mudah menerima informasi karena berita yang didapatkan berkaitan dengan harapan maupun ketakutan mereka.

"Dengan demikian, nilai-nilai yang dibawa dalam sebuah informasi, terkadang membuat penerimanya menjadi tidak rasional," katanya.

Oleh karena itu, menurut dia, metode "menyerang" amigdala menjadi langkah yang patut dicoba untuk memerangi kabar bohong yang kian marak.

"Dengan catatan, kita tidak menyalahkan apa yang diyakini sebelumnya. Karena kalau sudah menghakimi nilai-nilai yang dianut, orang yang terpapar hoaks malah akan defensif. Jadi dia tidak mau menerima informasi baru, tidak rasional, dan lebih ke emosional," ujar Robby.

Untuk diketahui, berdasarkan hasil riset Kemenkominfo pada 2018, dari sekitar 132 juta masyarakat pengguna internet di Indonesia, sebanayak 65% masih mudah terhasut berita bohong. Data tersebut merujuk pada data dari Centre for International Governance Innovation (CIGI) IPSOS 2017.

Sedangkan merujuk riset distribusi hoaks di media sosial 2018 yang diterbitkan oleh DailySocial.id, saluran terbanyak penyebar berita bohong dijumpai di media sosial (medsos) yaitu di laman Facebook sebanyak 82%, disusul Whatsapp 57% dan sebanyak 29% dari Instagram. Riset dilakukan terhadap 2.032 responden yang menggunakan gawai di penjuru Indonesia.

(Penakota – fdm/glp)

Metode menurunkan kecemasan dan keraguan seseorang melalui permainan otaklah yang cocok untuk menjadi salah satu alternatif digunakan untuk menghalau penyebaran informasi hoaks.