NASIONAL
22 Feb 2019 21:40
1509
Praktik Kekerasan Masih Coreng Marwah dan Tujuan Pondok Pesantren

Penakota.idPondok pesantren (ponpes) yang merupakan salah satu lembaga pendidikan islam tertua di Indonesia, sejatinya masih menjadi pilihan yang menarik bagi para orang tua muslim sebagai tempat pendidikan belajar anak-anaknya. Banyak orang tua berharap, dengan memasukkan anak-anak mereka ke dalam ponpes, kebaikan akan tumbuh dalam diri sang buah hati. Tak jarang juga, secercah harapan tumbuh agar sang buah hati dapat menjadi ulama pasca menyelesaikan pendidikannya di sana.

Harapan kebanyakan para orang tua muslim itu memang bukan tanpa sebab. Merujuk buku Manajemen & Kepemimpinan Pondok Pesantren (2018) yang ditulis oleh Kompri, beberapa tujuan diciptakan ponpes memang demikian adanya. Ponpes dibentuk untuk menciptakan anak-anak didiknya menjadi manusia yang memiliki pribadi islam (salimul aqidah, shahihul ibadah, matinul khuluq, qowiyyul jismi, mutsaqqoful fikri, dan sebagainya) dan atau sanggup menjadi ulama/mubalig dalam masyarakat sekitar melalui ilmu serta agamanya.

Kompri beranggapan tujuan pendidikan ponpes harus sejalan dengan tujuan hidup manusia menurut pandangan Islam. Sebab pendidikan hanyalah cara yang ditempuh agar tujuan hidup dapat dicapai. “Jika tujuan hidup manusia yaitu mengembangkan manusia dan mengatur tingkah laku serta perasaannya berdasarkan Islam, dengan demikian tujuan pendidikan Islam (ponpes.red) adalah merealisasikan ubudiyah kepada Allah di dalam kehidupan manusia, baik individu maupun masyarakat,” tulis Kompri.

Dalam konteks ilmu tasawuf, lema ubudiyah sendiri memiliki makna bagaimana manusia dapat menunaikan perintah Tuhan dalam kehidupan sehari-hari dengan melaksanakan tanggung jawab sebagai hamba. Fathullah Gulen, dalam Kunci Rahasia Sufi (2001) mengatakan, bahwa makna ubudiyah bukan hanya sekadar ibadah biasa, melainkan ibadah yang memerlukan rasa penghambaan yang diinterpetasikan sebagai hidup dalam kesadaran sebagai hamba Tuhan. Jiwa yang memiliki muatan sifat ubudiyah merupakan jiwa yang di dalamnya mempunyai rasa takut, tawadhu, rendah hati, sabar dan sebagainya.

Bisa dibilang, tujuan ponpes sendiri sangat luhur demi menciptakan pribadi diri seorang untuk menjadi baik, dalam konteks ketuhanan maupun kemanusiaan. Marwah ponpes sendiri sangatlah suci dan sangat adiluhung.

Kendati demikian, nampaknya tujuan tersebut tidak sejalan dengan praktik yang ada di lapangan. Nyatanya, ketika ponpes sejatinya memiliki tujuan yang sangat mulia, masih ada tindak praktik yang jauh daripada tujuan dibentuknya ponpes tersebut. Salah satunya fenomena kekerasan yang kerap terjadi di ruang lingkup ponpes itu sendiri.

Bentuk-bentuk kekerasan masih sering terpotret di dalam ponpes, baik itu datang dari rekan santri, senior, maupun guru/ustadz. Kekerasan-kekerasan yang terjadi misalnya seperti kekerasan fisik, psikis, maupun seksual. Hal-hal inilah yang sesungguhnya telah mencoreng marwah ponpes hingga sekarang.

Chairul Lutfi, dalam penelitiannya yang bertajuk “Perlindungan Anak di Pondok Pesantren” mengutarakan, pola pengasuhan di ponpes tidak selalu memberi kenyamanan bagi anak-anak yang dititipkan oleh para orang tua karena rentan terjadi kekerasan. Berdasarkan hasil penelitian yang dituliskan pada tahun 2015 ini, Chairul menjelaskan, mayoritas ponpes belum atau bahkan tidak memberikan “pengasuhan” sama sekali, melainkan hanya menyediakan akses pendidikan.

“Secara eksplisit, hal ini tertera dalam pendekatan pengasuhan, pelayanan yang diberikan, dan sumber daya yang diberikan oleh panti asuhan dan ponpes. Hal ini mengindikasikan rendahnya standar minimum pengasuhan sehingga sulit untuk menghasilkan pengasuhan yang profesional dan berkualitas,” tulisnya.

Menurut Chairul, sejatinya peran ponpes dalam mendidik anak (santri.red) harus kafah. Hal itu berkaitan erat dengan aspek pendidikan dan pengajaran materi keagamaan maupun dalam bimbingan spiritual. Namun, nyatanya hal ini masih terkendala dalam jiwa anak/santri.

Dalam perkembangannya, ponpes perlu mendapatkan perhatian oleh pemerintah. Misal dalam konteks penggunaan kurikulum yang diakui oleh pemerintah, model pengembangan keilmuan serta penataan manajemen kepesantrenan yang baik. Dituliskan Chairul, perlu adanya standarisasi, di mana penggunaan SDM yang handal dan profesional dibutuhkan untuk memelihara dan mengembangkan pendidikan ponpes ke depannya.

Marwah-Pesantren-Penakota

Turunkan Inspektorat

Berangkat dari penelitian yang dilakukan oleh Chairul pada tahun 2015 ini, nampaknya penataan manajemen ponpes yang baik belum dilakukan, baik dari pemerintah maupun beberapa organ ponpes itu sendiri. Sejak tahun 2015, berdasarkan media monitoring yang dilakukan oleh Sir Pentoel, fakta membuktikan masih ada praktik kekerasan yang ada di lingkungan ponpes.

Sebagai contoh, pada tahun 2015, terbongkarnya kasus pencabulan beberapa santriwati di salah satu ponpes  di wilayah Jember, Jawa Timur. Pada tahun 2016, heboh pemberitaan kasus tewasnya AM (15), yakni santri Ponpes Darul Ulum (PPDU), Kabupaten Jombang, Jawa Timur akibat dianiaya 13 sesama santri. Pada tahun 2017, kasus santri Ponpes Dayah Modern Arun, Lhoksumawe berinisial DR yang disetrika tangannya oleh seniornya sendiri.

Lebih lanjut, pada tahun 2018, kasus meninggalnya santri Ponpes Raudhatul Ulum Sakatia, Kabupaten Ogan Ilir, Sumsel berinisial FJ akibat dianiaya sesama santri. Terakhir, yang paling baru pada awal tahun ini, kasus tewasnya RA (18), salah seorang santri Ponpes Nurul Ikhlas, Padang Panjang karena dianiaya sejumlah santri selama 3 hari di dalam asrama.

Sebetulnya masih banyak kasus-kasus kekerasan lainnya yang terjadi di lingkungan ponpes selama kurun waktu 5 tahun ini. Kasus-kasus di atas hanya sebagian contoh yang mewakilkan saja.

Terkait kasus RA, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sangat menyesalkan kurangnya pengawasan pihak pengelola ponpes sehingga menyebabkan terjadinya kasus pengeroyokan tersebut. Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti mengatakan, proses hukum yang sedang berjalan wajib dihormati semua pihak, namun seharusnya kasus kekerasan semacam ini tidak boleh berhenti hanya di proses hukum tanpa memproses juga tanggungjawab pihak pengelola dan para guru di ponpes tersebut.

“Apalagi, kasus kekerasan semacam ini terjadi karena lemahnya pengawasan pihak pengelola, pembina asrama dan para guru terhadap para santrinya,” tegas Retno berdasarkan keterangan resminya yang didapat Sir Pentoel, Kamis (21/2).

Dikatakannya, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama (Kemenag) yang menjadi pembina dan pengawas  ponpes seharusnya menurunkan inspektoratnya untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus ini dan memberikan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan jika ditemukan kelalaian dan pembiaran terhadap keselamatan santri selama berada di ponpes. Mengingat, lanjut Retno, anak berada selama 24 jam setiap harinya di satuan pendidikan tersebut.

Jika pengawasan oleh pembina asrama dan para guru berjalan dengan seharusnya, Retno mengatakan, maka para santri tersebut tidak mungkin dapat melakukan tindakan kekerasan tersebut selama 3 hari berturut-turut. Di kelas pun seharusnya para guru memiliki kepekaan saat melihat kondisi anak korban yang sakit karena penganiayaan, atau jika korban tidak dapat masuk kelas pun, seharusnya dikontrol kondisi ke kamar asramanya. 

“Artinya, jika mempelajari kronologi  kasus pengeroyokan belasan santri tersebut terhadap anak korban, maka pihak pengelola, pembina asrama dan para guru telah abai. Mereka tidak peka dan kemungkinan tidak melakukan kontrol sebagaimana seharusnya sebuah sekolah berasrama,” papar Retno.

Kelalaian dan kelemahan kontrol tersebut seharusnya dapat dikenai sanksi. Sanksi bisa bermacam-macam, mulai dari administrasi sampai pencabutan ijin ponpes yang bersangkutan. KPAI mendorong Kemenag untuk segera melakukan tindakan nyata bagi upaya-upaya pencegahan kasus-kasus kekerasan semacam ini dengan meningkatkan pengawasan dan pembinaan ponpes-ponpes di seluruh Indonesia. Kemudian, segera menerapkan program pesantren ramah anak, bukan sekadar jargon tetapi diimplementasikan oleh warga ponpes itu sendiri.

Bagi Retno, tentunya hal ini amat mendesak, mengingat banyak kasus kekerasan telah terjadi di lingkungan ponpes, mulai dari kekerasan fisik, psikis sampai kekerasan seksual.  Retno memberikan contoh-contoh kasus seperti kasus jatuhnya seorang santri dari lantai 3 asrama, tewasnya 2 santri karena tenggelam di kolam yang berada di dalam lingkungan ponpes di wilayah Indramayu, kasus kekerasan seksual yang dialami santriwati oleh gurunya di  salah satu ponpes di Bandung Barat, serta kasus kekerasan fisik yang dilakukan Bahar Smith terhadap santrinya di ponpesnya yang berada di kabupaten Bogor.

Kekerasan-pesantren-penakota

Menanggapi dorongan dari Retno, pihak Kemenag sendiri telah berjanji akan melakukan evaluasi setiap ponpes dan melakukan pemetaan kembali. Pemetaan ponpes akan dilakukan oleh pihak Kemenag demi memberikan identifikasi yang jelas antara pesantren dan boarding school.

“Kami akan melakukan evaluasi, apakah rukun dan jiwa pesantren secara konsisten terpenuhi oleh satuan pendidikan sebagaimana yang dilaporkan pada saat mengajukan izin operasionalnya,” ujar Direktur Pendidikan Diniyah dan Pesantren Kemenag Ahmad Zayadi berdasarkan keterangan resminya yang diberikan kepada Sir Pentoel, Jumat (22/2).

Menurutnya, kekerasan kerap terjadi di ponpes yang rukun dan jiwa pesantrennya tidak diimplementasikan dengan baik. Rukun pesantren (arkanul ma’had) meliputi unsur kiai, santri menetap (muqim), pondok, masjid, dan kajian kitab kuning atau Dirasah Islamiyah dengan pola muallimin. Sedangkan jiwa pesantren (ruhul ma’had), meliputi nasionalisme (NKRI), keilmuan, keikhlasan, kesederhanaan, ukhuwwah, kemandirian, serta jiwa yang bebas, dan keseimbangan.

Kemenag, menurut Zayadi, akan segera kembali menengok apakah rukun dan jiwa pesantren tersebut secara konsisten terus menjadi standar/norma yang dirujuk oleh setiap ponpes di sepanjang proses pembelajarannya berlangsung. Proses pemetaan ini, lanjut Zayadi akan diawali dengan penyusunan instrumen dan pedoman untuk melakukan kategorisasi antara ponpes dan boarding school.

Zayadi mengaku bahwa saat ini masih ada beberapa praktik boarding school yang mengklaim dirinya sebagai ponpes, namun tidak semua rukun dan jiwa pesantren tercermin di dalamnya. Salah satunya, terkait kajian kitab kuning atau Dirasah Islamiyah dengan pola muallimin, serta pengembangan nilai dan budaya pesantren.

Ke depan, ia menegaskan, Kemenag akan memisahkan dua kategori ini secara lebih jelas agar pembinaannya bisa disesuaikan. “Pedoman dan instrumen ini akan kami sampaikan kepada para kepala bidang pendidikan ponpes di Kanwil Kemenag Provinsi untuk digunakan dalam proses pemberian izin, pembinaan, dan pengawasannya,” tutur Zayadi. Lebih lanjut, ia mengklaim, bahwa peta pesantren dan boarding school dapat terhimpun sebelum akhir tahun 2019 ini.

Sebelumnya, telah terjadi pengeroyokan di Ponpes Nurul Ikhlas, Padang Panjang yang mengakibatkan RA sebagai korban meninggal dunia pada Senin (18/2) lalu. Kejadian baru terkuak oleh polisi setempat setelah keluarga melaporkannya pada Selasa (12/2). Diketahui, kekerasan yang dialami RA itu berlangsung selama 3 hari, yakni pada Kamis (7/2), Jumat (8/2), dan Minggu (10/2). Untuk pemeriksaan awal, polisi telah menetapkan 17 orang yang terlibat pengeroyokan.

(Penakota.id - fdm/glp)

Bentuk-bentuk kekerasan masih sering terpotret di dalam ponpes, baik itu datang dari rekan santri, senior, maupun guru/ustadz.