NASIONAL
15 Apr 2019 08:00
1131
Indonesia Masih Perlu UN Guna Pengendalian Mutu Siswa

Penakota.id - Menjelang hari pelaksanaan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) 2019 tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Sir Pentoel sempat mendengar curahan hati adiknya yang merasa tegang dan takut. Walaupun sang adik yang duduk di bangku kelas 12 SMA itu sudah belajar mati–matian dua bulan terakhir sebelum ujian, tetap saja sang adik masih merasa tidak yakin untuk menghadapinya. Sang adik terlanjur menganggap, bahwa UNBK (dulu UN) merupakan sebuah pertarungan maha dahsyat.

 “Mas, UNBK atau UN itu menakutkan sekali ya. Apakah dulu kamu pernah merasakan hal yang sekarang sedang aku rasakan?” tanya adik Sir Pentoel saat itu.

Acap kali sang adik bertanya-tanya kepada Sir Pentoel mengapa harus ada UNBK/UN. Mengapa salah satu syarat keinginan siswa untuk lulus harus ditentukan dari hasil ujian yang hanya dilangsungkan selama tiga hari tersebut. Padahal, sejatinya seorang siswa sudah belajar keras selama tiga tahun lamanya.

Begitulah keadaan adik Sir Pentoel setiap kali ia hendak mengikuti UNBK/UN. Walau ia sudah pernah mengikuti ujian serupa pada level Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), kecemasan masih saja lahir dalam batinnya. Kini, adik Sir Pentoel hanya pasrah. Ia berharap keberhasilan dan keberuntungan hadir pasca-UNBK/UN tingkat SMA/SMK yang dihelat sejak 1 April 2019 kemarin.

Mendengar keluh kesah adiknya tersebut, Sir Pentoel pun turut berpikir. Terkadang, ia yang juga pernah menghadapi keadaan yang sama dengan adiknya itu berpendapat bahwa, UNBK/UN merupakan cerminan ketidakadilan. Bagi Sir Pentoel, walau sejak medio 2015 UNBK/UN telah ditentukan oleh Anies Baswedan (selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu) bukan satu-satunya penentu kelulusan, UNBK/UN tetap saja akan membebani mental siswa.

Nyatanya, hingga hari ini masih banyak siswa yang menganggap bahwa UNBK/UN adalah kunci untuk mereka mendapatkan kelulusan. Masih banyak siswa yang acap kali was-was, mereka hendak berpikir mengapa mereka harus mengerjakan soal yang disamaratakan. Padahal setiap sekolah memilik standar kurikulum yang berbeda satu sama lain.

Sir Pentoel sendiri tidak ingin menyalahkan para siswa. Ia beranggapan, baik itu berbasis kertas ataupun komputer, UN tetap akan memberikan efek psikologis pada diri siswa. Mereka akan mengalami kecemasan. Sikap inferior juga akan lahir karena kemampuan belajar mereka masih sangat kurang dan mereka juga dihadapkan dengan ujian tertulis, praktek selain ujian nasional yang mereka laksanakan itu.

Siswa akan merasa dikejar waktu meskipun sudah belajar dan mengikuti kursus-kursus. Mereka cenderung mengalami ketakakutan atau depresi tinggi karena khawatir mereka akan gagal dalam UN. Akhirnya apapun mereka lakukan, tak terkecuali mencari bocoran atau melakukan jenis kecurangan lainnya. Apalagi ketika pemerintah hendak mengganti-ganti peraturan terkait ini, tentunya akan ada siswa dalam benak Sir Pentoel yang acap kali menjadi kelinci percobaan untuk regulasi tersebut.

Pengendalian Mutu

Sebetulnya, rencana menghapus atau meniadakan UN dalam sistem pendidikan di Indonesia telah lama menjadi perbincangan. Isu ini bak bola api yang terus bergulir liar, lantaran banyak pro kontra yang timbul dalam melihat sistem pendidikan dan kesiapan bangsa ini.

Baru-baru ini, bola api tersebut kembali muncul di permukaan pasca debat calon wakil presiden (cawapres) 2019, Minggu (17/3) lalu. Pada debat tersebut, terlontar dalam visi-misi salah satu cawapres, yakni Sandiga Salahudin Uno (cawapres nomor urut 02), bahwa ia akan menghapus UN dan menggantinya menjadi penelusuran minat bakat.

"Kami juga pastikan bahwa sistem Ujian Nasional dihentikan," kata Sandiaga di lokasi debat, Hotel Sultan, Jakarta.

Bagi Sandiaga, UN dinilai tidak dapat menjadi tolak ukur kecerdasan siswa. Hanya dengan mengukur pada nilai mata pelajaran yang ada pada UN saja, dikatakan Sandiaga hal tersebut tidak efektif. Alasan lain disebutkan bahwa, UN menjadi ajang demokrasi ketidakjujuran masal karena banyak pihak yang menyalahgunakan pelaksanaan UN. Misalnya adanya oknum–oknum yang menjual kunci jawaban dan tak banyak pula siswa yang sudah “janjian” dalam mengerjakan soal. Selain itu, UN juga dinilai merupakan aktivitas yang dapat mengeluarkan anggaran pendidikan besar, bahkan meningkat setiap tahunnya.

Visi-misi Sandiaga ini sontak terlintas dalam pikiran Sir Pentoel pasca mendengar keluh kesah adiknya. Awalnya ia sepakat akan hal tersebut. Alasannya karena pengganti UN dengan penelusuran minat bakat telah dibuktikan berhasil oleh beberapa negara yang meyakini bahwa, setiap guru profesional dapat mengetahui potensi yang dimiliki oleh siswanya masing–masing. Beberapa negara memilih untuk meniadakan UN karena potensi yang dimiliki anak berbeda–beda. Misalnya, ada yang ahli dalam ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial atau ahli dalam seni. Negara–negara tersebut adalah Finlandia, Amerika, Jerman, Kanada dan Australia.

Akan tetapi, Sir Pentoel tak ingin tergesa-gesa menyepakati lantaran ia tidak betul-betul mengetahui keadaan dan kebenaran yang ada, apakah memang pendapat itu benar dan sistem pendidikan di Indonesia siap akan hal tersebut. Apalagi, selain pendapat Sandiaga, Sir Pentoel juga sempat membaca pendapat-pendapat lain yang merespon wacana penghapusan UN ini.

Adalah pendapat Wakil Presiden, Jusuf Kalla (JK). JK menilai wacana menghapus UN amat berbahaya bagi kualitas pendidikan di tanah air. Baginya, hingga hari ini adanya UN bertujuan untuk mengevaluasi kualitas pendidikan berbagai daerah di Indonesia.

Adanya UN, lanjutnya, juga berkelindan dengan Undang-Undang (UU). Dalam UU, dikatakan JK, pemerintah harus secara teratur mengevaluasi pendidikan yang ada dan tersebar di tanah air. Oleh sebab itu, satu-satunya cara untuk mengevaluasi pendidikan nasional adalah dengan melaksanakan UN.

“Bagaimana cara membandingkan kualitas pendidikan antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya jika UN dihapuskan? Nanti evaluasi bagaimana? Bahwa di daerah ini masih baik, daerah ini lagi masih rendah, (kalau) tanpa ujian nasional,” papar JK, Selasa (19/3).

Selain menjaga kualitas pendidikan nasional, menurut JK, pemerintah juga harus menjaga standar pendidikan nasional. JK menekankan, setiap peserta didik di Indonesia mulai dari lulusan SD, SMP, hingga SMA harus memiliki nilai dan kemampuan yang mendekati dengan kurikulum.

Berangkat dari itu, sekali lagi JK menekankan bahwa amat berbahaya bagi kualitas pendidikan nasional jika UN dihapus. Ia berkelakar, ada ujian nasional saja pendidikan masih rendah, bagaimana jika tidak ada.

Selain pendapat JK, untuk menjawab keresahannya, Sir Pentoel pun hendak bertanya kepada salah satu guru yang pernah ia kenal dari rekannya. Lewat sebuah gawai, seorang guru yang diketahui merupakan pengajar di salah satu SMA di bilangan Jakarta itu mengungkapkan kepada Sir Pentoel bahwa, Indonesia belum mampu untuk menerapkan sistem pendidikan minat bakat.

“Indonesia juga belum mempunyai indeks penilaian layaknya negara-negara lain yang mampu menerapkan sistem penelusuran minat bakat tersebut,” kata Rifai (25), Kamis (11/4).

Indonesia, dikatakan Rifai perlu memperbaiki sistem UN terlebih dahulu atau jika memang ingin menerapkan pergantian UN dengan sistem penelusuran minat bakat, Indonesia harus mengkaji lebih dalam lagi agar bisa disesuaikan dengan sekolah di Indonesia.

Hampir senada dengan Rifai, pengajar lainnya, Lulu (27) mengatakan, wacana pendidikan tanpa UN itu hanya merupakan bahan jualan politis sebagaimana Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah menjanjikan hal yang sama ketika berkampanye pada pemilihan presiden (pilpres) 2014 lalu.

Nyatanya, di tengah kepemimpinan Jokowi, pemerintah menyadari bahwa kebijakan menghapus UN perlu pertimbangan dan kajian panjang. Hal tersebut terbukti saat Anies Baswedan menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) tidak mampu mengimplementasikan kampanye Jokowi tersebut. Sebagai gantinya, Anies hanya menerapkan kebijakan bahwa UN bukan lagi satu-satunya penentu siswa dalam kelulusan. UN hanya dilangsungkan guna mengukur kompetensi siswa dengan tujuan standarisasi kualitas pendidikan kita.

Kampanye Jokowi terkait kebijakan Indonesia tanpa UN juga kembali gagal di era Mendikbud sekarang, yakni Muhadjir Effendi. Walau hampir terealisasikan, nyatanya kebijakan tersebut dibatalkan dengan alasan bahwa, jika tidak ada UN siswa merasa bebas dan tidak ada tujuan sehingga siswa menjadi malas belajar.

Kendati UN sekarang dilabelkan bukan alat yang tepat untuk mengukur keberhasilan pendidikan siswa di bidang akademik, baginya UN tetap diperlukan untuk pengendalian terhadap mutu siswa. Di samping itu, selain merupakan bentuk pertanggungjawaban kepada publik, UN memberikan umpan balik tentang kemampuan guru yang pada akhirnya memunculkan strategi peningkatan mutu mereka.

Pencapaian standar kelulusan oleh siswa dapat dipandang sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan kualitas SDM. Gambaran tentang hal itu diperoleh dari UN yang menyajikan hasil evaluasi dan analisis ketuntasan materi yang disampaikan pada siswa.

“Masih perlu keseriusan dalam hal menimbang dan mengkaji secara komprehensif jika ingin menghapus UN dan menggantinya dengan sistem minat bakat,” terang Lulu, Minggu (14/4).

Perlu diketahui, berdasarkan kajian Research on Improving Systems of Education (RISE) Indonesia 2018, pembelajaran atau mutu siswa Indonesia ada pada situasi darurat. Sejumlah besar lulusan sekolah SMA misalnya, rata-rata mereka belum menguasai kemampuan berhitung (penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian angka sederhana) yang seharusnya telah dikuasai saat mereka duduk di level SD. Penyebab utamanya ialah ketidaktuntasan pembelajaran.

Hasil kajian ini ini mengonfirmasi publikasi tentang rendahnya posisi Indonesia dibanding negara lain. Hasil itu tercermin pada hasil tes Program for International Student Assessment (PISA) 2015, Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) 2015 untuk matematika dan sains, dan Programme for International Assessment of Adult Competencies (PIAAC).

Dalam riset PISA 2015, pelajar Indonesia ada pada peringkat ke-62 dari 70 negara. Tentunya hal tersebut menjadi  kabar menyedihkan. Sejak mengikuti tes ini pada 2003, Indonesia tidak mengalami kemajuan berarti. Sebanyak 75% murid Indonesia, gagal mencapai kemampuan dasar matematika, meski selama lima belas tahun terakhir alokasi anggaran negara untuk pendidikan meningkat berlipat ganda dan bisa disebut double for nothing.

Hasil serupa juga dapat dilihat dari hasil kajian Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) 2016 yang dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

(Penakota.id – ghe/fdm)