HUMANIORA
28 Apr 2019 22:13
1097
Puisi dan Tempat

Penakota.id - Pujangga kondang tapi masih membuat sulit kalangan akademisi sastra dalam mengenali ketokohan atau keampuhan estetika di puisi. Ia bernama  Acep Zamzam Noor. Pujangga telah memberi persembahan buku puisi berjudul Di Luar Kata (1996), Di Atas Umbria (1999), Dongeng dari Negeri Sembako (2001), Jalan Menuju Rumahmu (2004), Menjadi Penyair Lagi (2007), Tulisan pada Tembok (2011), Bagian dari Kegembiraan (2013), dan Berguru kepada Rindu (2017). Kini ia menghampiri lagi pembaca dengan buku berjudul Membaca Lambang (2018). 

Kehadiran buku didahului “kesalahan” tercantum di Ensiklopedia: 2.000 Entri Istilah, Biografi, Karya, Metode, dan Teori Sastra (2018) susunan Nyoman Kutha Ratna. Buku tebal (932 halaman) untuk perkuliahan itu menulis nama si pujangga kondang: Acep Samsam Noor, bukan Acep Zamzam Noor. Kesalahan penulisan nama terjadi dua kali. Dugaan pun muncul bahwa ketokohan dan buku-buku puisi gubahan Acep Zamzam Noor belum memikat atau terpilih dalam pengajaran sastra di kampus-kampus.

Para pembaca tekun menikmati suguhan puisi di pelbagai majalah dan buku tentu tak sulit mengeja nama dan mengetahui jejak-jejak kesusastraan si pujangga, sejak masa 1980-an. Ia beribadah sastra sejak masih berusia belasan tahun, memberi puisi ke halaman-halaman sastra di Horison, Berita Buana, Pelita, Pikiran Rakyat, Sinar Harapan, Suara Merdeka, dan Gadis. Acep Zamzam Noor keranjingan puisi sulit dihentikan. Kita tengok kedirian si pujangga dan sekian puisi terpilih oleh Linus Suryadi AG masuk ke dalam antologi puisi Indonesia modern berjudul Tonggak IV (1987). 

Pilihan dari gubahan puisi tahun 1981, berjudul “Pertemuan”. Pujangga kelahiran  28 Februari 1960 menulis tentang manusia, kepergian, dan pertemuan: karena pertemuan/ kita bertemu/ aku bergayut di dadamu// karena Tuhan/ yang mempertemukan/ kita bersatu/ kaugayut leherku// aku yang gelisah selalu ingin pergi/ kau yang jinak, tenang, sabar dan menanti/ ternyata bisa lain memahami// kita jadi satu! Puisi itu mungkin bukan terbaik dari ibadah berpuisi Acep Zamzam Noor selama puluhan tahun. Kita membaca (lagi) berdalih mencatat kecenderungan-kecenderungan awal terus berlanjut ke puisi-puisi terbaru. Ia ada di pengertian pergi. 

* * 

Penguatan atas pengertian bepergian ke pelbagai tempat terasa di buku puisi berjudul Di Atas Umbria. Pujangga memberikan keterangan di buku: “catatan perjalanan untuk Diwan Masnawi.” Ia bepergian jauh dari kampung halaman, bermaksud studi seni dan “pelesiran” estetika mumpung melihat dan berada di negeri asing. Selama di Italia, ia mengunjungi pelbagai tempat. Kunjungan menjadi puluhan puisi. Ia seperti sedang melakukan peringkusan segala pengalaman dan menaruh kota-kota di halaman-halaman melulu kata, belum dijejali dengan lukisan. 

Kita santap puisi berjudul “Roma, Akhir 1991”. Acep Zamzam Noor tak mau sia-sia di perjalanan atau mendokumentasi kepergian saat dibawa pulang ke rumah. Puisi ingin melampaui pukau selembar potret dari jepretan kamera. Puisi mengenai kedalaman diri di kota antik-megah, bukan sensasi di luar. Si pujangga itu bercerita: Telah kularikan perut laparku ke jalan-jalan raya/ Ke museum-museum, galeri-galeri dan butik-butik/ Yang mewah. Kupecahkan pikiranku berkeping-keping/ Dan kembali kususun perasaan-perasaan halusku/ Seperti sungai Tevere yang mengalir tenang/ Di mana pun kesepian selalu mengalirkan puisi. Di tempat jauh, membahasakan tempat di puisi memungkinkan ketokohan “aku” tak terserap mutlak. Tokoh masih berhak mengalami dan mengamati. Puisi bertempat tetap menjadikan “aku” penentu komposisi makna. 

Deskripsi tempat memberi undangan ke pembaca menggunakan mata di depan jembatan, menara, sungai, museum, bukit, pasar, pantai, dan lain-lain. Di kunjungan ke tempat-tempat, si pujangga berambisi mencatat semua dengan keragaan dan gairah-imajinasi jarang ditunda lama. Pembaca boleh menganggap si pujangga terlalu cepat mengadakan kesan, sebelum kehadiran di tempat-tempat itu mendapat diksi-diksi diperhitungkan cermat tanpa sungkan melakukan pengulangan. Deskripsi terasa penting dan menjamin pembaca tak tersesat di keasingan pengalaman di pelbagai tempat.

Pada 1996, Acep Zamzam Noor menggubah puisi berjudul “Leiden”. Kota tak melulu tempat di tatapan mata tapi diresapkan ke album perasaan manusia asing. Pengamatan dipentingkan ketimbang kesan-kesan sejenak: Aku tiba di sini/ Di antara kata-kata liar/ Buruanku. Sebuah lonceng besar/ Melayang-layang di udara/ Sedang di jalan-jalan sempit kota ini/ Kudengar ambulan-ambulan mengerang/ Lalu ingatanku menjelma sebuah menara/ Yang menjulang. Gedung-gedung gemetar/ Kanal-kanal menggigil/ Perahu-perahu merapatkan diri/ Ke teras sebuah kastil:/ Kebisuan adalah bahasa lain/ Seperti juga puing-puing/ Atau kincir angin/ Pada musim terakhir. Kepergian manusia asal Indonesia ke Leiden (Belanda) berlumuran pengamatan telah tersusun sejak lama, bergerak dari pengetahuan dari kejauhan diimbuhi kehadiran di tempat penentuan bahasa-imajinasi. 

Khatam membaca puisi-puisi gubahan Acep Zamzam Noor, Faruk (1999) memberi pengakuan bahwa puisi-puisi itu mengajak pembaca masuk ke dunia baru, dunia asing, dunia belum dikenal, dunia belum dalam akrab dan rutin. Pengakuan itu terasa berlebihan dan terlambat jika Faruk telaten membaca puisi gubahan para pujangga saat dolan atau bepergian ke negeri-negeri asing. Suguhan puisi Acep Zamzam Noor bukan kejutan bagi kegemaran para pujangga pamer “keasingan” dan menaruh diri di puisi-puisi bertempat jauh dari kampung asal atau Indonesia. 

Subagio Sastrowardoyo, Sitor Situmorang, Rendra, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Darmanto Jatman, dan Wing Kardjo sering sodorkan “asing” ke arus perpuisian modern di Indonesia. Mereka menghadirkan tempat-tempat dari Eropa dan Amerika, jarang mengajukan Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Acep Zamzam Noor kadang mengisahkan kunjungan ke kota-kota di Asia meski tak sememikat dengan kota-kota di Eropa.   

Ketekunan menggubah puisi bertempat pernah tertandai dengan daftar kota atau negara di buku berjudul Jalan Menuju Rumahmu. Acep Zamzam Noor semakin mengukuhkan selebrasi imajinasi tempat. Puisi membawa tempat-tempat dari pelbagai negeri hadir di depan sidang pembaca. Tempat-tempat disajikan dengan deskripsi dan godaan-godaan diksi mengarah ke filsafat, seni rupa, iman, asmara-berahi, politik, sejarah, dan ekologi. 

Ia sampai pada puncak pewartaan kebermaknaan puisi bertempat bagi para pujangga di Indonesia. Puisi berjudul “Bumi Penyair” anggaplah penjelasan hampir penuh: Untuk kita bumi dihamparkan/ Pohon-pohon terpancang menahan atap langit/ Langit penyair yang biru... Untuk kita keluasan dibentangkan/ Sebagai rumah dan sekaligus tanah air/ Kita menabur benih dan menyiram kata-kata. Ratusan puisi pun digubah dari “bumi” dengan alamat dan penamaan beragam. Si pujangga itu menunaikan misi pembuatan “album bumi puisi”, memuat tempat-tempat telah dikunjungi, dari tahun ke tahun.

 

Puisi-puisi dari abad XX memiliki seri lanjutan di gubahan puisi-puisi di abad XXI. Acep Zamzam Noor masih rajin bepergian, menghadirkan diri ke pelbagai tempat. Kehadiran tak sia-sia. Di tempat-tempat dengan nama atau sebutan, ia menulis puisi-puisi mengusung biografi dan pengisahan segala hal. Kecenderungan mengulang terjadi tapi tetap memberi jalan bagi kebaruan-kebaruan di “pengucapan” dan godaan menaburi makna. 

Buku puisi berjudul Membaca Lambang (2018) mengesankan penambahan pengertian bepergian dan puisi-puisi di pengawetan tempat. Diri dan peristiwa di tahun-tahun tercatat, menandai tempat dengan keremehan dan capaian estetika berhasrat muluk. Pada 2007, Acep Zamzam Noor berada di Toraja, menghasilkan puisi agak panjang dijuduli “Malam di Toraja.” Puisi itu tatapan mata: cermat dan rinci. Di batin, puisi pun memikat dengan acuan-acuan ke flora dan fauna. Diri di alam saat malam. Puisi memang ditaburi perlambang. Acep Zamzam Noor mengamati: Daun-daun melambai/ Jauh ke ceruk sunyi/ Kunang-kunang di sekujur bukit/ Seperti hamburan manik-manik/ Dari surga. Gambar-gambar binatang/ Jejak-jejak kaki, tapak-tapak tangan/ Ukiran-ukiran kayu, patung-patung batu/ Getah-getah damar serta wewangian/ Hutan. Awan membentuk garis salib/ Dingin merapalkan mantra gaib/ Pada keranda dan pintu gua: Kerbau-kerbau tegak/ Babi-babi tiarap. 

Kunjungan itu tentu sudah dimulai dengan kumpulan pengetahuan dan imajinasi Toraja. Sumber bisa dari pertemuan dan pengisahan dari orang-orang asal Toraja, buku, majalah, koran, foto, dan televisi. Di situ, Toraja ingin diceritakan lengkap melalui pencatuman sekian perlambang agar pembaca lekas ingat kekhasan alam, arsitektur, dan kesan-kesan suasana. Acep Zamzam Noor mungkin menggubah puisi di hitungan waktu tak harus sebulan. Puisi itu memungkinkan kesegeraan ke pilihan diksi, bermaksud merengkuh semua dan menghindari kehilangan-kehilangan rangsang kesan-kesan. 

Di Buleleng (Bali), nuansa religius masih tertulis berbeda kadar dari pengalaman bertempat di Toraja. Puisi tetap bersurga. Pujangga memiliki ketakjuban pada tempat-tempat selalu mendatangkan imajinasi surga, imajinasi dari puncak-puncak keindahan. Puisi berjudul “Buleleng” menjauh dari laporan turis: Aku berdiri sepanjang senja/ Di pelabuhan tua. Membaca gumpalan awan/ Yang mengirimkan tarian dan wewangian surga/ Pada seseorang. Keseluruhan ingin diresapkan ke kata-kata, membentuk puisi bertempat paling khidmat. Mata “memangsa” panorama dan batin menguak percik-percik imajinasi terpegang, enggan terlepas oleh detik dan angin. 

Surga tak tercantum tapi terasakan bagi pembaca di hadapan puisi gubahan Acep Zamzam Noor berjudul “Di Makam Raja Ali Haji”. Peziarahan ke makam tokoh besar kesusastraan itu menghimpun pelbagai pemuliaan atas warisan masa lalu. Di makam, pujangga insaf atas kesejarahan bahasa dan sastra, melintasi masa-masa ke pembentukan sastra berselera modern di Nusantara dengan meninggalkan bujuk khazanah sastra lama. Pada tokoh moncer bernama Raja Ali Haji, ia memohonkan doa terpuitis selaku pujangga. Tiga larik mengheningkan diri: Putik-putik serunai yang dulu kausiram setiap pagi/ Telah mekar di pantai waktu. Kata-kata dari menara tinggi/ Kini bersemayam di balik kelambu hijau peraduanmu. Ziarah di titian sastra, menghubungkan pujangga di abad XXI ke masa silam di kejauhan.  

Pada tempat-tempat berbeda, pembahasaan kadang searah. Di puisi-puisi pendek, Acep Zamzam Noor justru bisa mengelak dari pengulangan selera ke pendalaman diri dan tempat. Keringkasan mungkin pilihan terwajar ketimbang mengadakan bait-bait berkepanjangan rawan di pengisahan diri berpanorama estetika-turistik. Saini KM (2004) menganggap puisi-puisi Acep Zamzam Noor sudah sampai pada kepadatan dan kebeningan. Kecerewetan tak diperlukan. Penimbunan perlambang tanpa tatanan sudah mampu dihindari di puisi-puisi, mengundang pembaca ke tatapan menuju terang.

Kita kembalikan dugaan pembaca dan ancangan mengakui keampuhan mengisahkan diri dan tempat ke puisi berjudul “Membaca Lambang.” Puisi dijadikan pula judul buku, memberi pembenaran ke pembaca jika pengertian bepergian Acep Zamzam Noor adalah perjalanan puisi, bukan kemanjaan menjadikan diri sebagai turis bernafsu hiburan dan sensasi. Acep Zamzam Noor seolah menerangkan ke pembaca: “Sekalipun yang tampak di hadapan tinggal kabut semata tentu ada yang masih bisa diteroka.” 

Ia tak mau kalah dan lengah. Mata tetap melihat, menembus, dan mengembalikan segala hal terlihat atau ada di balik tatapan ragawi. Ia terus bergerak dan berpuisi, belum kapok dan usai. Acep Zamzam Noor menulis: Pengembaraan adalah detik-detik yang mengalir dari gunung/ Diteruskan sungai ke muara. Sedang penghayatan ibarat pasir/ Yang butir-butir halusnya mengembara ke tengah samudra. Tiga larik itu petunjuk tentang tata cara pujangga mengembara dan menggubah puisi. Penulisan puisi melampaui kerja pemotretan atau pencatatan di jurnal harian.

Kehadiran buku Membaca Lambang (2018) memberi “ejekan” ke lakon besar pelesiran atau pelancongan. Orang-orang bepergian mengunjungi tempat-tempat diwartakan indah: lama atau baru. Mereka terbujuk dulu melalui pengisahan di lembaran koran, acara di televisi, atau pameran foto di media sosial. Bepergian tak berdalil puitis tapi ke pembuatan “kenangan” di jepretan kamera dengan mata-mata masih enggan kata. Acep Zamzam Noor memilih berpuisi, menaruh tempat-tempat di puisi ketimbang selesai di tatapan mata sekian detik. Begitu.